Sosok
Beranda » Berita » Ja’far bin Abu Thalib: Sahabat yang Terbang di Surga

Ja’far bin Abu Thalib: Sahabat yang Terbang di Surga

Ja'far bin Abu Thalib: Sahabat yang Terbang di Surga
Ilustrasi Ja'far bin Abu Thalib (Foto: Internet)

SURAU.CO – Ja’far bin Abu Thalib merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang lembut hati, kasih sayang, dan rendah hati. Rasulullah SAW sendiri menyebut Ja’far sebagai sahabat yang paling mirip dengan beliau dalam rupa dan akhlak. Ja’far mempunyai garis keturunan yang mulia.

Abu Thalib bin Abdul Muthalib, ayah Ja’far, merupakan paman Nabi Muhammad SAW yang sangat berjasa melindungi Rasulullah pada masa awal dakwah. Abdurrahman bin Abdul Karim dalam Sejarah Terlengkap Nabi Muhammad SAW menulis bahwa keluarga Abu Thalib hidup dalam kesederhanaan. Karena kondisi ekonomi sulit, Abu Thalib meminta sebagian anaknya diasuh oleh kerabatnya. Abbas bin Abdul Muthalib kemudian membesarkan Ja’far kecil dan memenuhi kebutuhannya karena ia memiliki kehidupan yang lebih berkecukupan.

Asuhan Abbas membentuk Ja’far menjadi pribadi yang bijak, bertanggung jawab, dan berakhlak tinggi. Ia bermaksud lembut terhadap sesama namun tetap tegas dalam membela kebenaran. Banyak orang yang menghormatinya bahkan sebelum ia memeluk Islam karena sikapnya yang santun dan berwibawa.

Keislaman dan Hijrah ke Habasyah

Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyampaikan dakwah secara terbuka, Ja’far langsung menerima ajaran Islam dengan hati yang tulus. Ia menyaksikan pamannya, Abu Thalib, berjuang melindungi Nabi dari gangguan kaum Quraisy, meskipun Abu Thalib sendiri tidak masuk Islam. Ja’far meyakini bahwa wahyu yang Nabi sampaikan datang dari Allah SWT, sehingga ia dengan mantap menyatakan keislamannya.

Ketika tekanan Quraisy terhadap kaum muslimin semakin keras, Nabi SAW memerintahkan sebagian sahabat untuk hijrah ke negeri Habasyah (Ethiopia sekarang). Ja’far dan istrinya, Asma binti Umais, langsung mempersiapkan diri dan berangkat bersama rombongan. Ia meninggalkan tanah kelahiran, keluarga, serta kenyamanan hidup di Makkah demi mempertahankan iman. Dengan tekad yang kuat, Ja’far menempuh perjalanan jauh menuju negeri asing demi mencari tempat aman untuk beribadah kepada Allah SWT.

KH. Abdullah Umar Al-Hafidz: Sosok Ulama Penjaga Al-Qur’an dari Semarang

Perlindungan di Negeri Habasyah

Raja Najasyi memimpin Habasyah saat itu dengan penuh keadilan dan kebijaksanaan. Mahmudah Mastur dalam Seri Ensiklopedia Anak Muslim menggambarkan Najasyi sebagai raja yang menyelamatkan kebenaran dan melindungi kaum lemah. Begitu Ja’far dan rombongan tiba di Habasyah, Najasyi menyambut mereka dengan hangat dan memberikan perlindungan penuh. Kaum muslimin pun dapat hidup tenang dan menjalankan ibadah dengan bebas.

Namun kaum Quraisy segera mengirim utusan ke Habasyah untuk meminta Najasyi mengembalikan kaum muslimin ke Makkah. Saat pertemuan yang berlangsung di istana Najasyi, Ja’far tampil sebagai juru bicara dan memimpin pembicaraan. Ia menjelaskan dengan tenang mengapa mereka meninggalkan Makkah dan memperkenalkan ajaran Islam kepada Najasyi dengan jelas dan tegas.

Dengan penuh keyakinan, Ja’far menegaskan bahwa Islam mengajarkan keadilan, kasih sayang, dan kebaikan. Ia membacakan ayat-ayat dari Surah Maryam yang menceritakan kelahiran Nabi Isa AS. Najasyi mendengarkan dengan seksama, lalu meneteskan air mata. Ia mengakui bahwa ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW sejalan dengan ajaran Nabi Isa AS. Najasyi kemudian menolak permintaan utusan Quraisy dan menegaskan bahwa ia akan melindungi kaum muslimin selama mereka tinggal di Habasyah.

Cinta Rasulullah kepada Ja’far

Ketika Ja’far kembali ke Madinah setelah bertahun-tahun tinggal di Habasyah, Rasulullah SAW menyambutnya dengan penuh kasih. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah bersabda, “Aku tidak tahu mana yang lebih menggembirakan: kedatangan Ja’far atau kemenangan di Khaibar.” Ucapan ini menunjukkan betapa besarnya cinta Rasulullah kepada sahabatnya itu.

Rasulullah SAW juga bersabda, “Engkau menyerupai aku dalam rupa dan akhlak.” Dengan kalimat ini, Nabi menegaskan bahwa Ja’far bukan hanya mirip secara fisik, tetapi juga meneladani akhlak mulia beliau. Ja’far menanamkan kelembutan, kasih sayang, dan keteguhan hati sebagaimana yang Nabi ajarkan kepada umatnya.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Ja’far menunjukkan keberanian luar biasa dalam Perang Mu’tah, pertempuran besar antara kaum muslimin dan pasukan Romawi. Ketika Zaid bin Haritsah, pemimpin pasukan Islam, gugur, Ja’far segera mengambil alih bendera Islam dan memimpin pasukan. Ia terus bertempur hingga kedua tangannya tertebas, namun ia tetap menggenggam panji Islam dengan sisa tenaganya. Ja’far berjuang sampai akhir dan akhirnya Syahid di medan perang.

Ketika mendengar kabar gugurnya Ja’far, Rasulullah SAW sangat berduka. Beliau menenangkan keluarga Ja’far dan berdoa agar Allah mengganti kedua tangan Ja’far yang hilang dengan dua sayap di surga. Sejak saat itu, kaum muslimin mengenal Ja’far dengan sebutan Ja’far ath-Thayyar —Ja’far yang terbang di surga.

Ja’far juga mencontohkan bahwa berkorban di jalan Allah tidak hanya berarti mengangkat senjata, tetapi juga menunjukkan kesabaran, ketulusan, dan keyakinan terhadap janji Allah.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement