SURAU.CO – Abul Aswad ad-Duali adalah tokoh perumus pertama ilmu nahwu—ilmu gramatika bahasa Arab yang mengatur struktur kalimat dan tanda baca akhir kata seperti dhammah, fathah, kasrah, dan sukun. Peran monumental yang ia mainkan menjadikannya dijuluki Bapak Ilmu Nahwu , sebab dari tangannya lahir sistem kaidah bahasa Arab yang menjaga kemurnian Al-Qur’an dan bahasa umat Islam hingga kini.
Nama lengkapnya adalah Zhalim bin Amr bin Sufyan bin Jandal, bergelar Abul Aswad ad-Duali al-Kinani al-Bashri. Ibunya bernama Thuwailah dari Bani Abdu ad-Dar bin Qushay. Ia lahir pada masa jahiliyah, sebelum datangnya Islam. Ia kemudian memeluk agama Islam pada masa Rasulullah ﷺ masih hidup. Meski tak sempat berjumpa langsung dengan Nabi ﷺ, Abul Aswad termasuk dalam kalangan tabi’in—generasi yang sempat berinteraksi dengan para sahabat Nabi.
Sebagai seorang tabi’in, Abul Aswad dikenal cerdas, fasih berbicara, serta memiliki pemikiran yang tajam. Ia juga dikenal sebagai penyair ulung dan penunggang kuda yang handal. Kecerdasan dan ketajamannya dalam memahami bahasa Arab menjadikannya menonjol di kalangan ulama Bashrah, kota yang kelak menjadi pusat ilmu kebahasaan Islam.
Abul Aswad menetap di Bashrah pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu. Ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkuasa, beliau mengangkat Abul Aswad sebagai gubernur menggantikan Abdullah bin Abbas. Jabatan tersebut ia emban dengan amanah hingga wafatnya Ali bin Abi Thalib. Setelah itu, ketika Muawiyah bin Abu Sufyan mengambil alih kekuasaan, Abul Aswad tetap mendapat penghormatan dan kedudukan terhormat di istana. Hal ini menunjukkan bahwa ia dikenal bukan hanya karena keilmuannya, tetapi juga karena integritas dan kewibawaannya di mata para penguasa.
Lahirnya Ilmu Nahwu
Kepedulian Abul Aswad terhadap bahasa Arab bermula dari pengecualian. Ia menyaksikan banyak orang Arab mulai kehilangan kefasihan berbicara setelah berbaur dengan bangsa-bangsa non-Arab. Tata bahasa dan pelafalan mulai rusak, sehingga membingungkan dapat mengubah makna ayat-ayat Al-Qur’an. Ia pun menemui Abdullah bin Abbas dan mengutarakan niatnya untuk mengembangkan sistem yang bisa meluruskan kembali kesalahan dalam ucapan orang-orang Arab. Ibnu Abbas menyambut gagasan itu dan berkata, “Mungkin yang kau maksud adalah nahwu —ya, buatlah rumusannya dengan merujuk pada Surat Yusuf.”
Salah satu kisah terkenal yang mendorong Abul Aswad merumuskan ilmu nahwu adalah peristiwa bersama anak-anak seumuran. Suatu hari, sang anak berkata kepadanya:
يا أبتِ ما أحسنُ السَّمَاء!
Kalimat itu seharusnya berarti “Wahai ayah, alangkah indahnya langit!” Namun karena harakat akhirnya dibaca dengan dhammah, maknanya berubah menjadi pertanyaan: “Apakah yang paling indah di langit?” Menyadari kekeliruan itu, Abul Aswad membetulkannya dan berkata:
يا بنية؛ Jawaban: ماحسنَ السَّمَاء!
“Wahai anakku, katakan: ma ahsana as-samaa!”
Dari peristiwa sederhana inilah ia menyadari pentingnya aturan tata bahasa yang dapat menyelamatkan umat dari kesalahan makna. Sejak saat itu, ia mulai menyusun kaidah-kaidah dasar bahasa Arab. Ketika ditanya dari mana ia memperoleh ilmu tersebut, Abul Aswad menjawab bahwa ia belajar kaidah-kaidahnya langsung dari Ali bin Abi Thalib. Hal ini menunjukkan bahwa landasan ilmu nahwu memiliki hubungan erat dengan keilmuan para sahabat Nabi.
Jasa Besar Bagi Bahasa dan Al-Qur’an
Karya Abul Aswad tidak hanya terbatas pada penyusunan kaidah nahwu. Menurut riwayat yang paling masyhur, ia juga orang pertama yang memberi titik pada huruf-huruf hijaiyah di mushaf Al-Qur’an. Pada masa itu, tulisan Arab belum memiliki tanda titik dan harakat, sehingga sangat mudah terjadi kesalahan baca. Upayanya ini menjadi tidak penting dalam menjaga keaslian bacaan Al-Qur’an dan memperjelas pengucapan kata-kata Arab, khususnya bagi mereka yang bukan penutur asli.
Berkat jasanya, umat Islam dari berbagai bangsa mampu membaca dan memahami teks Arab dengan benar. Ilmu nahwu membantu umat memahami Al-Qur’an, hadis, dan karya ilmiah Islam tanpa kehilangan makna. Kesalahan dalam memahami harakat atau struktur kalimat bisa berakibat fatal dalam penafsiran, dan di dalamnya peran vital ilmu nahwu yang dirumuskan Abul Aswad ad-Duali.
Abul Aswad ad-Duali wafat di Bashrah pada tahun 69 Hijriah atau 688 Masehi karena wabah tha’un (pes). Saat itu usianya sekitar 80 tahun. Namun, ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa ia wafat di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Terlepas dari perbedaan riwayat tersebut, warisannya tetap abadi: ia meninggalkan sistem bahasa yang menjadi pilar bagi ilmu-ilmu Islam selanjutnya.
Abul Aswad ad-Duali bukan hanya seorang ahli bahasa, tetapi juga penjaga kemurnian bahasa wahyu. Kecerdasannya dalam merumuskan sistem bahasa Arab menjadikannya pelopor dalam ilmu linguistik Islam. Melalui dedikasinya, ia menyelamatkan bahasa Al-Qur’an dari distorsi dan menjadi inspirasi bagi para ulama setelahnya. Hingga kini, setiap pelajar yang mempelajari nahwu sejatinya sedang menapak jejak ilmuwan besar yang dengan ketajaman pikirannya telah mewariskan alat terpenting untuk memahami firman Allah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
