SURAU.CO – Sosok Nabi Ayub AS menjadi teladan terbaik dalam hal kesabaran dan ketabahan. Beliau menghadapi kehilangan demi kehilangan dengan hati yang lapang dan iman yang kokoh. Nabi Ayub AS berdakwah kepada masyarakat di daerah Syam agar kembali ke jalan kebenaran. Ia berasal dari keluarga kaya raya, memiliki peternakan dan perkebunan yang luas. Ia seorang hamba yang dermawan dan taat beribadah. Namun, dibalik kemuliaan itu, Allah mengujinya dengan cobaan yang bertubi-tubi.
Setan yang iri terhadap ketaatan Nabi Ayub pun berusaha menggoda dengan berbagai cara. Ia membakar seluruh harta dan kekayaan Nabi Ayub hingga tak tersisa. Akan tetapi, ketika menyaksikan seluruh harta benda miliknya lenyap, Nabi Ayub tetap tenang. Ia berkata dengan penuh keimanan bahwa semua yang ia miliki hanyalah titipan Allah. Dengan penuh keyakinan, beliau bersabar dan tidak sedikit pun mengeluh.
Tidak berhenti sampai di situ, setan kembali menghasut umat Nabi Ayub agar diubah dari ajaran beliau. Umatnya pun meninggalkan ibadah dan menjauh dari kebenaran. Nabi Ayub tetap berdiri teguh menyeru kepada Allah meski jumlah pengikutnya semakin berkurang. Ia tak pernah putus asa, bahkan saat badai besar menghancurkan rumahnya dan menghancurkan seluruh anak-anaknya.
Di tengah duka yang mendalam, Nabi Ayub tidak larut dalam kesedihan. Ia justru mendoakan keselamatan anak-anaknya dan terus memuji Allah. Keteguhannya membuatnya tetap berdakwah bersama istrinya, Siti Rahmah, meski mereka kini hidup miskin tanpa harta.
Cobaan Penyakit dan Kesetiaan Istri
Setan yang tak puas dengan keteguhan Nabi Ayub lalu menimpakan penyakit berat padanya. Tubuh Nabi Ayub kurus menjadi dan lemah, terisi bisul bernanah hingga menimbulkan bau busuk. Tak ada seorang pun yang mau mendekatinya. Nabi Ayub diusir dari kampung halamannya karena dianggap membawa penyakit menular.
Siti Rahmah dengan penuh cinta tetap merawat suaminya. Ia bekerja keras sendirian untuk mencari makan dan obat bagi Nabi Ayub. Bertahun-tahun ia berjuang tanpa lelah, sementara Nabi Ayub tetap berzikir dan berdoa tanpa pernah mengeluh. Namun godaan setan juga datang kepada Siti Rahmah. Ia mulai merasa lelah dan meminta Nabi Ayub berdoa agar Allah mengangkat penderitaannya.
Nabi Ayub menolak dengan lembut. Ia berkata, “Aku malu meminta kepada Allah agar melepaskan penderitaanku ini. Bukankah penderitaan ini sangat singkat dibandingkan masa nikmat yang Allah berikan terlebih dahulu?” Ucapan itu menggambarkan kedalaman iman Nabi Ayub. Ia tetap bersyukur dan bersabar atas segala ujian yang Allah berikan.
Namun karena tekanan hidup, Siti Rahmah akhirnya meninggalkan suaminya. Nabi Ayub yang ditinggalkan hanya berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Ia memulaikan doa sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an:
“(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” (QS. Al-Anbiya : 83)
Kesembuhan dan Rahmat Allah
Doa Nabi Ayub yang tulus akhirnya dijawab oleh Allah. Dalam Surat Sad ayat 42, Allah berfirman:
“Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum.”
Nabi Ayub mengikuti perintah tersebut. Seketika, ia sembuh dari penyakitnya. Tubuhnya kembali sehat seperti sedia kala. Tak lama kemudian, Siti Rahmah kembali dengan penuh penyesalan dan permohonan ampun kepada Allah serta suaminya. Nabi Ayub memaafkan istrinya dan mereka pun membangun kembali kehidupan bersama.
Allah tidak hanya menyembuhkan Nabi Ayub, tetapi juga mengembalikan seluruh keluarganya, bahkan melipatgandakan rezekinya sebagai bentuk rahmat dan pelajaran bagi orang-orang yang berakal. serupa firman-Nya:
“Dan Kami menganugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami menambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Sedih : 43)
Janji yang Dipenuhi
Nabi Ayub pernah bersumpah akan mencambuk istrinya 100 kali karena sempat meninggalkannya. Namun, setelah sembuh, dia tidak sampai hati melakukannya. Allah kemudian memerintahkannya memukul sang istri dengan seikat rumput berisi 100 helai. Dengan cara itu, Nabi Ayub tetap menepati sumpahnya tanpa menyakiti istrinya.
Kisah ini menunjukkan bahwa Nabi Ayub adalah sosok yang sangat patuh dan bijak dalam menjalankan perintah Allah. Firman Allah mencontohkan kemuliaan Nabi Ayub:
“Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhan-nya).” (QS. Sedih : 44)
Dari kisah Nabi Ayub, kita belajar tiga hal penting: pertama, bersabar dalam setiap ujian; kedua, tetap berzikir dan bersyukur meski dalam penderitaan; ketiga, menepati janji dan menjaga amanah. Inilah resep menghadapi kehilangan—ikhlas menerima, sabar menjalani, dan yakin bahwa setiap ujian akan berakhir dengan rahmat Allah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
