Khazanah
Beranda » Berita » Jadi Orang Baik Itu Berat? Iya, Tapi Worth It Banget Kok

Jadi Orang Baik Itu Berat? Iya, Tapi Worth It Banget Kok

pemuda muslim berjalan di bawah cahaya senja melambangkan kebaikan di tengah dunia keras.
Seorang pemuda muslim berjalan di jalan setapak senja, cahaya keemasan lembut menerangi wajahnya, sementara di sekelilingnya tampak bayangan kelabu — simbol dunia yang penuh ujian.

Surau.co. Menjadi orang baik di zaman sekarang memang tidak mudah. Dunia yang serba cepat, kompetitif, dan kadang penuh kepalsuan sering membuat kebaikan tampak seperti beban. Banyak orang ingin jadi baik, tapi tidak sedikit yang menyerah karena merasa usahanya tidak dihargai atau malah dimanfaatkan. Namun, pertanyaannya: apakah menjadi baik masih sepadan di tengah dunia yang sering tidak adil ini?

Jawabannya sederhana, iya tetap worth it banget kok. Sebab kebaikan bukan hanya tentang bagaimana orang lain memperlakukan kita, tapi tentang bagaimana kita menjaga hati agar tetap hidup dan bersinar di hadapan Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan:

وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan berbuatlah kebaikan, agar kamu beruntung.” (QS. Al-Hajj: 77)

Ayat ini sederhana tapi kuat. Allah tidak meminta hasil yang langsung tampak di dunia, tapi memerintahkan proses — berbuat baik, terus-menerus. Karena keberuntungan sejati bukan dari tepuk tangan manusia, tapi dari rida Allah.

Beratnya Menjadi Baik di Dunia yang Penuh Ujian

Banyak orang baik yang merasa lelah karena kebaikannya tidak selalu dibalas baik. Kadang malah dicurigai, disalahpahami, atau dituduh punya maksud lain. Inilah realitas yang sering membuat seseorang mulai ragu: “Apa gunanya jadi baik kalau ujungnya malah disakiti?”

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Namun, di sinilah letak ujian sebenarnya. Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)

Menjadi bermanfaat berarti rela menanggung lelah, bahkan disalahpahami. Tapi itulah kemuliaan sejati. Dunia mungkin tidak mengapresiasi, tapi Allah selalu mencatat setiap niat tulus dan setiap langkah kecil menuju kebaikan.

Kebaikan memang tidak selalu menyenangkan. Kadang terasa seperti berjalan sendirian di jalan yang sepi. Namun, seperti kata Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syathā ad-Dimyāthī dalam Kifāyatul Atqiyā’ wa Minhājul Ashfiyā’:

وَمِنْ عَلامَاتِ الْمُخْلِصِ أَنْ يَسْتَمِرَّ فِي عَمَلِهِ وَإِنْ لَمْ يُثْنِ عَلَيْهِ أَحَدٌ
“Salah satu tanda orang yang ikhlas adalah tetap melanjutkan amalnya, meski tak ada seorang pun yang memujinya.”

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Inilah bentuk ketulusan sebab tetap baik meski tak dilihat, tetap membantu meski tak dipuji.

Kebaikan Itu Investasi, Bukan Transaksi

Di era yang segalanya cepat, banyak orang ingin hasil instan, termasuk dalam berbuat baik. Kita berharap ucapan ramah dibalas dengan senyum, sedekah mendapat penghargaan, atau kebaikan direspons dengan ucapan terima kasih. Tapi kebaikan sejati bukan transaksi seperti itu — ia adalah investasi jangka panjang untuk jiwa.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ
“Sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. At-Taubah: 120)

Setiap senyuman yang tulus, setiap maaf yang kita berikan, dan setiap kesabaran yang kita tahan — semuanya dicatat. Mungkin tidak dibalas dalam bentuk uang atau pujian, tapi dalam bentuk ketenangan batin, kemudahan hidup, dan doa yang dikabulkan tanpa kita sadari.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Maka, jangan biarkan harapan pada manusia mengurangi semangat kita untuk berbuat baik. Jadikan setiap tindakan sebagai bukti cinta kita kepada Allah, bukan sebagai alat mencari pengakuan. Karena jika niat kita lurus, sekecil apa pun kebaikan, Allah pasti melihatnya.

Ketika Kebaikan Tidak Dihargai, Di Situ Nilainya Meningkat

Kita sering kecewa karena kebaikan kita tidak direspons seperti yang diharapkan. Namun, justru di situlah nilai kebaikan naik kelas. Syaikh Abu Bakar Syathā menjelaskan dalam Kifāyatul Atqiyā’:

إِذَا عَمِلَ الْعَبْدُ لِلَّهِ خَالِصًا فَلَا يَضُرُّهُ عَدَمُ الْقَبُولِ مِنَ النَّاسِ
“Apabila seorang hamba beramal semata karena Allah, maka tidak akan merugikannya meskipun amal itu tidak diterima oleh manusia.”

Artinya, ukuran keberhasilan kebaikan bukan pada respons manusia, tapi pada kemurnian niat. Kita tidak bisa mengatur hati orang lain, tapi kita bisa mengatur hati sendiri agar tetap lembut dan sabar.

Kebaikan yang tidak dihargai itu seperti benih yang ditanam di tanah keras. Ia mungkin lama tumbuh, tapi ketika tumbuh, akarnya kuat dan daunnya hijau. Dalam diam, Allah yang merawatnya — bukan manusia.

Menjadi Baik Bukan Tentang Lemah, Tapi Tentang Kuat Menahan Diri

Sebagian orang berpikir bahwa menjadi baik berarti mudah dimanfaatkan, terlalu lembek, atau tidak berani melawan. Padahal sebaliknya — menjadi baik itu butuh kekuatan yang luar biasa. Butuh kontrol diri untuk tidak membalas keburukan, butuh keberanian untuk tetap jujur saat semua orang memilih jalan pintas.

Nabi ﷺ bersabda:

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang kuat bukanlah yang menang dalam gulat, tetapi orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kekuatan sejati bukan terletak pada tangan, tapi pada hati. Orang baik bukan berarti tidak bisa marah, tapi ia memilih tidak dikuasai amarah. Ia menahan kata, menundukkan ego, dan tetap memilih sabar meski luka.

Dalam dunia yang penuh kebisingan dan provokasi, menahan diri adalah bentuk keberanian yang tidak semua orang sanggupi.

Kebaikan Menyembuhkan — Untuk Diri Sendiri dan Orang Lain

Ada keajaiban yang sering kita abaikan: kebaikan yang kita lakukan kepada orang lain sering kali menjadi obat bagi diri sendiri. Saat kita menolong, memberi, atau memaafkan, sebenarnya kita sedang membebaskan hati dari beban.

Rasulullah ﷺ bersabda:

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَـٰنُ
“Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Allah Yang Maha Pengasih.” (HR. Tirmidzi)

Saat kita berbuat baik, Allah menurunkan rahmat yang menenangkan hati. Karena itulah orang-orang yang gemar menolong cenderung lebih tenang hidupnya.
Kebaikan menyalurkan energi positif yang membuat hidup terasa lebih ringan, meski masalah tetap ada.

Jadi, ketika dunia terasa berat, cobalah bukan untuk menyerah, tapi untuk menambah kebaikan. Semakin banyak cahaya kita sebarkan, semakin sedikit ruang untuk gelap bertahan di hati.

Kebaikan Itu Jalan Panjang, Bukan Lintasan Pendek

Berbuat baik bukan perjalanan sekali jadi. Ia adalah jalan panjang yang penuh tikungan, tanjakan, dan rintangan. Kadang kita jatuh, lelah, bahkan ingin berhenti. Tapi setiap langkah yang tulus pasti bermakna di sisi Allah.

Allah berfirman:

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ
“Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya).” (QS. Az-Zalzalah: 7)

Ayat ini adalah pengingat halus bahwa tidak ada kebaikan yang sia-sia. Bahkan kebaikan kecil seperti senyum, membantu tanpa pamrih, atau menahan komentar jahat di media sosial — semuanya punya nilai di sisi Allah.

Kebaikan memang tidak menjanjikan jalan mudah, tapi selalu menjanjikan hati yang lapang dan hidup yang bermakna. Karena setiap niat baik yang kita jaga adalah cahaya yang menerangi langkah, meski dunia di sekitar gelap.

Penutup: Cahaya Kebaikan Tidak Pernah Padam

Menjadi orang baik itu berat — iya, benar. Tapi setiap beratnya mengajarkan makna baru tentang sabar, tentang tulus, dan tentang cinta kepada Allah.
Kadang, dunia tidak memberi tepuk tangan. Tapi Allah selalu menatap lembut, menghargai setiap usaha kecil yang kita lakukan dengan tulus.

Jadi, jangan berhenti hanya karena lelah atau kecewa. Teruslah menanam kebaikan, meski ladang dunia tampak kering. Karena Allah tidak pernah tidur dalam membalas kebaikan. Dan pada akhirnya, orang yang tetap berjalan di jalan kebaikanlah yang akan menemukan kedamaian sejati.

“Jika engkau tidak bisa menjadi matahari yang menyinari dunia, jadilah lilin kecil yang menerangi hatimu sendiri.”

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement