Surau.co. Di era digital seperti sekarang, setiap tindakan, kata, dan bahkan niat seseorang bisa dengan mudah menjadi bahan perbincangan publik. Dunia maya terasa seperti pasar besar tempat semua orang bisa bicara tanpa filter. Tidak sedikit yang memilih berkomentar tanpa memahami konteks, bahkan nyinyir menjadi gaya komunikasi yang dianggap “wajar”. Di tengah suasana seperti ini, berbaik sangka—husnuzan—seringkali terasa seperti langkah sulit, bahkan dianggap kelemahan.
Namun, justru di sinilah ujian terbesar bagi jiwa seorang muslim: mampukah kita tetap menjaga hati dari prasangka buruk di tengah dunia yang menormalisasi kebencian dan sindiran?
Allah Ta‘ala berfirman dalam Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.”
(QS. Al-Hujurat [49]: 12)
Ayat ini mengajarkan bahwa berbaik sangka bukan sekadar pilihan moral, tapi perintah langsung dari Allah. Dunia bisa nyinyir, tapi hati seorang mukmin seharusnya tetap jernih.
Ketika Nyinyir Jadi Budaya
Media sosial seolah menciptakan ruang tanpa batas untuk beropini. Setiap unggahan, baik yang serius maupun ringan, bisa diserbu komentar: ada yang mendukung, ada yang menertawakan, dan tak jarang yang mencibir. Fenomena ini menunjukkan satu hal: manusia semakin mudah menilai, tapi semakin malas memahami.
Padahal, Rasulullah ﷺ telah mengingatkan kita agar menjaga lisan dan hati. Beliau bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Nyinyir sering kali lahir dari ketidakmampuan mengelola hati dan pikiran. Ketika seseorang terlalu sibuk menilai hidup orang lain, ia kehilangan waktu untuk memperbaiki dirinya sendiri. Maka, berbaik sangka bukan sekadar tentang melihat sisi positif orang lain, tapi juga tentang menenangkan hati sendiri dari racun negatif yang membuat hidup sempit.
Husnuzan: Kekuatan yang Tenang tapi Dalam
Berbaik sangka sering disalahpahami sebagai bentuk ketidaktegasan atau kepolosan. Padahal, husnuzan adalah bentuk kekuatan spiritual. Orang yang bisa berbaik sangka berarti memiliki kendali atas pikirannya, tidak mudah terpancing oleh provokasi, dan mampu memandang hidup dengan cahaya iman.
Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syathā ad-Dimyāthī dalam kitab Kifāyatul Atqiyā’ wa Minhājul Ashfiyā’ menjelaskan:
وَحُسْنُ الظَّنِّ بِاللَّهِ أَنْ تَظُنَّ أَنَّهُ يُفْضِلُ عَلَيْكَ بِالْخَيْرِ، وَبِالنَّاسِ أَنْ تَظُنَّ بِهِمُ الْخَيْرَ مَا لَمْ يَظْهَرْ مِنْهُمُ الشَّرُّ
“Berbaik sangka kepada Allah ialah meyakini bahwa Dia akan melimpahkan kebaikan kepadamu; dan berbaik sangka kepada manusia ialah menganggap baik mereka selama belum tampak keburukannya.”
Penjelasan ini menegaskan bahwa husnuzan adalah bentuk kontrol spiritual. Ia melatih hati untuk tidak terburu-buru menghakimi, dan menumbuhkan harapan bahwa di balik setiap peristiwa selalu ada kebaikan yang tersembunyi.
Menyaring Dunia, Menjernihkan Hati
Setiap hari kita disuguhi ribuan informasi. Berita, komentar, dan opini berseliweran tanpa henti. Jika hati tidak dilatih dengan dzikir dan refleksi, maka yang tersisa hanya kelelahan emosional. Orang yang terus-menerus melihat sisi buruk dunia akan sulit merasa bahagia, karena fokusnya selalu pada kekurangan.
Di sinilah pentingnya filter hati. Rasulullah ﷺ bersabda:
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh, dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, itu adalah hati.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Berbaik sangka adalah cara menjaga hati agar tetap “sehat”. Hati yang sehat tidak mudah membenci, tidak cepat menuduh, dan tidak sibuk mengomentari keburukan orang lain. Ia memandang dunia dengan ketenangan dan kasih.
Saat Berbaik Sangka Justru Diuji
Tidak jarang, ketika seseorang memilih untuk tetap positif dan berbaik sangka, justru ia dianggap “tidak realistis” atau “naif”. Padahal, berbaik sangka bukan berarti menutup mata dari kenyataan, melainkan menolak untuk menambah keburukan dengan keburukan lain.
Rasulullah ﷺ pun pernah menghadapi cibiran, fitnah, dan tuduhan tanpa dasar. Namun beliau tetap memilih sabar dan memaafkan. Beliau tidak membalas dengan nyinyir, tetapi dengan ketenangan dan doa. Itulah bentuk tertinggi dari husnuzan: percaya bahwa Allah melihat semua, dan tidak ada kebaikan yang sia-sia di sisi-Nya.
إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا
“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman.”
(QS. Al-Hajj [22]: 38)
Maka, ketika dunia nyinyir, seorang mukmin memilih untuk tidak ikut-ikutan. Ia tahu bahwa pembelaan terbaik datang bukan dari debat atau klarifikasi, tapi dari ketulusan hatinya sendiri.
Belajar dari Cermin: Mungkin Nyinyir Itu Cerminan Diri
Sering kali kita marah karena merasa orang lain terlalu mudah mengomentari kita. Tapi pernahkah kita bertanya: jangan-jangan kita pun melakukan hal yang sama?
Kebiasaan nyinyir sering kali berakar dari ketidakpuasan dalam diri. Orang yang belum berdamai dengan hidupnya akan mudah mencari kekurangan pada orang lain. Maka, cara terbaik untuk melawan budaya nyinyir adalah dengan introspeksi diri.
Syaikh Abu Bakar ad-Dimyāthī berkata dalam Kifāyatul Atqiyā’:
مَنْ أَصْلَحَ بَاطِنَهُ أَصْلَحَ اللَّهُ ظَاهِرَهُ
“Barang siapa memperbaiki batinnya, maka Allah akan memperbaiki lahirnya.”
Artinya, kebaikan hati akan terpancar pada sikap dan perkataan. Orang yang batinnya damai tidak butuh merendahkan orang lain agar merasa berharga. Ia menemukan kebahagiaan dalam kedekatannya dengan Allah, bukan dalam perhatian manusia.
Ridha dan Berbaik Sangka: Dua Sayap Ketenangan
Berbaik sangka tidak bisa dipisahkan dari ridha. Ketika seseorang mampu menerima bahwa apa pun yang terjadi adalah ketentuan terbaik dari Allah, maka hatinya tidak lagi terguncang oleh omongan orang. Ia tenang karena yakin setiap peristiwa membawa hikmah.
Allah berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
(QS. Ar-Ra’d [13]: 28)
Hati yang ridha dan berbaik sangka tidak mudah terganggu oleh cibiran. Ia tahu, penilaian manusia berubah-ubah, tapi penilaian Allah kekal. Maka, setiap kali dunia terasa bising dengan komentar, kembali saja pada dzikir dan doa. Di sanalah sumber ketenangan sejati.
Penutup: Menyala dengan Tenang di Tengah Dunia yang Bising
Berbaik sangka di dunia yang penuh nyinyir adalah bentuk keberanian. Bukan keberanian untuk melawan orang lain, tetapi untuk menaklukkan diri sendiri. Setiap kali kita memilih untuk menahan komentar negatif, memaafkan tanpa diumumkan, atau memahami sebelum menilai—di situlah hati sedang bertumbuh.
Ketenangan tidak datang dari validasi, tetapi dari keyakinan bahwa Allah melihat semua usaha baik kita, sekecil apa pun itu. Dunia boleh bising, tapi hati yang berbaik sangka akan selalu tenang.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
