Surau.co. Ada satu jenis cinta yang nggak pernah bikin kita kecewa, nggak pernah meninggalkan, dan nggak pernah redup meski hidup lagi gelap—itulah cinta Ilahi. Ia seperti cahaya: lembut tapi menembus, hangat tapi menenangkan. Dalam hidup yang kadang terasa penuh kabut, cinta kepada Allah itu datang sebagai sinar yang menuntun arah.
Setiap manusia sebenarnya sedang mencari cahaya itu. Ada yang mencarinya lewat pencapaian, kekasih, karier, atau pengakuan. Namun, banyak dari kita lupa: sumber cahaya sejati bukan dari luar, tapi dari hati yang diterangi oleh cinta Allah. Tanpa itu, hidup bisa terasa seperti berjalan di malam panjang tanpa arah.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah (adalah) cahaya langit dan bumi.”
(QS. An-Nur [24]: 35)
Ayat ini bukan hanya tentang cahaya fisik, tapi tentang makna terdalam: Allah adalah sumber bimbingan, pengharapan, dan makna dalam hidup manusia. Tanpa cahaya itu, hati menjadi gelap—gelap oleh cinta dunia, gelap oleh amarah, gelap oleh lupa.
Ketika Cinta Ilahi Mulai Hilang, Gelap Pun Datang
Coba perhatikan hidup kita sehari-hari. Saat iman sedang kuat, hati terasa ringan. Tapi begitu kita menjauh dari zikir, malas ibadah, dan sibuk membandingkan diri di media sosial—hati mulai berat, cepat gelisah, mudah marah. Seolah dunia jadi sempit.
Arti pelindung batin. Ia bukan membuat kita kebal dari ujian, tapi menjadikan hati tetap bercahaya meski diuji. Kalau cinta itu mulai pudar, tanda-tandanya jelas: ibadah terasa beban, nasihat terasa mengganggu, dan doa terasa kosong. Padahal mungkin bukan dunia yang gelap, tapi hati kita yang kehilangan cahaya.
Cinta yang Menyembuhkan Luka
Hidup sering kali membuat kita terluka—oleh kehilangan, penolakan, atau kegagalan. Tapi cinta Allah selalu punya cara menenangkan tanpa suara. Saat manusia pergi, Dia tetap tinggal. Saat semua rencana gagal, Dia masih membuka pintu sabar dan harapan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا أَحَبَّ اللَّهُ عَبْدًا ابْتَلَاهُ
“Apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan mengujinya.”
(HR. Tirmidzi)
Ujian bukan tanda kebencian, tapi bukti perhatian. Karena lewat luka, Allah sering menyampaikan pesan cinta-Nya: agar kita kembali pada-Nya. Cinta Ilahi tidak selalu datang dalam bentuk kemudahan, tapi sering dalam bentuk kesadaran—bahwa kita butuh Dia.
Ketika hati sedang patah, kadang kita justru lebih mudah menemukan-Nya. Di titik paling rapuh itulah cahaya cinta Ilahi menyusup paling dalam.
Menghidupkan Cinta Ilahi dalam Kehidupan Modern
Kita hidup di zaman yang cepat, bising, dan penuh distraksi. Segala sesuatu ingin serba instan: bahagia, sukses, bahkan cinta. Tapi cinta kepada Allah menuntut kesabaran dan kontinuitas. Ia tumbuh dari hal-hal kecil: dari dzikir yang konsisten, dari rasa syukur tiap pagi, dari senyum tulus pada sesama.
Cinta Ilahi tidak ditemukan dengan banyak bicara tentang Allah, tapi dengan banyak diam untuk mendengarkan-Nya—lewat ayat, doa, dan kejadian yang kita alami setiap hari.
Allah berfirman:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu; dan bersyukurlah kepada-Ku, janganlah kamu kufur.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 152)
Zikir adalah cara kita menyalakan cahaya itu kembali. Setiap kali hati berdzikir, ia seperti menyalakan lilin kecil di tengah kegelapan dunia modern. Dan semakin banyak lilin yang dinyalakan, semakin teranglah jalan pulang menuju Allah.
Cinta yang Tidak Membebani
Banyak orang mengira mencintai Allah berarti harus meninggalkan dunia sepenuhnya. Padahal tidak. Justru cinta Ilahi membuat kita lebih hidup di dunia ini. Kita bekerja bukan karena gengsi, tapi karena ingin memberi manfaat. Kita menuntut ilmu bukan untuk sombong, tapi untuk memahami tanda-tanda kebesaran-Nya.
Cinta Ilahi menjadikan dunia tempat ibadah, bukan perlombaan kosong. Kita tetap menikmati teh di pagi hari, berjalan di taman, atau bercanda dengan teman—tapi semua itu terasa berbeda, karena hati tahu siapa yang menjadi pusatnya.
Syaikh Abu Bakar ad-Dimyāthī menjelaskan:
“الْمَحَبَّةُ الصَّادِقَةُ لَا تُبْعِدُ الْعَبْدَ عَنْ مَعَاشِهِ، وَلَكِنْ تُقَرِّبُهُ مِنْ رَبِّهِ فِي كُلِّ حَالٍ.”
“Cinta yang tulus tidak menjauhkan seorang hamba dari dunianya, tetapi mendekatkannya kepada Tuhannya dalam setiap keadaan.”
Maka, mencintai Allah bukan berarti hidup jadi sempit. Justru hati yang penuh cinta kepada-Nya akan lapang menghadapi segala hal.
Cinta yang Mengubah Cara Pandang
Ketika hati diterangi oleh cinta Ilahi, cara pandang kita terhadap hidup berubah total. Masalah yang dulu terasa besar jadi terasa ringan. Rezeki kecil terasa cukup. Pertemuan dan perpisahan jadi bagian dari takdir yang indah. Karena hati yang bercahaya tidak lagi menuntut, tapi menerima.
Ridha dan syukur menjadi refleks alami. Bukan karena semuanya berjalan sesuai rencana, tapi karena kita tahu: semua berjalan sesuai kehendak-Nya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ
“Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin. Semua urusannya adalah kebaikan baginya.”
(HR. Muslim)
Cinta kepada Allah membentuk keyakinan seperti ini. Tidak ada yang benar-benar buruk jika hati sudah belajar melihat dengan cahaya-Nya.
Menemukan Ketenangan dalam Sujud
Tidak ada tempat paling tenang selain tempat di mana dahi menyentuh bumi dan hati menyentuh langit. Dalam sujud, semua hiruk pikuk dunia berhenti. Di sana, cinta Ilahi terasa nyata: tidak lewat kata, tapi lewat kedekatan.
Cobalah rasakan setelah shalat malam atau setelah istighfar di sepertiga malam. Hati yang tadinya sempit tiba-tiba lega, air mata jatuh tanpa alasan logis. Itu bukan kelemahan, tapi tanda cinta mulai menyapa.
Allah berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
(QS. Ar-Ra’d [13]: 28)
Cinta Ilahi bukan sekadar konsep teologis, tapi pengalaman batin yang nyata. Ia terasa dalam tenangnya napas setelah doa, dalam leganya hati setelah memaafkan, dalam sabarnya langkah menghadapi ujian.
Cinta yang Membawa Pulang
Setiap manusia, cepat atau lambat, akan pulang. Dan cinta Ilahi adalah cahaya yang menunjukkan jalan pulang itu. Dunia ini hanya tempat singgah; terlalu gelap kalau tanpa cahaya cinta-Nya.
Maka, ketika hati mulai lelah, ketika dunia terasa terlalu berat, cukup katakan pada diri sendiri: “Aku masih punya Allah.” Karena tidak ada cinta yang lebih besar, lebih murni, dan lebih setia daripada cinta dari Dia yang menciptakan kita.
Penutup: Cahaya Itu Ada di Dalam Diri
Cinta Ilahi itu bukan sesuatu yang harus dicari jauh-jauh. Ia sudah ada di dalam setiap hati yang mau membersihkan diri dari kegelapan dunia. Kadang cukup dengan satu langkah kecil: shalat tepat waktu, dzikir tanpa tergesa, atau sekadar menyebut nama-Nya dengan tulus. Dari situ, cahaya akan mulai tumbuh.
Karena sejatinya, setiap cinta manusia hanya pantulan dari cinta Allah yang lebih agung. Dan ketika kita sudah mengenal cinta itu, dunia tak lagi menakutkan. Hati jadi tenang, karena tahu: dalam setiap cahaya, selalu ada Allah yang menyinari.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
