Surau.co. Ada satu hal yang sering luput dari kesibukan kita: hubungan dengan Allah. Kita sibuk dengan target dunia, sibuk memperbaiki citra diri, sibuk mencari ketenangan dari banyak hal — tapi justru makin jauh dari sumber ketenangan itu sendiri. Padahal, kalau mau jujur, setiap kali hati mulai lelah, yang kita butuhkan sebenarnya bukan hiburan, tapi kedekatan dengan Allah.
“Deket aja ke Allah,” begitu sering kita dengar dari ustaz atau teman yang menasihati. Tapi apa sebenarnya makna dekat kepada Allah itu? Dan kenapa kedekatan itu bisa bikin hidup terasa lebih tenang?
Ketenangan Itu Bukan Hasil, Tapi Hadiah dari Kedekatan
Banyak orang mencari ketenangan dengan cara sibuk. Sibuk bekerja, sibuk jalan-jalan, sibuk mencari validasi dari orang lain. Tapi setelah semua dilakukan, tetap ada ruang kosong yang tidak bisa diisi. Rasa tenang itu tidak datang dari luar, tapi dari dalam — dari hubungan yang selaras antara hati dan Penciptanya.
Allah berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
(QS. Ar-Ra’d [13]: 28)
Ayat ini bukan sekadar nasihat, tapi pernyataan spiritual yang dalam. Ketika hati sibuk mengingat Allah, gelombang kecemasan menurun. Saat hati sadar bahwa segala sesuatu dalam hidup ada dalam kendali Allah, maka ketenangan menjadi logis.
Kedekatan dengan Allah bukan berarti hidup bebas dari masalah, tapi hati punya pegangan saat masalah datang. Ia seperti memiliki pelabuhan yang tenang ketika badai melanda.
Deket ke Allah Itu Nggak Harus Sulit
Kadang kita merasa “dekat dengan Allah” hanya bisa dilakukan oleh orang saleh, ustaz, atau para ahli ibadah. Padahal, Allah membuka jalan kedekatan itu untuk semua orang — tanpa syarat status, tanpa batas waktu.
Kedekatan kepada Allah bukan soal seberapa banyak amal, tapi seberapa tulus niat hati saat melakukannya. Rasulullah ﷺ bersabda:
أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ
“Posisi terdekat seorang hamba dengan Tuhannya adalah ketika ia sedang sujud.”
(HR. Muslim)
Sujud bukan hanya gerakan, tapi simbol kerendahan total. Dalam posisi paling rendah secara fisik, justru di situlah manusia menjadi paling tinggi secara spiritual. Sujud bukan hanya di sajadah, tapi juga dalam kesadaran: bahwa kita ini lemah dan Allah Maha Kuasa.
Kedekatan itu bisa hadir dari hal-hal sederhana: shalat dengan hati, membaca Al-Qur’an walau sebentar, atau sekadar berhenti sejenak dari hiruk pikuk dunia untuk mengucap, “Alhamdulillah.” Itulah bentuk micro moments of tawakkul — jeda singkat untuk kembali mengingat siapa yang menggenggam hidup kita.
Hidup Modern, Tapi Hati Kosong
Zaman sekarang, kita punya semua alat untuk memudahkan hidup, tapi justru makin sering merasa cemas. Notifikasi di ponsel membuat kita sibuk, tapi hati sering sunyi. Kita bisa video call ke seluruh dunia, tapi sulit bicara jujur pada diri sendiri.
Inilah yang disebut oleh Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syathā ad-Dimyāthī dalam Kifāyatul Atqiyā’ wa Minhājul Ashfiyā’ sebagai bentuk “ghaflah” (kelalaian). Beliau berkata:
مَنْ غَفَلَ عَنْ اللَّهِ قَلْبُهُ ضَاقَتْ عَلَيْهِ الدُّنْيَا وَإِنْ اتَّسَعَتْ
“Siapa yang lalai dari Allah, maka dunia terasa sempit baginya, meskipun dunia itu luas.”
Kalimat ini terasa relevan sekali dengan kondisi manusia modern. Dunia digital memberi ruang luas untuk bergerak, tapi hati tetap merasa sempit karena kehilangan arah spiritual. Maka, deket ke Allah bukan sekadar ibadah formal, tapi cara menata ulang batin agar tidak tersesat di tengah dunia yang serba cepat.
Kenapa Kedekatan dengan Allah Membuat Hidup Lebih Tenang
Ketika kita mendekat kepada Allah, kita sedang mengubah arah sumber kekuatan. Sebelumnya, kita bergantung pada manusia, materi, dan situasi. Tapi saat kita kembali ke Allah, kita bersandar pada sesuatu yang tidak berubah — Yang Maha Kekal.
Rasulullah ﷺ bersabda:
احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ
“Jagalah Allah (yakni, perintah-perintah-Nya), niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu.”
(HR. Tirmidzi)
Hadits ini sederhana tapi mendalam: kedekatan dengan Allah bukan hanya memberi rasa aman, tapi juga rasa “dijaga.” Ketika hati merasa dijaga oleh Zat Yang Maha Kuasa, maka ketenangan bukan lagi harapan, melainkan kenyataan batin.
Dekat dengan Allah berarti mengenali bahwa apapun yang terjadi bukan kebetulan. Rezeki yang datang, kesulitan yang menghampiri, doa yang belum terkabul — semua adalah bagian dari rancangan kasih sayang-Nya. Dari kesadaran itulah muncul ketenangan yang sejati.
Tanda-Tanda Orang yang Dekat dengan Allah
Kedekatan kepada Allah bukan selalu terlihat dari pakaian, ucapan, atau status sosial. Ia adalah keadaan batin yang tercermin lewat sikap. Ada beberapa tanda orang yang hatinya dekat kepada Allah:
- Hatinya tenang di tengah kesulitan.
Bukan karena tidak peduli, tapi karena tahu bahwa setiap kesulitan sudah diatur oleh Zat yang Maha Bijaksana. - Tidak sombong saat diberi nikmat.
Ia melihat setiap keberhasilan bukan hasil usaha semata, tapi rahmat dari Allah. - Cepat kembali setelah tergelincir.
Saat melakukan kesalahan, hatinya tidak keras. Ia segera sadar dan bertaubat. - Mudah bersyukur.
Sekecil apapun nikmat yang datang, ia mampu melihat keindahan di dalamnya.
Kedekatan kepada Allah membuat seseorang tidak bergantung pada keadaan. Ia tetap tenang meski dunia berubah.
Cara Sederhana Untuk Makin Dekat ke Allah
- Mulai dari keheningan.
Carilah waktu di sela kesibukan untuk diam sejenak dan berbicara dengan Allah. Tidak perlu panjang, cukup jujur. - Perbanyak dzikir.
Dzikir bukan hanya ritual, tapi latihan hati untuk tetap terhubung. Dalam setiap “Subhanallah” dan “Astaghfirullah” ada gelombang ketenangan. - Tafakur atas ciptaan Allah.
Pandang langit, hirup udara, rasakan detak jantung. Semua itu tanda-tanda kebesaran-Nya. - Ikhlas dalam amal kecil.
Jangan menunggu momen besar untuk mendekat. Bahkan senyum tulus dan tolong-menolong kecil bisa jadi jalan menuju ridha Allah. - Shalat dengan kesadaran penuh.
Shalat adalah dialog, bukan kewajiban mekanik. Semakin sadar kita sedang berbicara dengan Allah, semakin terasa dekatnya Dia.
Deket ke Allah Itu Bukan Tentang “Pantas” atau “Tidak”
Sering kali, kita merasa malu mendekat karena merasa penuh dosa. Tapi justru itu alasan paling kuat untuk kembali. Allah tidak menolak orang berdosa yang ingin berubah. Dalam hadits qudsi disebutkan:
يَا ابْنَ آدَمَ، لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ
“Wahai anak Adam, jika dosa-dosamu sampai ke langit, lalu engkau memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampunimu.”
(HR. Tirmidzi)
Kedekatan kepada Allah tidak pernah tertutup oleh dosa, hanya oleh keengganan untuk bertaubat. Bahkan langkah pertama untuk mendekat adalah pengakuan bahwa kita butuh-Nya.
Syaikh ad-Dimyāthī berkata:
مَنْ عَرَفَ اللَّهَ أَحَبَّهُ، وَمَنْ أَحَبَّهُ لَمْ يُفَارِقْهُ قَلْبُهُ
“Siapa yang mengenal Allah, maka ia akan mencintai-Nya. Dan siapa yang mencintai-Nya, maka hatinya tak akan pernah jauh dari-Nya.”
Maka, semakin kita mengenal Allah, semakin mudah hati merasa dekat, semakin dekat hati merasa tenang.
Penutup: Ketenangan Itu Dekat, Bukan Jauh
Kita sering mencari ketenangan di luar diri — dalam pencapaian, dalam orang lain, dalam kesenangan sesaat. Padahal, ketenangan itu hanya muncul ketika hati dekat dengan Allah.
Deket ke Allah bukan berarti hidup tanpa masalah, tapi hidup dengan makna. Ia bukan tentang kesempurnaan, tapi tentang arah hati yang terus kembali.
Kadang hidup membuat kita lupa, tapi Allah tidak pernah menjauh. Ia hanya menunggu hati yang mau pulang. Dan ketika hati itu kembali, dunia terasa damai meski masih penuh perjuangan.
“Deket aja ke Allah, nanti makin tenang hidupmu.”
Karena semakin dekat kita pada sumber cahaya, semakin hilanglah gelap di dalam jiwa.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
