Khazanah
Beranda » Berita » Kalau Hidup Nggak Sesuai Harapan, Apa Masih Bisa Ridha?

Kalau Hidup Nggak Sesuai Harapan, Apa Masih Bisa Ridha?

Pemuda muslim berdiri di antara dua jalan simbol ridha dan ego, diterangi cahaya senja lembut.
Seorang muslim berdiri di antara dua jalan di bawah cahaya senja lembut; satu jalan berwarna hijau kebiruan melambangkan ridha, satu lagi abu-abu melambangkan sikap acuh. Sosok itu menatap cahaya hangat di ujung jalan.

Surau.co. Kadang hidup terasa seperti jalan panjang yang tak selalu lurus. Ada harapan yang kita bangun dengan sungguh-sungguh, namun kenyataan justru memilih arah yang lain. Di momen seperti itu, muncul pertanyaan yang mengusik batin: kalau hidup nggak sesuai harapan, apa masih bisa ridha?

Kata ridha sering terdengar lembut tapi maknanya dalam. Ia bukan sekadar pasrah tanpa daya, tapi sebuah penerimaan aktif atas takdir Allah. Dalam Islam, ridha bukan tanda kelemahan, melainkan puncak kekuatan spiritual—ketika hati tetap tenang meski hidup tak berjalan sesuai rencana.

Mengapa Harapan Sering Tak Sejalan dengan Takdir

Setiap manusia hidup dengan harapan. Kita berencana, berdoa, berusaha, dan menunggu hasil terbaik. Namun, sering kali hasil yang datang tidak seperti yang kita inginkan. Di sinilah benturan antara keinginan dan ketetapan Allah mulai terasa.

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 216)

Ayat ini seolah menepuk lembut hati kita: tidak semua yang tampak buruk itu benar-benar buruk. Bisa jadi justru di sanalah Allah sedang memperbaiki arah hidup kita, meski kita belum mampu melihatnya sekarang.

Harapan yang tak sejalan dengan takdir sering melahirkan kecewa. Namun, kecewa adalah bagian dari menjadi manusia. Ridha bukan berarti tidak boleh merasa sedih, tapi bagaimana kita menata sedih itu agar tidak menenggelamkan keyakinan kepada Allah.

Ridha Itu Bukan Pasrah Buta

Banyak yang salah paham bahwa ridha berarti berhenti berusaha. Padahal, ridha justru hadir setelah usaha maksimal dilakukan. Seorang hamba ridha bukan karena menyerah, tapi karena sadar bahwa hasil adalah hak Allah, bukan dirinya.

Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syathā ad-Dimyāthī dalam Kifāyatul Atqiyā’ wa Minhājul Ashfiyā’ menulis:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

الرِّضَا سُكُونُ الْقَلْبِ عَنْ أَقْدَارِ اللَّهِ تَعَالَى
“Ridha adalah ketenangan hati terhadap segala ketentuan Allah Ta‘ala.”

Ketenangan ini tidak muncul tiba-tiba. Ia adalah buah dari iman yang matang, dari latihan batin untuk percaya bahwa setiap garis hidup yang Allah tentukan selalu memiliki hikmah tersembunyi.

Ridha bukan berarti berhenti berharap. Justru ridha membuat harapan kita lebih jernih—tidak lagi terikat hasil duniawi, tapi diarahkan pada nilai spiritual: bagaimana setiap peristiwa mendekatkan kita pada Allah.

Belajar Ridha dari Rasulullah ﷺ

Tidak ada sosok yang lebih sempurna dalam ridha selain Rasulullah ﷺ. Hidup beliau penuh ujian: kehilangan orang-orang yang dicintai, dihina oleh kaumnya, mengalami kelaparan, bahkan terluka di medan perang. Namun, beliau tetap tersenyum dan berkata dengan penuh keyakinan:

إِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَذَا لَكَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ قَدَّرَ اللَّهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ “لَوْ” تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

“Jika sesuatu menimpamu, janganlah engkau berkata: ‘Seandainya aku melakukan ini dan itu, tentu hasilnya akan begini dan begitu.’ Tetapi katakanlah: ‘Ini sudah takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena ucapan ‘seandainya’ membuka pintu perbuatan setan.”
(HR. Muslim)

Hadits ini mengajarkan, bahwa ridha adalah cara hati untuk menutup celah syaitan yang sering memancing kita dengan penyesalan dan perasaan gagal. Rasulullah tidak menghapus rasa manusiawi, tapi beliau menuntun bagaimana cara menata rasa itu agar tidak menodai iman.

Ketika Hati Sulit Ridha

Ridha tidak mudah. Bahkan bagi orang beriman, ada masa-masa di mana hati terasa memberontak. Ketika rencana hidup berantakan, hubungan gagal, karier stagnan, atau doa seakan tak dikabulkan, kita mulai bertanya: “Kenapa Allah begini sama aku?”

Di sinilah ujian sebenarnya. Bukan pada peristiwa yang terjadi, tapi pada bagaimana hati kita meresponsnya.

Syaikh Abu Bakar ad-Dimyāthī menerangakan dalam Kifāyatul Atqiyā’:

الرِّضَا ثَمَرَةُ الْمَعْرِفَةِ
“Ridha adalah buah dari ma’rifah (pengenalan terhadap Allah).”

Artinya, seseorang tidak akan bisa ridha kalau ia belum benar-benar mengenal siapa Tuhannya. Semakin dalam seseorang mengenal Allah, semakin lapang ia menerima apa pun dari-Nya. Ia tahu bahwa setiap ujian datang bukan untuk menghancurkan, tapi untuk menguatkan.

Maka, ketika hati sulit ridha, itu tandanya kita sedang butuh mengenal Allah lebih dekat—melalui dzikir, tilawah, doa, dan refleksi atas pengalaman hidup.

Ridha dan Ketenangan Batin

Dalam Al-Qur’an, Allah menggambarkan hati yang tenang dengan keimanan dan keikhlasan sebagai hadiah bagi orang yang ridha:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai.”
(QS. Al-Fajr [89]: 27–28)

Ayat ini bukan hanya gambaran tentang akhirat, tapi juga tentang keadaan batin di dunia. Jiwa yang ridha adalah jiwa yang tidak lagi dikendalikan oleh kecewa. Ia tidak kehilangan arah ketika harapan gagal, karena arah hidupnya sudah tertambat pada Allah.

Ridha membawa ketenangan yang tidak bisa dibeli. Ia membuat seseorang tetap tersenyum meski keadaan tidak ideal, karena ia tahu bahwa ketenangan bukan datang dari terpenuhinya semua harapan, tapi dari keyakinan bahwa Allah selalu memberi yang terbaik.

Antara Ridha dan “Bodo Amat”

Di zaman sekarang, banyak orang mengira bahwa cara menghadapi hidup yang tidak sesuai harapan adalah dengan bersikap “bodo amat.” Tapi ada perbedaan besar antara bodo amat dan ridha.

“Bodo amat” berarti mematikan rasa, sementara ridha justru menghidupkan rasa dengan kesadaran ilahi. Orang yang bodo amat berjarak dari perasaannya agar tidak sakit; sedangkan orang yang ridha menerima rasa sakitnya sebagai bagian dari perjalanan menuju kedewasaan iman.

Ridha tidak menolak kenyataan, tapi menundukkan ego agar sejalan dengan kehendak Allah. Inilah sikap yang membuat hati tetap hidup, lembut, dan kuat di saat yang sama.

Cara Melatih Ridha dalam Kehidupan Sehari-hari

Ridha tidak datang tiba-tiba; ia butuh latihan batin. Ada beberapa langkah sederhana untuk menumbuhkannya:

  1. Kenali bahwa semua milik Allah.
    Ketika kita sadar bahwa segala sesuatu hanyalah titipan, kehilangan pun terasa lebih ringan.
  2. Ubah cara pandang terhadap ujian.
    Lihat setiap kegagalan bukan sebagai akhir, tapi sebagai pergeseran arah menuju kebaikan lain yang belum kita pahami.
  3. Bersyukur meski kecil.
    Syukur adalah pintu menuju ridha. Orang yang terbiasa melihat nikmat kecil akan lebih mudah menerima kehilangan yang besar.
  4. Perbanyak doa dan zikir.
    Ketika hati bergetar menyebut nama Allah, ketenangan itu tumbuh perlahan. Ridha bukan dari logika, tapi dari kedekatan dengan Sang Pencipta.

Ridha: Seni Menyerahkan Diri dengan Anggun

Ridha adalah seni spiritual tertinggi—menyerahkan diri tanpa kehilangan arah, berpasrah tanpa menyerah. Ia membuat kita mampu berdiri tegak di tengah badai, bukan karena badai reda, tapi karena hati telah menemukan pelabuhannya.

Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan penuh ekspektasi, ridha menjadi oase batin. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan tidak selalu datang ketika semua berjalan sesuai rencana, tapi ketika kita mampu berkata dengan lembut di dalam hati: “Ya Allah, aku percaya pada keputusan-Mu.”

Penutup: Ridha, Jalan Sunyi yang Membahagiakan

Ridha bukan sekadar kata, melainkan jalan panjang yang harus dilalui dengan sabar. Kadang ia sunyi, kadang perih, tapi di ujungnya ada kedamaian yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Hidup memang tak selalu sesuai harapan, tapi Allah selalu sesuai kasih sayang-Nya. Mungkin bukan hasil yang kita mau, tapi pasti hasil yang kita butuh.

Dan di situlah rahasia ketenangan ditemukan—bukan ketika semua mudah, tapi ketika hati akhirnya belajar berkata:

“Aku tidak tahu apa yang terbaik untukku, tapi aku tahu Engkau, Ya Allah, selalu memberiku yang terbaik.”

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement