SURAU.CO – Sayyid Tsabit Al-Bunani adalah seorang tabi’in yang dikenal dengan keistiqamahannya dalam beribadah. Beliau tinggal di Basrah, Irak, dan wafat pada tahun 127 Hijriah dalam usia 86 tahun. Tsabit dikenal rajin mengkhatamkan Al-Qur’an setiap malam dan sering berziarah ke Makam. Kecintaannya kepada ibadah dan keinginan yang kuat untuk mengambil pelajaran dari kematian membuat Allah menganugerahkan kepadanya sebuah karomah berupa mimpi yang sarat makna.
Dalam Kitab Al-Mawaidh Al-Usfuriyah karya Imam Muhammad bin Abu Bakar, disebutkan kisah luar biasa yang dialami Tsabit Al-Bunani. Dalam salah satu malam setelah beliau berziarah kubur, Tsabit tertidur dan bermimpi berada di alam kubur. Mimpi itu bukan sekadar bunga tidur, tetapi mengandung pelajaran mendalam tentang hubungan antara dunia dan akhirat.
Mimpi di Alam Kubur
Dalam mimpinya, Tsabit Al-Bunani melihat para penghuni kubur keluar dari liang masing-masing. Wajah mereka tampak bersinar, pakaian mereka indah, dan tangan mereka membawa nampan berisi aneka makanan. Mereka terlihat bahagia dan berseri-seri. Namun, di antara mereka ada seorang pemuda yang berbeda.
Pemuda itu tampil luluh dan murung. Bajunya compang-camping, wajahnya pucat, dan tangannya kosong. Ia berjalan tertunduk tanpa membawa makanan seperti yang lain. Pemandangan itu mengundang rasa dia Tsabit. Ia pun bertanya, “Wahai pemuda, siapa kamu sebenarnya? Mengapa kamu tampak sedih sementara yang lain bersuka cita?”
Dengan suara lirih, pemuda itu menjawab, “Wahai imamnya kaum Muslimin, aku menjadi orang asing di antara mereka. Tidak ada seorang pun yang mengingatku, apalagi mengirimkan doa dan kebaikan. Mereka yang Anda lihat gembira itu menerima pahala dari anak, keluarga, dan kerabat yang mendoakan mereka. Setiap malam Jumat, amal dan doa dari keluarganya sampai kepada mereka. Sedangkan aku, tak seorang pun mengingatku.”
Lupa Mendoakan Anak Sendiri
Dari penjelasan pemuda itu, Tsabit mengetahui bahwa ia sebenarnya masih memiliki seorang ibu. Namun, setelah ia meninggal dalam perjalanan Tanah Suci bersama sang ibu, menuju wanita itu menikah lagi dan tidak pernah lagi mendoakan anaknya. Betapa sedihnya nasib si pemuda: bukan karena ia jahat di dunia, tetapi karena hancur setelah kematian.
Merasa iba, Tsabit pun berjanji untuk membantu. Ia bertanya di mana ibunya tinggal agar bisa menyampaikan pesan dari anaknya. Pemuda itu menjawab, “Ibuku tinggal di kota ini, di rumah ini. Katakan padanya bahwa jika dia tidak percaya, dalam sakunya ada 100 mitsqol perak peninggalan ayahku. Itu adalah haknya, dan dengan itu dia akan tahu bahwa aku benar-benar anaknya.”
Doa yang Membebaskan dari Derita
Setelah terbangun, Tsabit segera mencari wanita yang dimaksud. Saat bertemu, ia menceritakan perihal mimpi dan pesan anaknya. Awalnya menyanyikan ibu ragu. Namun, ketika Tsabit menyebutkan tentang uang 100 mitqol perak di sakunya, wanita itu terkejut dan percaya. Ia menangis sejadi-jadinya lalu pingsan. Setelah sadar, ia menyerahkan uang itu kepada Tsabit agar disedekahkan atas nama anaknya.
Malam Jumat berikutnya, Tsabit kembali bermimpi. Ia melihat pemuda itu lagi, tapi kini penampilannya telah berubah. Bajunya bersih, wajahnya bersinar, dan senyumnya penuh kebahagiaan. Ia berkata dengan penuh syukur, “Wahai imam, semoga Allah merahmatimu sebagaimana engkau telah mencintaiku. Kini aku telah berbahagia. Ketahuilah, amal baik yang dilakukan oleh orang yang masih hidup dapat membahagiakan penghuni kubur. Sebaliknya, dosa dan maksiat bisa menyakiti mereka.”
Kisah ini memberi pelajaran mendalam tentang pentingnya mengingat dan mendoakan orang yang telah wafat. Bagi mereka, doa dan amal dari orang yang masih hidup adalah sumber kebahagiaan di alam kubur. Rasulullah SAW pun bersabda, “Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak saleh yang mendoakannya.” (HR.Muslim).
Doa yang tulus dari keluarga bukan hanya bentuk cinta, tetapi juga menjadi penyambung rahmat Allah bagi yang telah tiada. Mereka yang telah meninggal masih memiliki harapan dari kita: agar setiap membaca Al-Fatihah, dzikir, sedekah, dan amal baik yang kita hadiahkan sampai kepada mereka sebagai cahaya di alam barzakh.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
