SURAU.CO. Perjalanan panjang bangsa Indonesia selalu memperlihatkan harmoni yang indah antara agama dan budaya. Sejak masa-masa awal peradaban, keduanya tumbuh beriringan, saling memengaruhi, dan menenun jalinan nilai yang membentuk wajah kebudayaan kita hari ini. Dari sinergi itulah lahir berbagai warisan kearifan yang memperkaya batin dan menuntun laku hidup masyarakat, salah satunya adalah pepatah Jawa “Mikul Duwur Mendem Jero.”
Sekilas, ungkapan ini tampak sederhana, namun di balik kesahajaannya tersimpan kedalaman makna yang luar biasa. Ia tidak berhenti sebagai nasihat moral semata, melainkan menjelma menjadi cermin etika sosial, spiritualitas, dan kesadaran diri yang hidup dalam denyut kebudayaan Jawa.
Makna Harfiah dan Simbolis
Secara harfiah, kata “mikul” berarti memikul atau membawa sesuatu di atas bahu, sedangkan “dhuwur” bermakna tinggi. Adapun “mendem” berarti menanam atau mengubur, dan “jero” berarti dalam. Jika dirangkai, ungkapan “mikul dhuwur mendem jero” melukiskan sikap menjunjung tinggi sesuatu yang mulia sekaligus menyimpan sesuatu yang kurang baik dengan sangat dalam.
Yang dijunjung tinggi adalah kehormatan, jasa, dan kebaikan—terutama milik orang tua, guru, atau para leluhur yang telah berjasa membentuk kita. Sebaliknya, yang dikubur dalam-dalam adalah kesalahan, kekhilafan, dan aib mereka, bukan untuk menutup-nutupi, melainkan sebagai wujud kasih, penghormatan, dan kebijaksanaan dalam menjaga martabat mereka.
Lebih dari Sekadar Menutup Aib
Makna pepatah ini tidak berhenti pada upaya menutup kesalahan. Justru sebaliknya, “mikul duwur mendem jero” mengajarkan kebijaksanaan dalam menyeimbangkan rasa hormat dan kebenaran. Menjunjung tinggi bukan berarti menyanjung buta, dan memendam bukan berarti menutupi tanpa perbaikan. Dalam etika Jawa, menghormati berarti menuntun dengan kasih, bukan mempermalukan dengan amarah.
Lebih dalam, pepatah ini juga menautkan pengetahuan dengan kepribadian. Tradisi Jawa mengajarkan bahwa pembelajaran sejati dimulai dari “mendem jero”—menyelami diri dan mengolah batin—hingga akhirnya mampu “mikul duwur”, menjunjung tinggi ilmu dan budi luhur. Dengan demikian, “mikul duwur mendem jero” bukan hanya ajaran sosial, melainkan jalan spiritual menuju kebijaksanaan dan keutuhan diri.
Implementasi Nilai dalam Kehidupan Sehari-hari
Nilai-nilai “mikul duwur mendem jero” tercermin dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam keluarga, seorang anak belajar menjunjung tinggi nama baik orang tuanya sekaligus menjaga aib keluarga dengan kasih sayang, bukan dengan penyangkalan. Dalam dunia pendidikan, murid yang beradab akan menghormati gurunya, menjaga martabatnya, dan meneladani akhlaknya dalam setiap tindakan.
Begitu pula di lingkungan kerja, bawahan menunjukkan rasa hormat dengan menutupi kekurangan atasannya tanpa mengorbankan kejujuran. Sebaliknya, pemimpin sejati menjalankan tanggung jawabnya dengan keteladanan, bukan sekadar menuntut penghormatan. Dengan begitu, pepatah ini menjadi napas moral yang menuntun setiap hubungan agar tetap berlandaskan hormat, kasih, dan kebijaksanaan.
Sikap Saling Menghargai dan Rasa Syukur di Masyarakat
Dalam kehidupan bermasyarakat, “mikul duwur mendem jero” menjadi landasan sikap saling menghargai dan menumbuhkan rasa syukur. Mengucapkan terima kasih bukan sekadar sopan santun, melainkan wujud kesadaran bahwa setiap kebaikan manusia adalah perpanjangan rahmat Allah Swt.
Nilai ini tampak hidup dalam tradisi sosial seperti Bersih Dusun atau Rasulan di pedesaan Jawa. Melalui kegiatan itu, warga diingatkan untuk bersyukur, menjaga kerukunan, serta menghormati para pendahulu yang telah berjuang demi ketentraman bersama. Dengan demikian, pepatah ini tak hanya menjadi nasihat lama, tetapi napas yang menuntun masyarakat untuk tetap berakar pada adab, kebersyukuran, dan harmoni sosial.
Relasi Ajaran Islam: Menjaga Kehormatan Sesama
Nilai “mikul duwur mendem jero” sejatinya memiliki pijakan yang kuat dalam ajaran Islam. Rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang menutupi aib saudaranya, maka Allah Swt akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” Islam menempatkan kehormatan manusia di atas segalanya, dan adab menjadi bagian tak terpisahkan dari iman. Dengan begitu, falsafah Jawa ini merupakan pengejawantahan akhlak Islam dalam makna bahasa budaya.
Dalam konteks pendidikan Islam kontemporer, nilai ini dapat menjadi fondasi penting. Ia menumbuhkan pembelajaran yang berakar pada kearifan lokal namun tetap terbuka pada cakrawala global. Pendidikan tidak semata mengajarkan ilmu, tetapi juga menanamkan kebijaksanaan, kesederhanaan, dan penghormatan—baik kepada guru maupun leluhur. Di sinilah “mikul duwur mendem jero” menemukan relevansinya: menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas, antara etika lokal dan nilai universal yang meneguhkan kemanusiaan.
Hikmah dari Masa Lalu untuk Melangkah Maju
Pepatah Jawa ini mengajarkan hal penting: menghormati masa lalu bukan berarti terjebak di dalamnya. Masa lalu adalah sumber hikmah untuk menapaki masa depan. Kita menghormati leluhur bukan karena mereka sempurna, tetapi karena dari merekalah kita belajar arti perjuangan dan ketulusan. Seperti pesan bijak, “yen ngombe banyu, elinga marang sumberé”—jika kita minum air, jangan lupa sumbernya.
Pada akhirnya, “mikul duwur mendem jero” adalah panggilan untuk menjaga kehormatan dan menumbuhkan kebijaksanaan. Mengangkat yang mulia tanpa sombong, memendam yang kurang baik tanpa dendam. Di tengah dunia yang serba terbuka, falsafah ini menuntun kita pada keheningan batin—bahwa yang paling tinggi adalah yang mampu menunduk, dan yang paling dalam adalah yang menjunjung kebaikan dengan hati bersih.Wallahu a’lam bish-shawab.(kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
