Kisah
Beranda » Berita » Hajar: Keteguhan Ibu dan Sumber Air Kehidupan

Hajar: Keteguhan Ibu dan Sumber Air Kehidupan

Kehidupan Hajar
Ilustrasi Hajar sebagai seorang ibu yang sedang berjuang mencari air kehidupan untuk anaknya. Foto: perplexity

SURAU.CO. Pada zaman sekarang, masih banyak kita mendengar dan melihat para ibu muda yang mengeluh dengan segala dramanya ketika merawat bayi mereka sendiri. Dalam kehidupan yang serba mudah ini, masih ada ibu muda yang kesulitan merawat dan membesarkan bayi mereka. Bahkan tidak jarang juga kita lihat dalam pemberitaan, ada ibu yang membuang anaknya karena alasan ekonomi.

Bayangkan pada zaman dahulu ada seorang perempuan muda, berjalan di bawah teriknya padang pasir, hanya ditemani bayinya yang masih menyusu. Tidak ada pepohonan, tidak ada sumber air, dan tidak ada suara selain desir angin dan tangisan anak kecil yang haus.

Namun, perempuan itu tidak mudah menyerah pada keadaan. Dari kegigihan perempuan itu, lahirlah sejarah besar, sebuah sumber air yang tak pernah kering, dan sebuah peradaban yang berdiri di atas keimanan. Perempuan itu adalah Hajar, istri Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, ibu dari Nabi Ismail, dan teladan abadi bagi umat manusia tentang kesetiaan, keteguhan, serta keyakinan kepada Allah.

Dari Istana ke Padang Pasir

Kisah Hajar bermula di Mesir. Awalnya, Raja Mesir menghadiahkan seorang hamba sahaya kepada Sarah, Istri Nabi Ibrahim. Hamba sahaya tersebut adalah Hajar.

Setelah berapa lama, Sarah menyadari bahwa Allah belum juga mengaruniai dirinya anak setelah bertahun-tahun menikah dengan Nabi Ibrahim. Kemudian, Sarah berkata kepada suaminya, “Allah belum memberimu anak dariku. Maka nikahilah hambaku Hajar, mudah-mudahan Allah memberimu keturunan darinya.”

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Permintaan itu bukanlah karena iri, melainkan bentuk keikhlasan seorang istri salehah yang ingin suaminya memiliki keturunan. Maka, Nabi Ibrahim menikahi Hajar dengan restu dari Sarah, istri pertamanya. Dari pernikahan itu lahirlah Ismail, anak pertama Nabi Ibrahim.

Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Seiring berjalan waktu, kecemburuan manusiawi tumbuh di hati Sarah. Ia merasa terusik oleh keberadaan Hajar dan Ismail. Hingga akhirnya, Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Ibrahim agar membawa Hajar dan bayinya ke sebuah lembah sunyi, di tengah padang pasir jauh dari pemukiman manusia.

Ujian Terberat Seorang Ibu

Bayangkan perasaan Hajar ketika mengetahui bahwa suaminya akan meninggalkannya di tempat asing yang gersang tanpa air maupun tumbuhan. Ia bertanya dengan suara bergetar, “Wahai Ibrahim, ke mana engkau pergi? Kepada siapa engkau tinggalkan kami di tempat seperti ini?”

Ibrahim tidak menjawab, hingga akhirnya Hajar bertanya lagi, “Apakah Allah memerintahkanmu untuk melakukan ini?” Dan ketika Ibrahim menjawab “Ya”, Hajar menunduk dan berkata dengan penuh keyakinan, “Kalau begitu, Allah tidak akan menyia-nyiakan kami.”

Inilah kalimat yang membuat namanya dikenang sepanjang masa. Sebuah pengakuan iman yang begitu tulus diucapkan oleh seorang ibu yang ditinggalkan di padang pasir tandus, hanya dengan sedikit air dan kurma. Tidak ada keputusasaan di matanya, hanya kepercayaan mutlak bahwa Allah akan menjaga mereka.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Tak lama setelah Ibrahim pergi, bekal yang dibawa Hajar habis. Ismail kecil menangis kehausan, sementara matahari terus membakar bumi. Dalam kegelisahannya, Hajar berlari dari bukit Shafa ke bukit Marwah, mencari sumber air atau manusia yang bisa menolongnya. Ia bolak-balik sebanyak tujuh kali, itulah asal mula ibadah sa’i yang dilakukan umat Islam dalam haji dan umrah hingga hari ini.

Di tengah keputusasaannya, tiba-tiba Allah menunjukkan keajaiban. Dari tanah di dekat kaki Ismail, terpancarlah air bening yang terus mengalir. Hajar segera menampungnya dengan tangannya sambil berkata, “Zam, zam,” yang berarti “berhenti, berhenti.” Tapi air itu tak pernah berhenti, mengalir tanpa henti hingga sekarang, menjadi sumber kehidupan di Makkah dan berkah bagi jutaan manusia. Kemudian air itu terkenal hingga sekarang sebagai Air Zamzam.

Keteguhan dalam Cinta dan Ketaatan

Keberadaan air Zamzam menarik perhatian kabilah Jurhum yang sedang mengembara di daerah itu. Mereka meminta izin kepada Hajar untuk menetap di sana dengan janji tidak akan merebut hak atas air tersebut. Hajar mengizinkan mereka, dan dari situlah lahir perkampungan pertama di lembah Makkah.

Ismail tumbuh besar di tengah suku Jurhum, belajar bahasa Arab, hingga kelak ia menjadi nenek moyang bangsa Arab dan menjadi ayah dari garis keturunan Nabi Muhammad ﷺ. Maka benar sabda Rasulullah bahwa Hajar adalah ibu bangsa Arab. Dari kesabaran dan keberaniannya, lahirlah sebuah peradaban yang kelak menjadi pusat tauhid dunia.

Kisah Hajar bukan sekadar sejarah, tetapi pelajaran besar tentang keimanan sejati. Ia tidak menuntut penjelasan ketika suaminya meninggalkannya, tidak mengeluh saat Allah mengujinya dengan kesepian dan lapar, dan tidak berhenti berusaha meski tenaganya hampir habis.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Ia mengajarkan bahwa tawakal bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan berusaha sekuat tenaga sambil yakin bahwa hasilnya adalah urusan Allah.

Ketika Hajar berlari di antara dua bukit itu, sesungguhnya ia sedang menunjukkan makna perjuangan manusia. Bergerak antara harapan dan kesabaran, antara doa dan tindakan. Dan di sanalah Allah menurunkan rahmat-Nya.

Hajar tidak hanya beriman kepada Allah, tapi juga taat kepada suaminya, Nabi Ibrahim. Ketika diperintahkan untuk berpindah dari Mesir ke Palestina lalu ke Makkah, ia menuruti semua tanpa keluh kesah. Bahkan ketika tahu bahwa Ismail, anak yang ia cintai, akan disembelih sebagai bentuk ujian kepada Ibrahim, Hajar tidak menolak.

Menurut riwayat, saat Iblis datang menggoda dan berkata bahwa Ibrahim akan menyembelih anaknya, Hajar menjawab dengan tenang, “Jika itu perintah Allah, maka Ibrahim akan melaksanakannya, dan aku ridha atas perintah-Nya.” Kalimat itu menggambarkan betapa dalamnya iman seorang ibu yang menyerahkan segalanya kepada kehendak Allah.

Jejak Abadi Seorang Perempuan

Hajar bukan seorang nabi, bukan pula ratu atau perempuan terpandang. Namun Allah memuliakannya dengan menjadikan kisah hidupnya bagian dari ibadah umat Islam sepanjang zaman. Setiap kali seorang Muslim menunaikan haji atau umrah, langkah-langkahnya di antara Shafa dan Marwah adalah penghormatan kepada perjuangan seorang ibu yang berlari mencari air untuk anaknya.

Hajar mengajarkan bahwa kedekatan dengan Allah tidak ditentukan oleh status sosial, tetapi oleh keikhlasan, kesabaran, dan keyakinan tanpa batas. Ia adalah simbol kekuatan spiritual perempuan, yang di balik kelembutannya, menyimpan keteguhan baja.

Air Zamzam tidak hanya mengalir di tanah Makkah, tetapi juga di hati orang-orang yang beriman. Ia menjadi simbol bahwa dari kesulitan dapat lahir keberkahan, dari keterbatasan bisa muncul kelimpahan, dan dari air mata seorang ibu bisa mengalir sumber kehidupan bagi umat manusia.

Kisah Hajar mengingatkan kita untuk tidak pernah meragukan pertolongan Allah, sekalipun hidup terasa gersang. Sebab, sebagaimana Hajar menemukan Zamzam di tengah padang pasir, begitu pula setiap hamba yang bersabar akan menemukan Zamzam-nya sendiri, air rahmat yang mengalir dari langit ke dalam hati yang penuh iman.

“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153). Dan dari kesabaran seorang Hajar, lahirlah bangsa, sejarah, dan keteladanan yang tak lekang oleh waktu.

 

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement