Surau.co. Di tengah dunia yang penuh tekanan seperti sekarang—target kerja, komentar orang, tuntutan sosial media—banyak orang memilih “bodo amat” sebagai jalan keluar. Ungkapan ini menjadi simbol perlawanan terhadap stres dan ekspektasi sosial. Tapi di sisi lain, Islam mengajarkan sesuatu yang mirip namun jauh lebih halus: ridha. Keduanya sama-sama membuat hati tampak tenang, tapi sesungguhnya mereka berangkat dari arah batin yang berbeda.
Ridha adalah buah dari iman, sedangkan “bodo amat” lahir dari kelelahan atau ketidakpedulian. Orang yang ridha tetap peduli, tapi hatinya tenang karena tahu semua sudah diatur Allah. Sedangkan orang yang “bodo amat” berhenti peduli karena merasa lelah berjuang atau tidak mau repot memikul tanggung jawab. Di sinilah Kifāyatul Atqiyā’ karya Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syathā ad-Dimyāthī memberi kita pandangan yang dalam: bahwa tenang bukan berarti mati rasa, dan pasrah bukan berarti cuek.
Makna Ridha Menurut Kifāyatul Atqiyā’
Dalam Kifāyatul Atqiyā’ wa Minhājul Ashfiyā’, Syaikh Abu Bakar ad-Dimyāthī menjelaskan makna ridha secara sangat lembut namun tegas. Beliau berkata:
الرِّضَا هُوَ سُكُونُ الْقَلْبِ تَحْتَ جَرَيَانِ الْأَقْدَارِ
“Ridha adalah ketenangan hati terhadap segala ketentuan yang Allah jalankan.”
Definisi ini sederhana tapi mendalam. Ridha tidak berarti berhenti merasa, tapi menenangkan hati di tengah gelombang ujian. Orang yang ridha tidak kehilangan arah saat hidup berbelok dari rencana, karena ia percaya, di balik setiap takdir, ada hikmah yang sedang Allah bentuk. Ridha menumbuhkan kebijaksanaan, bukan keacuhan.
Syaikh ad-Dimyāthī juga menambahkan dalam penjelasan lain:
مَنْ رَضِيَ بِقَضَاءِ اللَّهِ لَمْ يَحْزَنْ عَلَى مَفْقُودٍ وَلَمْ يَفْرَحْ بِمَوْجُودٍ
“Siapa yang ridha dengan ketetapan Allah, ia tidak bersedih karena kehilangan dan tidak terlalu gembira karena mendapatkan.”
Kalimat ini menggambarkan keseimbangan spiritual: ridha bukan menolak perasaan, tapi mengatur kadar reaksi. Ia bukan mati rasa, tapi sadar rasa.
“Bodo Amat”: Ketegaran Palsu yang Menipu
Istilah “bodo amat” lahir dari budaya modern yang jenuh oleh ekspektasi. Ia tampak seperti kekuatan—tidak terpengaruh omongan orang, tidak peduli pada hasil, tidak terguncang oleh kegagalan. Tapi jika ditelusuri lebih dalam, “bodo amat” sering kali hanyalah tameng dari hati yang terluka.
Ketika seseorang berkata, “aku bodo amat,” sering kali yang sebenarnya yang ia maksud adalah “aku lelah peduli.” Ia bukan tenang karena iman, tapi mati rasa karena letih. Perasaan seperti ini bisa menumpulkan empati dan menghapus rasa tanggung jawab sosial maupun spiritual.
Dalam pandangan Islam, ketenangan sejati bukan dengan menolak peduli, melainkan dengan menata hati. Ridha menumbuhkan keikhlasan, sedangkan “bodo amat” menumbuhkan jarak. Ridha memeluk kehidupan dengan tenang, sementara “bodo amat” menjauh darinya untuk menghindari luka.
Ridha Membutuhkan Iman, Bukan Ketegaan
Allah ﷻ berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ
“Tidak ada musibah yang menimpa kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Dia memberi petunjuk kepada hatinya.”
(QS. At-Taghābun [64]: 11)
Ayat ini menjelaskan bahwa petunjuk hati hanya datang bagi orang beriman. Ketika seseorang ridha, itu karena ia percaya pada izin Allah di balik setiap peristiwa. Ketenangan itu lahir dari keyakinan, bukan dari ketegaan.
Sebaliknya, “bodo amat” adalah reaksi yang tidak lahir dari iman, tetapi dari kelelahan batin. Orang yang “bodo amat” berhenti mencari makna di balik cobaan. Ia menutup pintu perenungan. Sedangkan orang yang ridha membuka matanya untuk memahami bahwa semua ujian adalah bagian dari tarbiyah (pendidikan spiritual) Allah terhadap hamba-Nya.
Ridha Itu Aktif, “Bodo Amat” Itu Pasif
Salah satu perbedaan mendasar antara ridha dan “bodo amat” adalah sikap aktif dan pasifnya. Orang yang ridha tetap berusaha. Ia berikhtiar sebaik mungkin, tapi ketika hasilnya tidak sesuai harapan, ia tetap tenang. Ridha adalah bentuk pasrah yang berlandaskan kerja keras.
Sementara “bodo amat” justru berhenti berusaha. Ia menggunakan sikap tidak peduli sebagai alasan untuk tidak bertanggung jawab. Ini adalah pasrah yang tidak berdasar iman.
Syaikh ad-Dimyāthī menernagkan:
الرِّضَا لَا يَمْنَعُ الْعَمَلَ وَلَكِنَّهُ يُنَزِّهُهُ عَنِ الشَّكْوَى
“Ridha tidak menghalangi usaha, tetapi membersihkannya dari keluh kesah.”
Indah sekali. Artinya, orang yang ridha tetap berjuang, tapi tidak lagi mengeluh. Ia menanam pohon dengan senyum, bukan dengan keluhan bahwa tanahnya keras atau hujan tak turun. Di sinilah letak bedanya dengan “bodo amat” — yang bahkan tak mau menanam karena takut kecewa.
Ketika Ridha Menumbuhkan Syukur
Ridha tidak hanya melahirkan ketenangan, tetapi juga melahirkan rasa syukur. Orang yang ridha melihat kebaikan Allah dalam setiap situasi.
Allah ﷻ berfirman:
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 153)
Sabar adalah jalan menuju ridha, dan ridha membuka pintu syukur. Dalam hati yang ridha, tidak ada ruang untuk iri, karena ia yakin setiap takdir Allah adalah kebaikan.
Sebaliknya, “bodo amat” tidak melahirkan syukur. Ia membuat seseorang kehilangan rasa kagum terhadap takdir. Hidupnya datar, tidak marah tapi juga tidak bahagia. Ia seperti kapal yang berhenti di tengah laut, tidak tenggelam tapi juga tidak berlayar.
Menata Hati agar Ridha, Bukan Sekadar Cuek
Zaman sekarang membuat banyak orang mudah terbawa arus. Berita negatif, komentar orang, tuntutan ekonomi—semuanya bisa membuat kita kehilangan kendali. Di sinilah ridha menjadi pelindung hati yang paling lembut.
Untuk melatih ridha, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:
- Pahami bahwa semua datang dari Allah
Ketika sesuatu terjadi, ucapkan dalam hati: “Ini bagian dari rencana-Nya.” Dengan begitu, kamu tidak menolak kenyataan, tapi menerima dengan bijak.
- Berhenti membandingkan diri
Ridha tumbuh saat hati berhenti menoleh ke kanan dan kiri. Fokuslah pada perjalanan sendiri, karena setiap takdir punya waktu terbaiknya.
- Ganti keluhan dengan doa
Alih-alih berkata “kenapa begini?”, cobalah berkata “ya Allah, tunjukkan hikmahnya.” Dengan begitu, kamu tidak menolak keadaan, tapi mengubah arah doa.
Kifāyatul Atqiyā’ dan Spirit Keteguhan Batin
Syaikh Abu Bakar ad-Dimyāthī menulis dalam Kifāyatul Atqiyā’ bahwa perjalanan hati menuju ridha bukan perkara sekejap, tetapi latihan yang terus menerus. Beliau menekankan:
مَنْ عَلِمَ أَنَّ كُلَّ شَيْءٍ مِنَ اللَّهِ سَهُلَ عَلَيْهِ الرِّضَا
“Barang siapa tahu bahwa segala sesuatu berasal dari Allah, maka mudah baginya untuk ridha.”
Kalimat ini menegaskan fondasi ridha: ilmu. Semakin seseorang mengenal Allah, semakin ringan ia menerima ketetapan-Nya. Ridha bukan sekadar perasaan lembut, tapi hasil dari pengetahuan yang mendalam tentang keadilan dan kasih sayang Allah.
Sementara “bodo amat” lahir dari kebodohan hati—ketika seseorang tidak mau lagi memahami sebab dan makna di balik hidupnya.
Ridha dan Bodo Amat: Dua Jalan, Dua Akhir
Ridha dan “bodo amat” mungkin tampak serupa di luar: sama-sama tidak marah, sama-sama terlihat tenang. Tapi hasil akhirnya sangat berbeda.
Ridha membawa kedamaian batin yang mendalam, karena bersumber dari iman. “Bodo amat” hanya memberi ketenangan sementara, tapi kosong di dalam. Ridha menumbuhkan cinta kepada Allah, sementara “bodo amat” menjauhkan seseorang dari rasa syukur.
Rasulullah ﷺ bersabda:
ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا
“Telah merasakan manisnya iman orang yang ridha dengan Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai rasulnya.”
(HR. Muslim)
Hadits ini menegaskan: rasa manis iman hanya hadir dalam hati yang ridha. Artinya, ketenangan sejati tidak bisa dibangun dari “bodo amat”, melainkan dari penerimaan penuh kasih kepada Allah.
Penutup: Tenang Itu Bukan Mati Rasa
Hidup modern sering kali menipu kita dengan definisi palsu tentang ketenangan. Banyak yang menyangka tenang berarti tidak peduli, padahal tenang sejati adalah ketika hati tetap peduli tapi tidak terguncang.
Ridha mengajarkan kita untuk tetap mencintai hidup, meski penuh luka. Untuk tetap berusaha, meski hasilnya belum sempurna. Untuk tetap tersenyum, meski tak semua keinginan terpenuhi. Ridha adalah seni menerima, bukan karena kita lemah, tapi karena kita tahu, Allah selalu menulis kisah dengan cara paling indah.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
