Surau.co. Kata ridha sering terdengar sederhana, tetapi maknanya sangat dalam. Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan kompetitif, ridha menjadi barang langka. Banyak orang berusaha keras mengejar kesempurnaan hidup—karier tinggi, gaya hidup mapan, pencapaian sosial—namun justru kehilangan ketenangan batin. Padahal, ridha bukan tentang menyerah pada keadaan, melainkan tentang menerima takdir Allah dengan hati lapang tanpa kehilangan semangat untuk berbuat baik.
Ridha bukan konsep kuno yang hanya cocok untuk para sufi masa lampau. Justru, di zaman serba instan dan penuh distraksi ini, ridha adalah jalan spiritual yang paling relevan. Seseorang yang ridha akan tetap tenang meski media sosial memamerkan kesuksesan orang lain, karena ia tahu kebahagiaan sejati tidak diukur dari pencapaian dunia, melainkan dari kedekatannya dengan Allah ﷻ.
Allah berfirman:
رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
“Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah bagi orang yang takut kepada Tuhannya.”
(QS. Al-Bayyinah [98]: 8)
Ayat ini menegaskan bahwa ridha adalah hubungan dua arah: Allah ridha kepada hamba, dan hamba ridha terhadap ketetapan-Nya. Itulah puncak kedekatan spiritual yang dicapai bukan dengan banyaknya ritual semata, tapi dengan hati yang tenang dalam segala situasi.
Makna Ridha Menurut Kifāyatul Atqiyā’
Dalam kitab Kifāyatul Atqiyā’ wa Minhājul Ashfiyā’, Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syathā ad-Dimyāthī menjelaskan makna ridha secara indah dan mendalam. Beliau berkata:
الرِّضَا هُوَ سُكُونُ القَلْبِ تَحْتَ جَرَيَانِ الأَقْدَارِ
“Ridha adalah ketenangan hati terhadap segala ketentuan yang Allah jalankan.”
Ungkapan ini sederhana tetapi sangat filosofis. Ridha bukan berarti berhenti berusaha, tetapi tentang ketenangan batin yang tidak terguncang meski dunia di luar sedang kacau. Orang yang ridha tetap menanam padi meski hujan belum turun, tetap bekerja keras meski hasilnya belum tampak, karena hatinya yakin bahwa setiap langkah sudah diatur oleh Allah dengan sebaik-baiknya.
Menurut Syaikh ad-Dimyāthī, ridha adalah maqām (tingkatan spiritual) yang lebih tinggi dari sabar. Sabar adalah menahan diri dari keluh kesah, sedangkan ridha adalah merasa damai dalam ujian. Dalam Kifāyah, beliau menulis:
السَّبْرُ عَلَى الْبَلَاءِ أَوَّلُ الطَّرِيقِ، وَالرِّضَا بِهِ نِهَايَتُهُ
“Sabar terhadap ujian adalah awal perjalanan, dan ridha terhadapnya adalah puncaknya.”
Artinya, sabar adalah langkah awal untuk menenangkan diri, tapi ridha adalah kebahagiaan sejati ketika hati benar-benar percaya bahwa semua takdir Allah pasti baik.
Ridha di Tengah Tekanan Hidup Modern
Di zaman digital, tekanan hidup datang dari banyak arah: standar sosial media, ekspektasi pekerjaan, hingga pencarian jati diri yang melelahkan. Setiap orang ingin “terlihat berhasil”, sehingga tanpa sadar, banyak yang kehilangan makna ridha.
Ridha bukan berarti berhenti berjuang atau tidak punya ambisi, tapi tentang berdamai dengan hasil setelah berusaha maksimal. Seorang mahasiswa bisa ridha meski nilainya tidak sempurna, karena ia tahu telah berusaha dengan sungguh-sungguh. Seorang pekerja bisa ridha meski belum naik jabatan, karena ia yakin rezekinya tidak akan tertukar.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ
“Barang siapa ridha (dengan takdir Allah), maka baginya keridhaan Allah. Barang siapa murka, maka baginya kemurkaan Allah.”
(HR. Tirmidzi)
Hadits ini menjadi pengingat bahwa ridha bukan hanya sikap spiritual, tapi juga bentuk kebijaksanaan. Dengan ridha, seseorang berhenti menentang realita, dan mulai melihat hikmah di balik setiap peristiwa. Inilah yang membuat hati tenang dan pikiran jernih dalam menghadapi kerasnya kehidupan modern.
Menemukan Keindahan dalam Ketetapan Allah
Ridha mengajarkan manusia untuk melihat keindahan di balik hal-hal yang tampak mengecewakan. Kadang, doa tidak dikabulkan bukan karena Allah menolak, tetapi karena Dia ingin menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik.
Allah ﷻ berfirman:
وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu; dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 216)
Ayat ini menegaskan bahwa manusia tidak selalu tahu arah terbaik bagi dirinya. Dengan ridha, seseorang berhenti memaksa kehendaknya, dan mulai percaya pada kebijaksanaan Allah. Ia tidak lagi bertanya “kenapa begini”, tapi berkata “aku tahu ini pasti ada maksud baiknya”.
Ridha menjadikan hidup sederhana terasa cukup, pekerjaan biasa terasa bermakna, dan ujian hidup terasa ringan. Karena hati yang ridha tidak lagi diikat oleh keinginan yang tak berujung, melainkan oleh kepercayaan bahwa Allah selalu adil dan penuh kasih.
Ridha dan Kebebasan Hati
Salah satu keindahan ridha adalah membebaskan hati dari belenggu dunia. Orang yang tidak ridha mudah iri, mudah cemburu, dan mudah putus asa. Tapi orang yang ridha tidak merasa kekurangan meski hidup sederhana, karena ia tahu nilai dirinya bukan diukur dari harta, tetapi dari ketenangan hati.
Syaikh Abu Bakar ad-Dimyāthī berkata:
مَنْ رَضِيَ بِقَسْمِ اللَّهِ اسْتَرَاحَ قَلْبُهُ وَجَسَدُهُ
“Barang siapa ridha dengan pembagian Allah, maka hatinya dan tubuhnya akan tenang.”
Zaman sekarang membuat banyak orang lelah bukan karena bekerja terlalu keras, tapi karena tidak ridha dengan hasil yang didapat. Ridha menuntun kita untuk istirahat dari rasa iri dan kekecewaan yang tidak perlu. Ia menenangkan hati yang gelisah karena membandingkan diri dengan orang lain.
Ridha bukan menghapus cita-cita, tetapi menyehatkan cara pandang terhadap hidup. Dengan ridha, seseorang tetap bekerja keras tanpa kehilangan rasa syukur, tetap berjuang tanpa kehilangan ketenangan.
Cara Melatih Ridha di Era Modern
Ridha tidak muncul tiba-tiba; ia harus dilatih seperti otot kesabaran. Ada tiga cara sederhana untuk menumbuhkan ridha di zaman sekarang:
- Menyadari bahwa semua milik Allah
Ketika menyadari bahwa apa pun yang kita punya hanyalah titipan, kehilangan tidak lagi terasa menyakitkan. Segalanya datang dan pergi dengan izin-Nya. Kesadaran ini melatih hati untuk tidak terlalu terikat pada dunia.
- Mencari hikmah dalam setiap peristiwa
Alih-alih bertanya “mengapa ini terjadi?”, mulailah bertanya “apa hikmah yang bisa kupelajari?”. Dengan begitu, kita berpindah dari zona kecewa ke zona syukur.
- Memperbanyak dzikir dan doa
Dzikir bukan hanya ritual lisan, tapi pengingat bahwa kita tidak sendirian. Setiap kali hati gelisah, kembalilah mengingat Allah. Firman-Nya:
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”
(QS. Ar-Ra’d [13]: 28)
Ridha adalah buah dari hati yang sering berdzikir. Karena hanya hati yang dekat dengan Allah yang mampu menerima hidup dengan lapang.
Penutup: Ridha, Jalan Sunyi Menuju Bahagia
Hidup di zaman modern sering kali menipu: yang tampak bahagia belum tentu tenang, yang tampak sukses belum tentu puas. Tapi ridha adalah kebahagiaan sejati yang tak bisa dibeli. Ia tumbuh dalam hati yang percaya bahwa setiap takdir Allah, baik atau buruk, adalah jalan menuju kebaikan.
Kadang, yang kita anggap kehilangan justru cara Allah membersihkan hati. Kadang, yang kita kira kegagalan justru pintu menuju kematangan. Maka, belajarlah ridha — bukan untuk menyerah, tapi untuk menemukan damai di setiap langkah. Sebab ridha bukan akhir dari ikhtiar, tapi puncak dari keimanan yang dewasa.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
