Khazanah
Beranda » Berita » Sering Overthinking? Mungkin Kurang Tawakal

Sering Overthinking? Mungkin Kurang Tawakal

Pemuda muslim merenung dengan tenang, simbol keikhlasan dan tawakal di tengah kecemasan.
Seorang pemuda duduk di dekat jendela saat malam, menatap langit dengan tenang, cahaya lembut dari luar menerangi wajahnya — simbol melepaskan overthinking dengan tawakal.

Surau.co. Di era serba cepat ini, banyak dari kita hidup dengan kepala penuh dan hati yang bising. Setiap keputusan terasa rumit, setiap langkah dipenuhi kekhawatiran, dan setiap malam seolah menjadi ajang berperang dengan pikiran sendiri. Istilahnya: overthinking. Padahal, sering kali akar dari kegelisahan itu bukan karena masalah yang terlalu besar, tapi karena tawakal yang terlalu kecil.

Kita memikirkan banyak hal karena merasa segalanya bergantung pada diri kita sendiri. Padahal, ada Allah yang Maha Mengatur. Kita sibuk mencari solusi, lupa bersandar pada Sang Pemberi solusi. Mungkin, saat hidup terasa berat dan pikiran terasa sesak, bukan karena dunia terlalu keras, tapi karena hati terlalu lemah dalam percaya.

Ketika Pikiran Bekerja Terlalu Keras, Hati Justru Lupa Istirahat

Pernahkah kamu merasa sudah berusaha maksimal, tapi tetap gelisah? Sudah memikirkan semua kemungkinan, tapi tetap takut salah? Itulah tanda klasik overthinking — ketika otak berjalan tanpa arah, dan hati tertinggal jauh di belakang.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an:

وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.”
(QS. Al-Mā’idah: 23)

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Ayat ini menegaskan bahwa iman sejati selalu melahirkan ketenangan, sebab tawakal adalah buah dari keyakinan. Seseorang yang meyakini bahwa Allah Maha Mengatur tidak akan dikuasai ketakutan berlebih. Ia tetap berpikir, tetap berencana, tapi tidak terseret dalam pusaran cemas yang tak berujung.

Masalahnya, banyak orang berpikir tawakal berarti pasrah tanpa usaha. Padahal, tawakal sejati adalah bekerja keras, lalu menyerahkan hasilnya sepenuhnya kepada Allah. Bukan berhenti berpikir, tapi menyeimbangkan antara ikhtiar dan ketenangan jiwa.

Tawakal: Bukan Diam, Tapi Tenang Setelah Berjuang

Rasulullah ﷺ pernah bersabda kepada seorang sahabat yang hendak meninggalkan untanya tanpa diikat:

اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ
“Ikatlah terlebih dahulu, kemudian bertawakallah.”
(HR. Tirmidzi)

Hadis ini mengandung hikmah yang sangat dalam: tawakal bukan pengganti usaha, tapi penyempurna usaha. Orang yang overthinking sering kali bukan karena kurang usaha, tapi karena berlebihan menuntut hasil. Mereka lupa bahwa tidak semua yang direncanakan harus terjadi, dan tidak semua yang terjadi harus sesuai rencana.

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Tawakal adalah seni melepaskan — bukan menyerah, tapi percaya. Ia bukan berarti berhenti memikirkan solusi, tetapi berhenti merasa bahwa hanya diri sendiri yang mampu menyelesaikan semuanya.

Dalam kitab Kifāyatul Atqiyā’ wa Minhājul Ashfiyā’, Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syathā ad-Dimyāthī menerangkan:

التَّوَكُّلُ هُوَ اسْتِسْلَامُ الْقَلْبِ لِرَبِّهِ بَعْدَ بَذْلِ الْجُهْدِ
“Tawakal adalah penyerahan hati kepada Tuhannya setelah mengerahkan segala upaya.”

Artinya, Allah tidak meminta kita berhenti berjuang. Ia hanya ingin kita berhenti cemas setelah berjuang. Karena yang menentukan hasil bukan jumlah usaha, tapi kadar restu dari-Nya.

Overthinking: Ketika Iman Mulai Digantikan oleh Ketakutan

Overthinking sering lahir dari satu hal: takut kehilangan kontrol. Padahal, kontrol penuh atas hidup memang tidak pernah kita miliki. Kita bisa mengatur strategi, tapi tidak bisa mengatur takdir. Kita bisa berusaha keras, tapi tidak bisa memastikan hasil.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an:

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkannya.”
(QS. At-Thalāq: 3)

Ayat ini seperti pelukan lembut bagi hati yang gelisah. Allah tidak hanya menjanjikan pertolongan, tapi juga kecukupan. Ketika kita benar-benar berserah, Allah akan menutup celah kekhawatiran yang selama ini membuat hidup terasa berat.

Namun, kebanyakan manusia justru sibuk mencari “rasa cukup” dari dunia. Kita berpikir akan tenang setelah semuanya selesai. Padahal, ketenangan itu datang bukan setelah masalah berakhir, tapi setelah hati yakin bahwa Allah yang memegang kendali.

Overthinking adalah tanda kita terlalu fokus pada “bagaimana”, dan lupa kepada “Siapa”.

Tawakal Adalah Obat dari Pikiran yang Terlalu Lelah

Dalam dunia modern, banyak yang menganggap tawakal hanya konsep spiritual, padahal ia juga psikologis. Orang yang benar-benar bertawakal akan mengalami release dari tekanan mental — sebab ia tidak menanggung beban hidup sendirian.

Syaikh Abu Bakar ad-Dimyāthī dalam Kifāyatul Atqiyā’ juga berkata:

مَنْ تَوَكَّلَ عَلَى اللَّهِ، رَضِيَ بِقَضَائِهِ، وَاسْتَرَاحَ قَلْبُهُ
“Siapa yang bertawakal kepada Allah, ia akan ridha dengan takdir-Nya dan hatinya akan beristirahat.”

Inilah kunci ketenangan yang sering kita lupakan. Kita ingin hati istirahat, tapi terus menyalakan pikiran bahkan setelah berdoa. Kita ingin tenang, tapi masih menimbang semua kemungkinan buruk. Padahal, tawakal adalah bentuk “rehat spiritual” — saat kita mematikan logika berlebihan dan menyalakan iman dengan sepenuhnya.

Antara Merencanakan dan Menyerahkan

Ada perbedaan halus antara orang yang berencana dengan bijak dan orang yang terlalu memaksa rencana. Orang pertama tahu kapan harus berhenti, sementara orang kedua tak pernah berhenti memikirkan “bagaimana kalau gagal?”.

Dalam hidup, kita memang perlu rencana. Tapi jangan biarkan rencana mengikat hati. Tawakal berarti tetap menyiapkan segala sesuatu dengan serius, namun tidak menaruh beban di pundak lebih dari yang perlu.

Rasulullah ﷺ bersabda:

لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرُزِقْتُمْ كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ، تَغْدُو خِمَاصًا، وَتَرُوحُ بِطَانًا
“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung yang pergi pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore dalam keadaan kenyang.”
(HR. Tirmidzi)

Perhatikan burung. Ia tidak duduk diam menunggu rezeki, tapi juga tidak stres memikirkannya. Ia terbang dengan percaya diri karena tahu Allah-lah yang menjamin hidupnya. Maka, mengapa manusia yang diberi akal justru sering lupa pada jaminan itu?

Melatih Diri untuk Tidak Overthinking

Tawakal tidak tumbuh begitu saja. Ia perlu dilatih, seperti otot yang menguat karena digunakan. Berikut beberapa cara praktis untuk melatihnya:

  1. Latih doa sebelum tindakan.
    Sebelum memulai sesuatu, biasakan mengucap Bismillah dan memohon bimbingan Allah. Ini mengalihkan pusat kontrol dari diri sendiri ke Sang Maha Mengatur.
  2. Batasi pikiran yang berputar tanpa arah.
    Ketika mulai cemas berlebihan, berhenti sejenak dan ucapkan, “Hasbiyallāhu wa ni‘mal wakīl” — “Cukuplah Allah menjadi Penolongku.”
  3. Jangan terlalu cepat menilai hasil.
    Kadang sesuatu tampak buruk sekarang, tapi menjadi berkah nanti. Tawakal berarti menunda penilaian, karena kita percaya Allah tahu akhir cerita lebih baik dari kita.
  4. Perbanyak zikir dan membaca Al-Qur’an.
    Hati yang tenang tidak muncul dari pikiran yang sibuk, tapi dari zikir yang hidup.

Dengan latihan seperti ini, hati pelan-pelan akan belajar melepas. Pikiran tidak lagi menjadi penjara, melainkan alat untuk bersyukur dan berikhtiar.

Menemukan Ketenangan di Tengah Kekhawatiran

Tawakal bukan berarti tidak takut, tapi berani berjalan meski takut. Ia seperti menaruh beban berat ke tangan yang lebih kuat — bukan mengabaikan masalah, tapi mengakui keterbatasan diri.

Bahkan Nabi ﷺ sendiri, dalam momen paling berat di gua Tsur bersama Abu Bakar ra., menenangkan sahabatnya dengan kata-kata lembut:

لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا
“Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.”
(QS. At-Taubah: 40)

Kalimat itu bukan sekadar penghiburan, tapi kekuatan. Ketika seseorang benar-benar meyakini bahwa Allah bersamanya, overthinking tak lagi punya tempat. Karena bagaimana mungkin hati takut jika ia tahu ada Zat yang selalu menjaga?

Penutup: Belajar Istirahat di Pangkuan Takdir

Kita sering memaksa diri memegang kendali, padahal hidup tak selalu bisa dikendalikan. Ada hal yang harus diusahakan, dan ada hal yang harus diserahkan. Overthinking hanyalah tanda bahwa kita ingin memastikan sesuatu yang memang bukan tugas kita: menentukan hasil.

Tawakal adalah cara hati untuk istirahat — bukan dari hidup, tapi dari kekhawatiran. Ia adalah seni menenangkan diri tanpa kehilangan semangat berjuang. Maka, bila malam terasa panjang dan pikiranmu berisik, cobalah menunduk sejenak. Katakan dalam hati: “Aku sudah berusaha, kini aku serahkan hasilnya kepada-Mu, Ya Allah.”

Karena pada akhirnya, hidup bukan tentang seberapa banyak yang bisa kita pikirkan, tapi seberapa dalam kita bisa percaya.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement