Surau.co. Banyak orang mengira tawakal berarti berhenti berusaha, duduk diam, dan menunggu hasil datang. Padahal, dalam pandangan Islam, tawakal bukan tentang menyerah pada keadaan, tetapi tentang percaya bahwa Allah selalu punya rencana yang lebih indah dari rencana manusia. Tawakal bukan bentuk kemalasan, melainkan keyakinan aktif bahwa di balik setiap usaha, ada tangan Allah yang bekerja dengan cara yang lebih halus dan sempurna.
Tawakal menjadi fondasi ketenangan hati. Ia membuat seseorang tidak mudah panik ketika gagal, dan tidak sombong ketika berhasil. Dalam bahasa sederhana, tawakal adalah seni menyeimbangkan kerja keras dan kepasrahan spiritual. Allah ﷻ berfirman:
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barang siapa bertawakal kepada Allah, maka cukuplah Allah (menjadi penolong) baginya.”
(QS. At-Talaq [65]: 3)
Ayat ini bukan ajakan untuk berhenti berusaha, melainkan panggilan untuk menenangkan hati setelah berusaha. Karena manusia hanya bisa berencana, tapi hasilnya tetap hak prerogatif Allah.
Tawakal: Kombinasi Antara Usaha dan Doa
Tawakal selalu berdampingan dengan ikhtiar. Tidak mungkin seseorang disebut bertawakal jika ia belum berusaha semaksimal mungkin. Rasulullah ﷺ mengajarkan hal ini dengan sangat indah.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, seorang laki-laki datang kepada Rasulullah ﷺ dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah aku harus mengikat untaku dulu, lalu bertawakal, ataukah aku lepaskan saja lalu bertawakal?” Rasulullah menjawab:
اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ
“Ikatlah (untamu) dan bertawakallah (kepada Allah).”
(HR. Tirmidzi)
Hadits ini sederhana, tapi mendalam. Ia mengajarkan keseimbangan: kita wajib berusaha dengan segala kemampuan, tapi hasil akhirnya tetap diserahkan kepada Allah. Tawakal tanpa usaha adalah pasrah buta, sedangkan usaha tanpa tawakal adalah kesombongan.
Dalam bahasa para sufi, tawakal bukanlah berhenti melangkah, tapi berjalan dengan hati yang tenang. Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syathā ad-Dimyāthī dalam Kifāyatul Atqiyā’ wa Minhājul Ashfiyā’ menjelaskan:
التوكل تركُ الاعتمادِ على الأسبابِ مع فعلِها
“Tawakal adalah meninggalkan ketergantungan hati pada sebab-sebab, meski tetap melakukan sebab-sebab itu.”
Artinya, seorang mukmin boleh bekerja keras, berstrategi, bahkan berambisi — selama hatinya tetap bergantung kepada Allah, bukan kepada hasil.
Rencana Allah Selalu Lebih Indah
Kita sering merasa kecewa saat sesuatu tidak berjalan sesuai rencana. Padahal, dalam banyak kasus, kegagalan yang kita anggap buruk justru menjadi jalan menuju kebaikan yang tak terduga. Allah ﷻ menegaskan dalam firman-Nya:
وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 216)
Ayat ini adalah fondasi keimanan dalam menghadapi takdir. Tawakal sejati muncul ketika seseorang mampu berkata dalam hati, “Ya Allah, aku sudah berusaha, dan aku percaya Engkau tahu apa yang terbaik bagiku.”
Rencana Allah selalu lebih cakep, bukan karena kita tidak boleh bermimpi besar, tetapi karena Allah tahu waktu terbaik untuk mengabulkan, menunda, atau mengganti doa kita. Kadang, sesuatu tidak dikabulkan bukan karena Allah tidak sayang, tapi karena Dia ingin memberikan sesuatu yang lebih cocok dengan takdir kita.
Belajar Tawakal dari Kisah Nabi
Sejarah para nabi adalah cermin tawakal sejati. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, misalnya, menunjukkan tawakal luar biasa saat dilempar ke dalam api. Saat malaikat datang menawarkan pertolongan, beliau berkata:
“Hasbiyallāhu wa ni‘mal wakīl.”
“Cukuplah Allah bagiku, dan Dia sebaik-baik Pelindung.”
(QS. Ali ‘Imran [3]: 173)
Dan apa hasilnya? Api yang seharusnya membakar berubah menjadi dingin dan menyelamatkan. Inilah bukti bahwa tawakal tidak pernah sia-sia.
Begitu pula Nabi Musa ‘alaihis salam, ketika dikejar oleh Firaun dan pasukannya di tepi laut. Di depan ada ombak besar, di belakang ada kematian. Tapi beliau berkata dengan penuh keyakinan:
كَلَّا ۖ إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ
“Sekali-kali tidak! Sesungguhnya Tuhanku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.”
(QS. Asy-Syu‘ara [26]: 62)
Keyakinan itulah yang membelah lautan. Bukan kekuatan fisik, bukan strategi perang, tapi kekuatan hati yang percaya penuh pada rencana Allah.
Mengubah Cara Pandang Terhadap Takdir
Tawakal mengubah cara seseorang memandang hidup. Orang yang tidak bertawakal akan mudah stres dan kecewa, karena ia menilai segala sesuatu hanya dari sudut pandang duniawi. Tapi orang yang bertawakal menilai hidup dari sisi Ilahi. Ia tahu bahwa setiap peristiwa, baik atau buruk, punya makna di baliknya.
Bahkan dalam kehilangan, tawakal mengajarkan kita untuk percaya bahwa Allah tidak pernah mengambil sesuatu kecuali untuk memberi yang lebih baik. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ لَزِمَ الاِسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا، وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barang siapa membiasakan istighfar, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar dari setiap kesempitan, kegembiraan dari setiap kesedihan, dan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.”
(HR. Abu Dawud)
Tawakal mengajarkan bahwa hasil bukan milik manusia, tapi buah kesabaran dan keyakinan kepada Allah. Kita tidak bisa memaksa waktu dan keadaan, tapi kita bisa menenangkan hati dengan percaya pada rencana-Nya.
Tawakal dan Keteguhan Jiwa
Orang yang bertawakal tidak mudah guncang. Ia kuat bukan karena tidak punya masalah, tetapi karena hatinya bersandar pada Zat yang Maha Kuat. Dalam istilah tasawuf, tawakal adalah tangga menuju ridha.
Syaikh Abu Bakar ad-Dimyāthī menggambarkan:
التوكل مقامٌ من مقاماتِ أهلِ اليقين، لا يثبتُ فيه إلا من عرفَ ربَّه حقَّ المعرفة
“Tawakal adalah salah satu maqām (tingkatan) orang-orang yakin, dan tidak akan teguh di dalamnya kecuali orang yang benar-benar mengenal Tuhannya.”
Artinya, tawakal bukan sekadar sikap, tapi hasil dari ma’rifat — pengetahuan mendalam tentang Allah. Semakin seseorang mengenal Allah, semakin mudah ia menyerahkan diri kepada-Nya. Tawakal membuat hidup terasa ringan, karena kita tidak lagi berjuang sendirian.
Menemukan Damai dalam Rencana Allah
Dalam hidup, sering kali kita terlalu sibuk mengatur skenario sendiri hingga lupa bahwa Allah-lah Sang Penulis utama. Tawakal berarti percaya bahwa apa pun yang terjadi hari ini, besok, atau lusa, semua sudah dalam kendali-Nya.
Ketika seseorang benar-benar bertawakal, ia berhenti membandingkan hidupnya dengan orang lain. Ia berhenti mengeluh, karena tahu setiap orang punya ujian yang sesuai takarannya. Ia berhenti khawatir, karena yakin rencana Allah selalu datang tepat waktu — tidak terlambat, tidak terlalu cepat.
Rasa damai inilah yang menjadi buah tawakal. Ia bukan datang dari hasil duniawi, tapi dari keyakinan spiritual bahwa kita sedang dijaga oleh Zat yang Maha Mengetahui.
Penutup: Percaya Rencana Allah Lebih Cakep
Hidup adalah perjalanan antara usaha dan percaya. Tugas kita adalah berjalan sebaik mungkin, sementara hasilnya biarlah menjadi urusan Allah. Tawakal bukan berarti menyerah, tapi meyakini bahwa segala sesuatu sudah diatur oleh Allah dengan sempurna.
Kadang rencana kita runtuh agar rencana Allah bisa tumbuh. Kadang kita kehilangan agar bisa menemukan yang lebih dalam. Maka, jika hatimu lelah, jangan berhenti berharap. Karena tawakal bukan titik akhir, tapi awal dari keindahan yang Allah siapkan.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
