Khazanah
Beranda » Berita » Dari Budak Menjadi Tuan Para Sahabat: Kisah Bilal bin Rabah

Dari Budak Menjadi Tuan Para Sahabat: Kisah Bilal bin Rabah

Ilustrasi sahabat yang menghunus pedang dalam perang.
Ilustrasi sahabat yang menghunus pedang dalam perang.

SURAU.CO– Bilal ibn Rabah, sahabat Nabi Muhammad dari golongan mustaḍʿafīn. Ia tetap  mempertahankan agama Allah meski kaum musyrik menganiaya dan menyiksanya. Rasulullah Saw. memercayainya menjadi muazin karena suaranya yang lantang dan merdu, memberinya julukan “si burung camar Islam.”  Selain suaranya yang lantang dan merdu, Bilal ibn Rabah memiliki keutamaan lainnya. Imam Abu Abdullah al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Na‘im, dari Abdul Aziz ibn Abu Salamah, dari Muhammad ibn al-Munkadir, dari Jabir ibn Abdullah bahwa Umar berkata,

“Abu Bakar adalah tuan kami dan telah membebaskan tuan kami, Bilal.”

Pernyataan ini menunjukkan betapa besar keutamaan yang dimiliki Bilal, sehingga Umar ibn al-Khattab ra. khalifah kaum muslimin setelah Abu Bakar ra., menyebutnya “tuan kami.” Ini mencerminkan karakter para sahabat Rasulullah Saw. yang telah dididik di Madrasah Nabi. Mereka selalu bersikap rendah hati, memuliakan sahabat yang lain, dan mementingkan kepentingan orang lain sebelum diri mereka sendiri. Sekolah yang didirikan oleh Rasulullah  telah melahirkan banyak pemimpin, pembesar, pahlawan, dan para pemberani di medan perang.

Pembalasan di Medan Perang Badar

Sepanjang hidupnya, Bilal mengalami berbagai bentuk kezaliman, penghinaan, dan penyiksaan. Umayyah ibn Khalaf adalah majikannya pada masa Jahiliah dan termasuk pemuka Quraisy yang menjadi panutan kaum musyrik.

Saat pembalasan akhirnya datang, Allah memberi kesempatan kepada pihak yang sekian lama terzalimi untuk menghukum orang yang selama ini menzalimi dan menyiksanya. Bilal mengayunkan pedangnya di medan perang untuk membunuh bekas majikannya, Umayyah ibn Khalaf. Ia mendapatkan kesempatan itu dalam Perang Badar, ketika pedang kaum muslimin menebas leher banyak pemimpin Quraisy.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Di tengah kecamuk perang, Bilal melihat bekas majikannya yang zalim, Umayyah ibn Khalaf, yang saat itu telah ditawan oleh Abdurrahman ibn Auf. Dikisahkan bahwa ketika Abdurrahman membawa perisai dan senjata hasil rampasan, Umayah dan anaknya mendekatinya dan menawarkan kepadanya agar menawan keduanya. Sebagai imbalannya, Umayah berjanji akan memberikan tebusan yang besar kepadanya.

Umayah berkata, “Hai Abdurrahman, tawanlah kami, dan kau akan mendapatkan tebusan yang besar.” Abdurrahman melepaskan perisai dan senjata rampasan perangnya, kemudian menggiring Umayah dan anaknya ke tempat yang aman.

Puncak Kemarahan dan Keadilan

Namun, Bilal, yang selama di Makkah paling sering mendapatkan siksaan dari Umayah ibn Khalaf, berteriak keras,

“Hai pemimpin kafir Umayah ibn Khalaf, aku tidak akan selamat jika kau selamat!” Bilal berteriak sambil berlari mendekatinya. Ia bersiap-siap menebaskan pedangnya membunuh Umayyah.

Meskipun demikian, Abdurrahman menghalanginya dan berkata, “Hai Bilal, dua orang ini adalah tawananku.” Bilal seakan-akan tidak mendengar ucapan Abdurrahman. Ia berteriak lebih keras lagi, “Hai Umayyah, aku tidak akan selamat jika kau selamat!”

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Abdurrahman berusaha menahan Bilal, tetapi Bilal berteriak lebih keras kepada kaum muslimin, meminta bantuan mereka,

“Wahai pasukan Allah, inilah pemimpin kaum kafir, Umayah ibn Khalaf, aku tidak akan selamat jika ia selamat!”

Orang-orang yang mendengar teriakannya segera maju, mengepung Umayah, anaknya, dan Abdurrahman ibn Auf. Mereka menyerang kaki Umayah dan anaknya, sehingga mereka jatuh tersungkur. Melihat keadaan seperti itu, Abdurrahman ibn Auf mencoba melindungi kedua orang itu dengan tubuhnya. Ia menjatuhkan dirinya ke atas tubuh keduanya. Akan tetapi, amarah Bilal dan kaum muslimin tidak terbendung. Mereka terus menyerang kedua orang kafir itu. Mereka menusukkan pedang ke bawah tubuh Abdurrahman untuk membunuh kedua kafir itu.

Akhirnya, kedua musyrik itu terbunuh di Badar. Allah telah menyembuhkan kepedihan Bilal akibat penyiksaan yang telah ia alami. Ia telah membalas orang yang sekian lama menzaliminya.

Kesedihan Mendalam

Tidak ada peristiwa yang lebih berat dan lebih menyedihkan bagi Bilal selain ketika Rasulullah Saw. wafat meninggalkan kaum muslimin. Sebagaimana seluruh kaum muslimin saat itu, Bilal berduka dan menangis hebat, mengiringi kepergian junjungan dan pemimpin umat.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Meskipun Rasulullah telah wafat, Bilal merasa beliau masih ada di sisinya, terlebih lagi ketika datang waktu salat, karena ia mengumandangkan azan untuk mengajak kaum muslimin mendirikan salat berjemaah. Tak ada yang sanggup menolak kehendak Zat Yang Maha Mengetahui. Manusia hanya bisa bersabar, pasrah, dan selalu memohon pertolongan sebagaimana yang telah Allah perintahkan.(St.Diyar)

Referensi:Muhammad Raji Hasan Kinas, Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi, 2012


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement