Kisah
Beranda » Berita » Sayyid Qutb: Memahami Jejak Sang Pemikir Revolusioner

Sayyid Qutb: Memahami Jejak Sang Pemikir Revolusioner

Ilustrasi Sayyid Qutb

SURAU.CO – Lahir di Mesir pada tahun 1906, Qutb tumbuh dalam lingkungan agamis yang sangat kuat. Lingkungan ini secara signifikan memengaruhi jalan hidupnya, bahkan membentuk pandangannya. Perjalanan Qutb sebagai seorang intelektual dimulai dari sastra. Ia menunjukkan bakat menulis yang luar biasa sejak awal. Pendidikan awalnya di Mesir meletakkan dasar pemahaman dan kemampuannya.

Perjalanan Intelektual dan Pengaruh Barat

Awalnya, Qutb bekerja di Kementerian Pendidikan. Kemudian, ia mendapat kesempatan belajar di Amerika Serikat. Pengalaman ini menjadi titik balik penting dalam hidupnya. Ia menyaksikan langsung budaya Barat. Oleh karena itu, Qutb merasa sangat kecewa dengan nilai-nilai di sana. Materialisme mendominasi pandangannya. Ia melihat kekosongan spiritual. Hal ini memperkuat keyakinan Islamnya secara signifikan. Qutb akhirnya merasa perlu ada perubahan mendasar.

Setelah kembali ke Mesir, ia pun bergabung dengan Ikhwanul Muslimin. Qutb menjadi anggota Ikhwanul Muslimin yang aktif. Ia segera menjelma menjadi tokoh kunci dalam organisasi tersebut. Kemampuan menulisnya sangat berharga bagi gerakan itu. Ia merumuskan gagasan-gagasan baru. Selanjutnya, Qutb ingin mengembalikan kemurnian Islam. Ia menyerukan penerapan syariat secara menyeluruh. Bagi Qutb, Islam adalah sistem hidup lengkap. Ini mencakup semua aspek kehidupan manusia, baik individu maupun masyarakat.

Konsep Jahiliyah dan Hakimiyah

Pemikiran sentral Qutb adalah jahiliyah. Ia menyatakan masyarakat modern telah kembali. Mereka jatuh pada kondisi jahiliyah. Ini adalah kondisi sebelum Islam. Masyarakat menjauhi ajaran Allah. Qutb percaya hal ini terjadi. Ia melihat banyak penyimpangan. Maka, revolusi adalah sebuah keniscayaan. Tujuannya adalah menegakkan keadilan Ilahi.

Selain itu, ia juga mengembangkan konsep hakimiyah. Ini berarti kedaulatan hanya milik Allah semata. Manusia tidak berhak membuat hukum sendiri. Ini adalah prinsip dasar Islam yang tak bisa ditawar. Oleh karena itu, Qutb menganggap pemerintah yang tidak menerapkan syariat sebagai tidak sah. Karenanya, ia membenarkan perlawanan terhadap mereka. Konsep ini sangat memprovokasi banyak pihak. Itu memicu perdebatan sengit di kalangan intelektual dan aktivis.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Karya Monumental dan Pengaruhnya

Karya monumentalnya adalah “Fi Zhilal al-Qur’an”. Ia menulis tafsir ini di penjara. Qutb dipenjarakan karena aktivitas politiknya. Tafsir ini bukan sekadar penjelasan ayat. Ini adalah seruan untuk bertindak nyata. Ia mengaitkan ayat-ayat suci. Qutb menghubungkannya dengan kenyataan hidup. Akibatnya, buku ini memberikan motivasi besar. Jutaan orang terinspirasi darinya. Mereka menemukan semangat perjuangan baru.

Buku lain yang tak kalah penting adalah “Ma’alim fi al-Thariq”. Judulnya berarti “Petunjuk Jalan”. Buku ini sangat kontroversial. Di dalamnya, Qutb menjelaskan visi revolusionernya secara gamblang. Ia mengajak umat Islam untuk berjuang. Perjuangan ini demi menegakkan kebenaran. Buku ini menjadi semacam manifesto gerakan. Banyak gerakan Islam militan terpengaruh secara langsung. Ini menunjukkan betapa kuatnya tulisan Qutb.

Pemerintah Mesir menganggap Qutb berbahaya. Aktivitasnya mengancam stabilitas negara. Qutb ditangkap berulang kali. Ia mengalami penyiksaan fisik dan mental yang berat. Namun demikian, penderitaan ini justru menguatkan dirinya. Keyakinannya semakin mendalam. Penjara menjadi tempatnya merenung. Di sanalah pemikirannya matang sepenuhnya. Pengalaman pahit ini membentuk karakternya.

Eksekusi dan Warisan Syahid

Pada tahun 1966, pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Tuduhannya adalah konspirasi. Pemerintah menuduh Qutb merencanakan kudeta. Ia menolak tawaran pengampunan. Qutb menolak mengakui tuduhan itu. Ia memilih untuk tetap teguh pada prinsipnya. Sebelum dieksekusi, ia mengucapkan kalimat terkenal: “Jari telunjuk yang bersaksi akan keesaan Allah dalam shalat, tidak akan pernah menulis persetujuan untuk tirani.”

Kalimat ini menjadi simbol perlawanan abadi. Kematiannya menandai akhir hidupnya secara fisik. Namun, warisannya terus hidup. Sayyid Qutb menjadi syahid. Ia wafat di tiang gantungan. Ia wafat karena keyakinannya yang teguh. Kematiannya mengilhami banyak orang. Ia menjadi inspirasi bagi generasi selanjutnya.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Dampak dan Kontroversi Pemikiran Qutb

Pengaruh Qutb tersebar luas di seluruh dunia. Banyak tokoh dan gerakan terinspirasi olehnya. Abdullah Azzam adalah salah satunya. Ayman al-Zawahiri juga terpengaruh kuat. Pemikirannya membentuk berbagai kelompok. Kelompok-kelompok ini ada di seluruh dunia. Kontroversi seputar Qutb masih berlanjut hingga kini. Beberapa memuji kepahlawanannya. Sementara itu, yang lain mengkritik gagasan radikalnya. Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa ia adalah figur sentral dalam Islam modern.

Pena sebagai Senjata dan Warisan Abadi

Pena Qutb adalah senjata utamanya. Melalui tulisan, ia menyuarakan kebenaran. Ia berjuang melawan kezaliman. Ia terus menulis hingga akhir hayatnya. Oleh karena itu, ia dikenal sebagai syahid pena. Kematiannya bukan akhir segalanya. Itu justru awal dari warisannya yang abadi. Sayyid Qutb adalah sosok yang patut dikenang. Ia adalah pemikir revolusioner sejati. Semangat Qutb tetap relevan. Ia mengajarkan pentingnya perjuangan. Perjuangan demi keadilan Ilahi. Ia menunjukkan kekuatan pena. Pena bisa menjadi alat perubahan. Itu bisa mengguncang kekuasaan yang zalim. Kisah hidupnya adalah pelajaran berharga. Ini tentang integritas dan keyakinan yang tak tergoyahkan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement