Khazanah
Beranda » Berita » Masjid dan Kehidupan Sosial: Adab Masuk dan Berdiam di Rumah Allah

Masjid dan Kehidupan Sosial: Adab Masuk dan Berdiam di Rumah Allah

Ilustrasi seorang Muslim memasuki masjid dengan membawa sandal di tangan, menggambarkan adab dan ketenangan di rumah Allah.
Ilustrasi suasana damai ketika seorang Muslim memasuki masjid dengan penuh kesadaran spiritual sebagaimana diajarkan Imam al-Ghazālī.

Surau.co. Masjid dan kehidupan sosial memiliki hubungan yang sangat erat dalam pandangan Imam Abū Ḥāmid al-Ghazālī melalui karyanya Bidāyat al-Hidāyah. Bagi beliau, masjid bukan sekadar bangunan ibadah, tetapi ruang pendidikan akhlak dan pusat kesadaran spiritual. Seseorang yang memahami adab di masjid berarti sedang belajar cara berinteraksi dengan Allah sekaligus dengan sesama manusia.

Al-Ghazālī menulis dengan penuh kelembutan:

إِذَا قَصَدْتَ الْمَسْجِدَ فَاعْلَمْ أَنَّكَ قَدْ قَصَدْتَ بَيْتَ مَلِكِ الْمُلُوكِ، فَانْظُرْ كَيْفَ تَقِفُ بَيْنَ يَدَيْهِ.
“Apabila engkau berniat menuju masjid, ketahuilah bahwa engkau sedang menuju rumah Raja segala raja. Maka perhatikanlah bagaimana engkau berdiri di hadapan-Nya.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 25)

Kalimat ini mengandung makna mendalam: bahwa setiap langkah menuju masjid adalah perjalanan menuju hadirat Ilahi. Karena itu, adab menjadi kunci. Tanpa adab, ibadah bisa kehilangan ruhnya.

Langkah Pertama Menuju Rumah Allah

Fenomena kehidupan modern memperlihatkan bagaimana banyak orang datang ke masjid tanpa persiapan batin. Mereka terburu-buru, membawa pikiran duniawi ke dalam ruang suci. Padahal, al-Ghazālī mengingatkan agar setiap langkah ke masjid disertai kesadaran dan keheningan hati.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Ia menulis:

إِذَا خَرَجْتَ مِنْ بَيْتِكَ فَانْوِ أَنَّكَ خَرَجْتَ إِلَى بَيْتِ رَبِّكَ لِقَضَاءِ حَقِّهِ، فَسِرْ بِالْوَقَارِ وَالسُّكُونِ.
“Ketika engkau keluar dari rumahmu menuju masjid, niatkanlah bahwa engkau pergi ke rumah Tuhanmu untuk menunaikan hak-Nya, maka berjalanlah dengan tenang dan penuh wibawa.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 26)

Dalam konteks sosial, adab ini mengajarkan disiplin dan penghormatan terhadap ruang publik yang sakral. Masjid bukan tempat untuk memamerkan status, berbicara keras, atau berdebat tentang hal duniawi, melainkan tempat menyatukan hati dalam ketenangan.

Al-Qur’an menegaskan pentingnya kesadaran ketika memasuki masjid:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Wahai anak-anak Adam, pakailah pakaian terbaikmu setiap kali ke masjid.” (QS. Al-A‘rāf [7]: 31)

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Ayat ini tidak hanya berbicara tentang pakaian lahir, tetapi juga tentang kesiapan batin dan sikap sopan di hadapan Allah.

Keheningan dan Ketenangan dalam Masjid

Bagi al-Ghazālī, masjid adalah tempat manusia melatih kesunyian hati. Ia menulis:

إِذَا دَخَلْتَ الْمَسْجِدَ فَادْخُلْهُ بِالرِّجْلِ الْيُمْنَى، وَقُلْ: اَللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ.
“Ketika engkau masuk masjid, dahulukan kaki kananmu dan ucapkan: Allahumma iftaḥ lī abwāba raḥmatik — Ya Allah, bukalah untukku pintu-pintu rahmat-Mu.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 27)

Kalimat ini tidak hanya mengandung doa, tetapi juga simbol sikap batin. Setiap langkah kecil disertai kesadaran bahwa seseorang sedang memasuki ruang kasih sayang Ilahi.

Namun, al-Ghazālī juga menegaskan bahwa diam di masjid bukan berarti sekadar duduk tanpa arah. Ia menulis:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

وَإِذَا جَلَسْتَ فِيهِ فَكُنْ عَلَى سَكِينَةٍ وَوَقَارٍ، وَلَا تَتَكَلَّمْ فِي أُمُورِ الدُّنْيَا.
“Ketika engkau duduk di dalam masjid, duduklah dengan tenang dan berwibawa, dan jangan membicarakan urusan dunia.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 28)

Adab ini tampak sederhana, namun di dalamnya terdapat pelajaran besar tentang pengendalian diri. Dalam dunia yang penuh kebisingan, masjid adalah oase keheningan di mana jiwa belajar berbicara dengan Allah, bukan dengan dunia.

Masjid dan Kehidupan Sosial: Ruang Kebersamaan yang Menyucikan

Imam al-Ghazālī memandang masjid tidak hanya sebagai tempat ibadah pribadi, tetapi juga ruang sosial yang mendidik kesetaraan dan kebersamaan. Di dalam masjid, tidak ada perbedaan antara kaya dan miskin, pejabat atau rakyat, karena semua berdiri sejajar menghadap kiblat yang satu.

Fenomena ini mencerminkan konsep kesetaraan yang al-Ghazālī tanamkan. Masjid menjadi ruang di mana setiap manusia belajar menanggalkan keangkuhan dunia. Di sini, seseorang tidak diukur dari harta, jabatan, atau status sosial, tetapi dari ketundukan hatinya.

Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِّن بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ، وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ، إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ.
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di rumah Allah untuk membaca dan mempelajari Kitab-Nya, melainkan akan turun kepada mereka ketenangan.” (HR. Muslim)

Masjid, dalam pengertian ini, adalah sekolah kehidupan. Di dalamnya, manusia belajar tentang kesederhanaan, penghargaan terhadap waktu, dan tanggung jawab sosial.

Refleksi: Menemukan Ketenangan di Tengah Keramaian

Imam al-Ghazālī menulis Bidāyat al-Hidāyah bukan hanya untuk para ahli ilmu, tetapi untuk semua yang ingin menapaki hidup dengan kesadaran. Adab di masjid adalah latihan harian untuk membangun disiplin jiwa.

Dalam dunia modern, di mana kesibukan sering membuat manusia kehilangan arah, masjid menawarkan ruang untuk kembali kepada pusat ketenangan. Ia bukan tempat melarikan diri dari dunia, melainkan tempat menemukan keseimbangan di tengah dunia.

Ketika seseorang memasuki masjid dengan hati yang sadar, ia sebenarnya sedang belajar untuk membawa kesucian itu keluar — ke rumah, ke tempat kerja, ke masyarakat.

Al-Ghazālī menutup bab tentang masjid dengan pesan indah:

وَكُنْ فِي الْمَسْجِدِ كَأَنَّكَ ضَيْفٌ فِي بَيْتِ رَبِّكَ، وَمَنْ كَانَ فِي ضِيَافَةِ مَلِكٍ فَلَا يَلْغُو وَلَا يَسْهُو.
“Beradalah di masjid seakan-akan engkau adalah tamu di rumah Tuhanmu. Dan siapa pun yang menjadi tamu di rumah raja, tidaklah pantas berkata sia-sia atau lalai.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 30)

Kesadaran ini mengubah cara kita melihat masjid: bukan sekadar tempat singgah untuk shalat, tetapi rumah tempat jiwa dibersihkan, hati diperhalus, dan kehidupan sosial diarahkan menuju kebaikan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement