Khazanah
Beranda » Berita » Bangun dengan Dzikir: Pelajaran Ruhani dari Bidāyat al-Hidāyah

Bangun dengan Dzikir: Pelajaran Ruhani dari Bidāyat al-Hidāyah

Seorang Muslim berdzikir di waktu fajar menggambarkan pelajaran ruhani dari Bidāyat al-Hidāyah.
Ilustrasi suasana tenang seorang Muslim yang mengawali hari dengan dzikir dan perenungan sebagaimana diajarkan Imam al-Ghazālī.

Surau.co. Bangun dengan dzikir bukan hanya ritual pagi yang bersifat simbolik, melainkan langkah spiritual yang menjadi inti dari ajaran Imam Abū Ḥāmid al-Ghazālī dalam Bidāyat al-Hidāyah. Sejak awal kitab ini, al-Ghazālī mengingatkan bahwa permulaan hari mencerminkan keadaan batin seseorang. Jika pagi dimulai dengan mengingat Allah, maka seluruh aktivitas akan dipenuhi dengan keberkahan dan ketenangan.

Frasa bangun dengan dzikir menjadi kunci untuk memahami jalan hidayah yang ia tawarkan. Al-Ghazālī menulis:

إِذَا اسْتَيْقَظْتَ مِنْ نَوْمِكَ فَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُورُ.
“Ketika engkau bangun dari tidurmu, ucapkanlah: Alhamdulillāh alladzī aḥyānā ba‘da mā amātanā wa ilaihin-nusyūr — segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan kepada-Nya kami akan kembali.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 6)

Dzikir ini bukan sekadar ucapan syukur, tapi kesadaran eksistensial: bahwa tidur adalah kematian kecil, dan bangun adalah kehidupan baru yang Allah anugerahkan agar kita memperbaiki diri.

Menemukan Makna di Antara Tidur dan Bangun

Setiap pagi, manusia berdiri di antara dua dunia: dunia tidur yang tenang dan dunia nyata yang menuntut kesibukan. Di sinilah titik krusial refleksi yang ingin dibangun al-Ghazālī. Ia mengajarkan bahwa momen transisi ini adalah saat terbaik untuk menata hati.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

فَإِذَا قُمْتَ مِنْ مَضْجَعِكَ فَاذْكُرِ اللَّهَ تَعَالَى، وَلَا تَقُمْ كَالْبَهَائِمِ لَا يَدْرُونَ لِمَا قَامُوا.
“Ketika engkau bangun dari tempat tidurmu, sebutlah nama Allah, dan janganlah bangun seperti hewan yang tidak tahu untuk apa mereka bangun.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 7)

Pesan ini terasa tajam namun lembut. Ia menegur manusia modern yang sering membuka mata hanya untuk mengejar rutinitas. Dengan analogi yang sederhana, al-Ghazālī menegaskan bahwa bangun pagi bukan sekadar kebiasaan biologis, tapi keputusan spiritual.

Setiap kali kita membuka mata, Allah sebenarnya sedang memberi kesempatan baru untuk berbuat baik. Maka, dzikir pagi bukanlah formalitas, tetapi tanda bahwa seseorang sadar akan makna keberadaannya.

Dzikir sebagai Energi Kehidupan

Dalam Bidāyat al-Hidāyah, dzikir pagi tidak hanya berbentuk ucapan, melainkan juga refleksi batin. Imam al-Ghazālī menekankan bahwa mengingat Allah di awal hari menciptakan keseimbangan antara tubuh, akal, dan hati. Ia menulis:

اِسْتَقْبِلْ يَوْمَكَ بِنِيَّةٍ خَالِصَةٍ، وَقُلْ فِي نَفْسِكَ: هَذَا يَوْمٌ جَدِيدٌ مِنْ عُمُرِي، وَاللَّهُ مُطَّلِعٌ عَلَيَّ فِيهِ.
“Sambutlah harimu dengan niat yang tulus, dan katakan dalam hatimu: ini adalah hari baru dari hidupku, dan Allah sedang memperhatikan apa yang aku lakukan di dalamnya.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 8)

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Kalimat ini mengubah cara kita memandang waktu. Setiap hari bukan sekadar pengulangan, melainkan kesempatan unik yang akan menjadi saksi amal. Dengan dzikir, seseorang menanamkan makna dan tujuan dalam setiap aktivitasnya—bahkan yang paling sederhana.

Al-Qur’an menegaskan pentingnya kesadaran ini:

وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا
“Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya.” (QS. Ṭāhā [20]: 130)

Dzikir pada waktu pagi menjadi semacam charging spiritual — mengisi hati dengan cahaya, menenangkan pikiran, dan menyiapkan jiwa menghadapi dinamika dunia.

Fenomena Modern: Bangun Tapi Tidak Sadar

Zaman kini memperlihatkan fenomena yang disebut “bangun tanpa kesadaran.” Banyak orang terjaga secara fisik, namun batinnya masih tidur—terlena oleh notifikasi, pekerjaan, atau ambisi duniawi. Imam al-Ghazālī, jauh sebelum era digital, sudah memperingatkan gejala ini:

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

وَكُنْ عَلَى حَذَرٍ أَنْ يَسْبِقَكَ الشَّيْطَانُ إِلَى قَلْبِكَ فَيَمْلَأَهُ بِالْهَوَى قَبْلَ أَنْ يَمْتَلِئَ بِذِكْرِ اللَّهِ.
“Berhati-hatilah agar setan tidak mendahuluimu menguasai hatimu sebelum ia dipenuhi dengan dzikrullah.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 9)

Betapa relevannya nasihat ini hari ini. Saat banyak orang memulai pagi dengan membuka ponsel, bukan membuka hati, maka ruang pertama yang diisi bukanlah cahaya Allah, melainkan kekacauan informasi.

Dengan bangun bersama dzikir, al-Ghazālī mengajarkan cara memulihkan kesadaran: menjadikan Allah sebagai fokus pertama sebelum dunia menuntut perhatian kita.

Menata Niat, Menenangkan Hati

Bangun dengan dzikir juga berarti menata niat. Menurut al-Ghazālī, setiap langkah setelah bangun—dari mencuci muka, berpakaian, hingga keluar rumah—harus diawali dengan niat ibadah. Ia berkata:

كُلُّ حَرَكَةٍ وَسَكَنَةٍ لَكَ فِي ذِكْرِ اللَّهِ، فَإِذَا غَفَلْتَ عَنْهُ طَرَفَةَ عَيْنٍ، فَقَدْ ضَيَّعْتَ نَفْسَكَ.
“Setiap gerak dan diam hendaklah dalam mengingat Allah. Jika engkau lalai dari-Nya walau sekejap mata, engkau telah merugikan dirimu.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 11)

Kalimat ini menggambarkan keseimbangan sempurna antara kesibukan dunia dan kedekatan spiritual. Dzikir bukan berarti mengasingkan diri, tetapi menghadirkan Allah di tengah aktivitas duniawi.

Ketika seseorang memulai pagi dengan dzikir, seluruh kegiatannya menjadi ladang amal. Ia bekerja bukan untuk ego, tapi untuk kebermanfaatan. Ia berbicara bukan untuk unggul, tapi untuk menebar kebaikan.

Refleksi: Pagi yang Menjadi Cermin Jiwa

Imam al-Ghazālī menulis Bidāyat al-Hidāyah sebagai peta jalan ruhani, dan bab tentang bangun dengan dzikir menjadi fondasinya. Ia mengajarkan bahwa kunci keberhasilan spiritual bukan pada besarnya amal, tetapi pada kesadaran kecil yang dijaga setiap hari.

Bangun dengan dzikir adalah latihan untuk hidup dengan niat yang murni, menyambut setiap fajar dengan rasa syukur, dan menanamkan ketenangan dalam diri. Dalam kehidupan modern yang serba cepat, pesan ini terasa menenangkan: bahwa hidayah tidak perlu dicari di tempat jauh—ia dimulai dari langkah kecil yang dilakukan dengan hati sadar.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement