Surau.co. Dalam Bidāyat al-Hidāyah, Imam Abū Ḥāmid al-Ghazālī menjelaskan bahwa adab sehari-hari bukan sekadar etika sosial, tetapi juga sarana spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kitab ini mengajarkan bahwa setiap momen—dari bangun tidur hingga menjelang tidur kembali—bisa menjadi ibadah bila dijalani dengan kesadaran.
Bagi al-Ghazālī, seseorang yang ingin meniti jalan hidayah harus terlebih dahulu menata amal lahirnya. Ia menulis:
اعْلَمْ أَنَّ أَوَّلَ مَا تُبْدِئُ بِهِ مِنْ نَهَارِكَ طَهَارَةُ بَدَنِكَ لِصَلاتِكَ، فَإِنَّهَا مِفْتَاحُ الْخَيْرِ كُلِّهِ.
“Ketahuilah, hal pertama yang harus engkau lakukan di pagi hari adalah mensucikan badanmu untuk shalat, karena ia adalah kunci segala kebaikan.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 5)
Al-Ghazālī menekankan bahwa kesucian fisik adalah langkah awal menuju kesucian batin. Wudhu, mandi, dan berpakaian bersih menjadi simbol kesiapan spiritual untuk menyambut hari dengan niat yang lurus.
Pagi: Kesadaran Awal Sebelum Dunia Menyibukkan
Saat pagi tiba, banyak orang langsung disibukkan oleh notifikasi ponsel, rencana kerja, atau urusan rumah tangga. Namun, al-Ghazālī mengingatkan agar manusia memulai hari dengan dzikir dan refleksi diri. Ia menulis:
إِذَا اسْتَيْقَظْتَ مِنْ نَوْمِكَ، فَاذْكُرِ اللَّهَ تَعَالَى بِسَانِكَ، لِيَكُونَ أَوَّلُ مَا يَجْرِي عَلَى لِسَانِكَ ذِكْرَ اللَّهِ.
“Ketika engkau bangun dari tidurmu, sebutlah nama Allah dengan lisanmu agar ucapan pertama yang keluar darimu adalah dzikrullah.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 6)
Pesan ini sederhana, namun menggambarkan inti spiritualitas Islam: menghadirkan Allah dalam setiap permulaan. Dengan mengawali pagi bersama dzikir, seseorang menata arah hidupnya agar tetap berada di bawah cahaya petunjuk-Nya.
Firman Allah menegaskan:
ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَامًۭا وَقُعُودًۭا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ
“(Ialah) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan berbaring.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 191)
Makna ayat ini sejalan dengan pesan al-Ghazālī—bahwa dzikir bukan ritual terbatas, tetapi kesadaran terus-menerus yang menghidupkan hati.
Siang: Adab dalam Kesibukan Dunia
Saat matahari naik, dunia mulai menuntut tanggung jawab: pekerjaan, interaksi sosial, dan ujian kesabaran. Di sinilah adab memainkan peran penting. Al-Ghazālī mengingatkan agar setiap amal harian—makan, bekerja, berbicara—tidak kehilangan dimensi spiritualnya.
Beliau menulis:
لَا تُكْثِرِ الْكَلَامَ فِي غَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ، فَإِنَّ كَثْرَةَ الْكَلَامِ تُقَسِّي الْقَلْبَ.
“Janganlah engkau memperbanyak bicara selain untuk mengingat Allah, karena banyak bicara dapat mengeraskan hati.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 27)
Dalam dunia digital yang penuh percakapan cepat dan komentar instan, nasihat ini terasa sangat relevan. Menahan lidah—atau jari di layar gawai—menjadi bentuk baru dari adab zaman kini.
Selain itu, al-Ghazālī mengajarkan niat sebagai fondasi. Setiap aktivitas duniawi bisa berubah menjadi ibadah bila diniatkan karena Allah. Makan untuk menjaga tenaga beribadah, bekerja untuk memberi nafkah halal, semua bernilai spiritual jika dilakukan dengan kesadaran.
Sore: Menghitung Diri Sebelum Waktu Berhenti
Ketika matahari condong ke barat, al-Ghazālī mengajak kita menoleh sejenak ke dalam diri. Sudahkah hari ini diisi dengan amal yang bermanfaat? Ataukah lebih banyak waktu terbuang untuk hal sia-sia?
Ia menulis:
فَاحْذَرْ أَنْ يَذْهَبَ يَوْمُكَ وَلَيْلَتُكَ وَلَمْ تَكْتُبْ فِي صَحِيفَتِكَ شَيْئًا يَقَرِّبُكَ إِلَى رَبِّكَ.
“Berhati-hatilah agar harimu dan malammu tidak berlalu tanpa menuliskan sesuatu dalam catatan amal yang mendekatkanmu kepada Tuhanmu.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 42)
Pesan ini bukan sekadar nasihat moral, melainkan bentuk latihan kesadaran diri (muhāsabah). Dengan menilai diri setiap hari, seseorang menjaga arah hidupnya agar tetap menuju hidayah, bukan sekadar terombang-ambing oleh kesibukan.
Malam: Tidur sebagai Ibadah yang Tenang
Dalam bagian penutup bab adab harian, al-Ghazālī berbicara tentang tidur—aktivitas sederhana namun sarat makna. Ia menulis agar seseorang tidur dalam keadaan suci, memaafkan orang lain, dan menutup hari dengan doa.
إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَنَامَ، فَتَوَضَّأْ كَوُضُوءِكَ لِلصَّلَاةِ، وَاجْعَلْ نَوْمَكَ خَاتِمَ عَمَلِكَ.
“Jika engkau hendak tidur, berwudhulah sebagaimana wudhu untuk shalat, dan jadikan tidurmu sebagai penutup amal harianmu.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 49)
Tidur, dalam pandangan al-Ghazālī, bukan waktu berhenti, tetapi jeda suci untuk menyegarkan jiwa. Dengan tidur dalam keadaan bersih dan berdzikir, manusia menyiapkan diri untuk bangun dengan kesadaran baru—memulai lagi perjalanan hidayah dari pagi berikutnya.
Menemukan Kedamaian di Tengah Kehidupan Modern
Pesan Imam al-Ghazālī terasa semakin penting di tengah kehidupan modern yang cepat dan penuh gangguan. Bidāyat al-Hidāyah bukan sekadar kitab kuno, melainkan panduan hidup yang relevan sepanjang masa. Ia mengajarkan bahwa spiritualitas tidak harus dicari di puncak gunung atau dalam ritual khusus, tetapi di dalam setiap rutinitas harian yang dilakukan dengan niat yang tulus.
Adab yang kecil—menjaga pandangan, berbicara lembut, bersyukur atas makanan, tidur dengan doa—semuanya menjadi jalan menuju kesempurnaan diri.
Pada akhirnya, hidayah tidak datang dari banyaknya ibadah formal, tetapi dari kedisiplinan hati dalam menjaga adab di setiap waktu. Seperti kata al-Ghazālī, jalan menuju Allah dimulai dari kesadaran dalam kehidupan sehari-hari.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
