Surau.co. Bidāyat al-Hidāyah karya Imam Abū Ḥāmid al-Ghazālī adalah panduan spiritual yang menuntun seseorang dari pengetahuan menuju penghayatan. Frasa “meniti jalan hidayah” berarti berjalan dengan kesadaran di atas tuntunan Allah — bukan hanya mengenal kebaikan, tetapi mempraktikkannya dalam setiap gerak kehidupan.
Sejak paragraf pertama, al-Ghazālī menegaskan bahwa permulaan jalan menuju Allah harus dimulai dari amal yang lahir, sebelum seseorang menembus rahasia batin. Ia berkata:
فَاعْلَمْ أَنَّ الطَّرِيقَ طَوِيلَةٌ وَمَنَازِلَهَا كَثِيرَةٌ، وَمَنْ لَمْ يَبْدَأْ بِالطَّهَارَةِ لَمْ يَدْخُلْ فِي الصَّلَاةِ.
“Ketahuilah, jalan menuju Allah itu panjang dan penuh tahapan. Siapa yang belum memulai dengan bersuci, ia belum layak masuk ke dalam shalat.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 3)
Kalimat ini sederhana tapi mendalam. Ia bukan sekadar tentang air dan wudhu, melainkan tentang pembersihan diri dari kegelapan hati. Jalan hidayah, bagi al-Ghazālī, selalu dimulai dari kesadaran yang paling kecil: membersihkan diri sebelum menghadap Allah.
Ketika Rutinitas Menjadi Jalan Menuju Allah
Dalam kehidupan modern, manusia kerap terjebak rutinitas yang mekanis. Bangun pagi, bekerja, makan, tidur — semua dilakukan tanpa makna. Bidāyat al-Hidāyah hadir untuk menghidupkan kembali dimensi spiritual di tengah rutinitas itu.
Imam al-Ghazālī menulis:
إِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ كَالْمُغْتَرِّينَ، يَسْتَكْثِرُونَ الْعَمَلَ وَيَنْسَوْنَ الْقَبُولَ.
“Janganlah engkau menjadi seperti orang yang tertipu, yang merasa banyak beramal namun lupa memohon agar amalnya diterima.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 9)
Peringatan ini terasa sangat relevan. Banyak orang beramal, beribadah, bahkan menolong sesama, tetapi tanpa kesadaran batin. Al-Ghazālī mengingatkan bahwa kualitas amal tidak diukur dari banyaknya perbuatan, melainkan dari kebersihan niat dan keikhlasan.
Hidayah sebagai Proses, Bukan Titik Akhir
Hidayah bukan hadiah yang datang tiba-tiba, melainkan proses panjang yang dilalui dengan ketekunan. Dalam pandangan al-Ghazālī, setiap manusia memiliki kesempatan untuk menapaki jalan ini, asalkan ia mau disiplin dan konsisten menjaga niatnya.
إِنَّمَا الْهِدَايَةُ نُورٌ يُقْذَفُ فِي الْقَلْبِ، وَلاَ يَسْتَقِرُّ فِيهِ إِلاَّ بِالتَّقْوَى وَالْمُجَاهَدَةِ.
“Sesungguhnya hidayah adalah cahaya yang dilemparkan ke dalam hati, dan ia tidak akan menetap kecuali dengan takwa dan perjuangan diri.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 21)
Al-Ghazālī menyebut mujāhadah — perjuangan melawan hawa nafsu — sebagai syarat utama menerima hidayah. Tanpa perjuangan batin, seseorang hanya akan menjadi “penonton kebenaran” tanpa pernah berjalan di atasnya.
Menemukan Keseimbangan antara Syariat dan Hakikat
Kitab ini menempatkan syariat dan hakikat dalam keseimbangan yang indah. Syariat mengatur perilaku lahiriah, sementara hakikat menghidupkan batin. Dalam Bidāyat al-Hidāyah, keduanya bukan dua dunia yang bertentangan, tetapi dua sisi dari satu perjalanan.
مَنْ طَلَبَ الْحَقِيقَةَ دُونَ الشَّرِيعَةِ زَلَّ، وَمَنْ لَزِمَ الشَّرِيعَةَ دُونَ الْحَقِيقَةِ قَصَّرَ.
“Barangsiapa mencari hakikat tanpa syariat, ia akan tersesat. Dan siapa berpegang pada syariat tanpa hakikat, ia akan terhenti.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 38)
Nasihat ini menuntun umat Islam untuk tidak memisahkan ibadah ritual dari spiritualitas batin. Dalam bekerja, bergaul, dan beribadah, kesadaran harus hadir agar amal tidak menjadi kebiasaan kosong.
Meniti Hidayah di Tengah Zaman Sibuk
Kehidupan modern penuh gangguan. Ponsel berbunyi setiap menit, pekerjaan menumpuk, dan waktu terasa berlalu begitu cepat. Dalam situasi seperti ini, Bidāyat al-Hidāyah mengajak kita untuk menyusun ulang ritme hidup agar tetap selaras dengan petunjuk Allah.
Imam al-Ghazālī mengajarkan bahwa setiap tindakan, sekecil apa pun, bisa menjadi jalan menuju Allah jika diniatkan dengan benar. Menyapa dengan ramah, menolong teman, atau sekadar menjaga pandangan adalah bagian dari perjalanan hidayah.
Hal ini sejalan dengan firman Allah:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. Al-‘Ankabūt [29]: 69)
Ayat ini menguatkan pesan kitab al-Ghazālī: bahwa Allah akan memberi petunjuk bagi siapa pun yang berjuang menapakinya.
Refleksi: Awal yang Kecil, Cahaya yang Besar
Meniti jalan hidayah tidak membutuhkan langkah besar. Ia dimulai dari adab kecil yang dilakukan terus-menerus: bangun dengan dzikir, menahan lidah dari ghibah, menjaga niat sebelum beramal. Dalam pandangan al-Ghazālī, semua itu adalah bagian dari latihan jiwa menuju cahaya.
Hidayah bukan sekadar hadiah, tetapi tanggung jawab. Ia menuntut keterjagaan hati dalam setiap tindakan. Bidāyat al-Hidāyah mengingatkan bahwa kesalehan sejati bukanlah hasil dari pengetahuan tinggi, tetapi dari disiplin kecil yang konsisten dijalankan.
Dalam kehidupan yang cepat dan serba instan, pesan ini terasa sangat menyejukkan: bahwa setiap langkah menuju kebaikan — sekecil apa pun — adalah bagian dari perjalanan suci menuju Allah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
