Khazanah
Beranda » Berita » Mengingat Mati, Hidup Lebih Benar: Renungan Akhir dari Kitab 40

Mengingat Mati, Hidup Lebih Benar: Renungan Akhir dari Kitab 40

Lelaki tua merenung di tepi padang pasir menjelang matahari terbenam, simbol kesadaran akan kematian.
Ilustrasi ini menggambarkan ketenangan batin seseorang yang menyadari kefanaan dunia dan bersiap menuju keabadian.

Surau.co. Dalam kehidupan modern yang serba cepat, mengingat mati sering kali dianggap tabu, bahkan menakutkan. Padahal, bagi Imam al-Ghazālī, kesadaran akan kematian justru merupakan kunci untuk hidup lebih benar dan bermakna. Dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, terutama pada Kitab ke-40 (Kitāb Dhikr al-Maut wa Mā Ba‘dahu), Al-Ghazālī menutup karyanya yang monumental dengan renungan yang dalam tentang akhir kehidupan.
Frasa kunci “mengingat mati” menjadi poros utama yang menghidupkan seluruh ajaran moral dan spiritual dalam Iḥyā’. Dengan mengingat kematian, seseorang akan menemukan keseimbangan antara cinta dunia dan kesiapan menuju akhirat.

Kesadaran Mati Sebagai Jalan Menuju Hidup yang Jernih

Imam al-Ghazālī memulai pembahasan tentang kematian bukan dengan nada muram, tetapi dengan penuh kebijaksanaan. Ia menulis:

قال الغزالي: “اعلم أن ذكر الموت لا بد منه، فإنه هو الذي يقطع حب الدنيا، ويهون المصائب، ويحث على العمل الصالح.”
“Ketahuilah bahwa mengingat mati itu niscaya, sebab ia yang memutus cinta dunia, meringankan musibah, dan mendorong amal saleh.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, juz 4)

Bagi Al-Ghazālī, mengingat mati bukanlah bentuk pesimisme, melainkan kesadaran eksistensial. Dengan mengingat bahwa hidup memiliki akhir, manusia belajar mengutamakan yang hakiki dibanding yang fana. Kesadaran ini menjernihkan niat, menenangkan batin, dan menuntun pada amal yang tulus.

Dalam masyarakat modern yang sibuk mengejar prestasi, status, dan citra, pesan ini terasa seperti oase. Mengingat mati mengajarkan kita untuk berhenti sejenak dan menata ulang arah hidup.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Fenomena Sehari-hari: Hidup yang Penuh Tapi Kosong

Hari ini, banyak orang hidup dengan kalender yang padat namun hati yang kosong. Mereka bekerja tanpa jeda, berlari tanpa arah. Ketika ditanya untuk apa semua itu, sering kali jawabannya kabur. Inilah yang disebut Al-Ghazālī sebagai ghaflah (kelalaian)—hidup dalam lupa terhadap hakikat diri.

قال الغزالي: “من طال أمله، قسا قلبه، ومن قسا قلبه، بَعُدَ من الله.”
“Barang siapa panjang angan-angannya, maka hatinya menjadi keras; dan siapa yang keras hatinya, ia akan jauh dari Allah.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, juz 4)

Kutipan ini mencerminkan realitas kontemporer. Ketika manusia sibuk menumpuk rencana duniawi tanpa menyiapkan perjalanan abadi, hatinya mengeras. Ia kehilangan kelembutan, kehilangan arah. Maka, mengingat mati menjadi latihan spiritual untuk melunakkan hati dan menumbuhkan rasa syukur setiap hari.

Al-Qur’an dan Seruan untuk Menyadari Kematian

Kesadaran akan kematian bukan hanya tema sufi, tetapi juga ajaran pokok Al-Qur’an. Allah berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
“Setiap jiwa pasti akan merasakan mati.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 185)

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Ayat ini tidak sekadar peringatan, tetapi juga pengingat agar manusia mempersiapkan bekal terbaik. Dalam tafsir Al-Ghazālī, kematian bukan pemutus kehidupan, melainkan pintu menuju liqa’ Allah—perjumpaan dengan Tuhan yang dicintai. Karena itu, mengingat mati bukan untuk menakuti diri, tetapi untuk mengarahkan cinta kita agar tidak tersesat pada yang sementara.

Makna Hidup yang Benar Menurut Iḥyā’

Imam al-Ghazālī menegaskan bahwa orang yang paling cerdas adalah orang yang paling sering mengingat mati, bukan karena takut, tapi karena ia tahu makna kehidupan sesungguhnya. Ia menulis:

قال الغزالي: “العاقل من دان نفسه، وعمل لما بعد الموت، والجاهل من أتبع نفسه هواها، وتمنى على الله الأماني.”
“Orang berakal adalah yang menundukkan dirinya dan beramal untuk setelah mati, sedangkan orang bodoh adalah yang menuruti hawa nafsunya dan hanya berangan-angan kepada Allah.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, juz 4)

Di sini, Al-Ghazālī mengajarkan etos tanggung jawab spiritual. Hidup bukanlah tentang menunda-nunda kebaikan, melainkan tentang menjadikan setiap hari peluang untuk memperbaiki diri. Dengan begitu, kematian tidak lagi menjadi momok, tetapi kepulangan yang dinanti.

Menumbuhkan Kesadaran Mati dalam Kehidupan Sehari-hari

Mengingat mati tidak berarti meninggalkan dunia, melainkan menghidupkan makna di dalamnya. Imam al-Ghazālī memberikan beberapa cara untuk menumbuhkan kesadaran ini secara praktis:

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

  1. Merenungi kematian setiap hari, agar hati tetap lembut dan niat tetap lurus.

  2. Mengunjungi kubur, bukan untuk takut, tetapi untuk mengingat bahwa setiap manusia akan menempuh jalan yang sama.

  3. Mendengarkan kisah orang saleh, karena mereka menjadikan kematian sebagai pengingat, bukan ancaman.

  4. Berbuat baik kepada sesama, sebab amal kebaikan adalah bekal terbaik untuk perjalanan panjang setelah mati.

Dalam konteks modern, langkah-langkah ini bisa diartikan secara lebih luas—seperti berhenti sejenak dari rutinitas digital, merenungi tujuan hidup, atau memperbaiki hubungan dengan orang yang pernah kita sakiti.

Kematian sebagai Guru Kehidupan

Di tangan Al-Ghazālī, kematian bukan akhir, tetapi guru yang paling jujur. Ia menulis dengan bahasa yang menyentuh:

قال الغزالي: “لو فكر الناس في الموت حق التفكير، لتركوا الدنيا وراء ظهورهم، وبادروا إلى العمل الصالح.”
“Seandainya manusia memikirkan kematian dengan sungguh-sungguh, niscaya mereka akan meninggalkan dunia di belakang punggungnya dan segera beramal saleh.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, juz 4)

Merenungi kalimat ini, kita diajak melihat bahwa kesadaran mati bukanlah akhir semangat hidup, melainkan awal kesungguhan hidup. Ia membuat manusia lebih jujur pada dirinya sendiri, lebih lembut kepada sesama, dan lebih tulus dalam beramal.

Penutup: Hidup yang Sadar, Mati yang Tenang

Kitab ke-40 dari Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn bukan hanya penutup karya besar Imam al-Ghazālī, melainkan juga puncak spiritualitasnya. Ia seolah berkata kepada pembacanya: “Engkau telah belajar ilmu, beramal, berjuang, kini bersiaplah untuk kembali.”

Mengingat mati bukan tentang berpisah, tapi tentang menyiapkan kepulangan dengan hati yang tenang. Dengan kesadaran ini, hidup menjadi lebih fokus, sederhana, dan penuh makna.

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan sembahlah Tuhanmu hingga datang kepadamu keyakinan (kematian).” (QS. al-Ḥijr [15]: 99)

Ayat ini adalah penutup yang indah—mengajarkan bahwa hidup sejati adalah ibadah yang tidak pernah berhenti, hingga tiba saat kita kembali.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontempati Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement