Khazanah
Beranda » Berita » Membumikan Ma’rifah: Jalan Kenal Tuhan yang Bisa Dilatih Setiap Hari

Membumikan Ma’rifah: Jalan Kenal Tuhan yang Bisa Dilatih Setiap Hari

Sufi muda berdoa di tepi sungai, menggambarkan latihan ma’rifah harian.
Ilustrasi ini menggambarkan suasana batin yang tenang ketika seseorang mulai menyadari kehadiran Allah di setiap detik hidupnya.

Surau.co. Dalam tradisi tasawuf Islam, ma’rifah — pengenalan terhadap Allah — sering dipandang sebagai puncak tertinggi spiritualitas. Namun, menurut Imam al-Ghazālī dalam karya agungnya Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, ma’rifah bukan sekadar anugerah bagi para sufi besar. Sebaliknya, ia adalah jalan hidup yang bisa dilatih dan diupayakan oleh setiap Muslim.

Dengan demikian, frasa “membumikan ma’rifah” berarti menghadirkan kesadaran tentang Allah dalam aktivitas nyata sehari-hari — dalam bekerja, berinteraksi, bahkan ketika berada dalam kesunyian.


Ma’rifah Menurut Al-Ghazālī: Dari Pengetahuan Menuju Pengalaman

Imam al-Ghazālī menjelaskan bahwa ma’rifah bukan hanya tentang mengenal nama-nama Allah atau memahami teologi semata. Lebih jauh, ia adalah dzauq — rasa yang muncul dari kedalaman hati setelah seseorang menundukkan ego dan membersihkan niatnya.

قال الغزالي:
“المعرفة نور يقذفه الله في القلب بعد صفائه من الكدورات، ولا تنال بالدرس والمطالعة.”
“Ma’rifah adalah cahaya yang Allah pancarkan ke dalam hati setelah ia bersih dari kotoran jiwa. Ia tidak diperoleh hanya dengan belajar dan membaca.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, juz 4)

Pernyataan ini menegaskan bahwa ilmu hanyalah pintu, sedangkan hati yang jernih adalah wadahnya. Seseorang mungkin fasih berbicara tentang sifat-sifat Allah, tetapi bila hatinya masih dipenuhi kesombongan, maka ma’rifah belum bersemayam di sana.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Oleh karena itu, di era modern yang sarat informasi, pesan Al-Ghazālī menjadi sangat relevan: pengetahuan harus diolah menjadi kesadaran batin, bukan sekadar koleksi data intelektual.


Fenomena Sehari-hari: Menyadari Allah di Tengah Rutinitas

Banyak orang ingin dekat dengan Allah, tetapi tidak tahu dari mana harus memulai. Padahal, Al-Ghazālī mengajarkan bahwa jalan menuju ma’rifah dimulai dari hal-hal sederhana — kejujuran dalam bekerja, kesabaran saat diuji, dan ketulusan dalam memberi.

قال الغزالي:
“من عرف الله أحبّه، ومن أحبّه أطاعه، ومن أطاعه قرّبه، ومن قرّبه آنسه.”
“Barang siapa mengenal Allah, ia akan mencintai-Nya; barang siapa mencintai-Nya, ia akan menaati-Nya; barang siapa menaati-Nya, ia akan didekatkan; dan barang siapa didekatkan, ia akan merasa tenteram.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, juz 3)

Dengan demikian, kedekatan kepada Allah tidak hanya tumbuh dalam kesunyian dzikir, tetapi juga melalui kesadaran di tengah rutinitas duniawi. Saat seseorang bekerja dengan niat ibadah, menahan amarah demi ridha Allah, atau mengucapkan bismillah sebelum berbuat, ia sesungguhnya sedang menapaki tangga ma’rifah.


Membersihkan Hati: Syarat Utama Ma’rifah

Menurut Al-Ghazālī, hati yang kotor oleh ambisi dunia tidak akan sanggup memantulkan cahaya Ilahi. Ia menggambarkan hati sebagai cermin spiritual; jika debu keserakahan menutupi permukaannya, cahaya ma’rifah pun takkan tampak.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

قال الغزالي:
“القلب مرآة، وصور المعاني تتجلى فيها، فإذا غشيها صدأ الشهوات لم يظهر فيها شيء من أنوار المعارف.”
“Hati adalah cermin tempat makna terpantul. Bila tertutup karat syahwat, tidak akan tampak di dalamnya cahaya-cahaya ma’rifah.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, juz 4)

Oleh karena itu, tazkiyatun nafs atau pembersihan jiwa menjadi latihan harian: menghindari riya, memaafkan sesama, dan menjaga niat agar tetap tulus. Semua itu merupakan bagian penting dari membumikan ma’rifah. Mengenal Allah berarti menyadari bahwa segala kebaikan berasal dari-Nya, bukan dari keakuan diri.


Al-Qur’an: Pemandu Jalan Menuju Ma’rifah

Al-Ghazālī selalu mengaitkan ma’rifah dengan petunjuk wahyu. Bagi beliau, mengenal Allah bukan hasil spekulasi filsafat, melainkan buah dari tadabbur dan ketaatan.

Allah berfirman:

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
“Kami akan perlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Dia-lah Yang Benar.”
(QS. Fuṣṣilat [41]: 53)

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Ayat ini menegaskan bahwa ma’rifah bisa tumbuh dari pengamatan sehari-hari. Melihat matahari terbit, mendengar suara hujan, atau menyaksikan bayi lahir — semua itu merupakan tanda yang mengantar hati mengenal Sang Pencipta.

Dengan kata lain, mengenal Allah bukan pelarian dari realitas, tetapi cara membaca realitas dengan mata hati yang sadar.


Latihan Harian: Menjadikan Ma’rifah Sebagai Laku Hidup

Membumikan ma’rifah berarti menghadirkan Allah dalam kesadaran, bahkan ketika melakukan hal paling duniawi. Al-Ghazālī memberikan beberapa latihan sederhana yang bisa diterapkan setiap hari:

  1. Dzikir dan tafakkur sebelum tidur.
    Setiap malam, luangkan waktu untuk mengingat perjalanan hari ini—apa yang mendekatkanmu kepada Allah, dan apa yang menjauhkanmu.

  2. Menghadirkan niat dalam aktivitas.
    Setiap tindakan kecil seperti bekerja, makan, atau menolong orang lain bisa menjadi ibadah bila dilakukan dengan niat yang benar.

  3. Menjaga hati dari kelalaian.
    Dalam Iḥyā’, Al-Ghazālī mengingatkan bahwa kelalaian adalah tabir yang menutupi cahaya ma’rifah.

    قال الغزالي:
    “الغفلة موت القلب، والذكر حياة القلب، فاختر لنفسك أيّهما تحب.”
    “Kelalaian adalah kematian hati, sedangkan zikir adalah kehidupan hati. Maka pilihlah untuk dirimu, yang mana engkau sukai.”
    (Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, juz 2)

Oleh karena itu, kesadaran bisa dimulai dari langkah kecil: menghadirkan nama Allah di setiap tarikan napas, mengucap alhamdulillah dengan rasa syukur yang nyata, bukan sekadar kebiasaan lisan.


Ma’rifah: Ketenangan yang Tak Dapat Dibeli

Pada akhirnya, ma’rifah melahirkan kedamaian batin yang tak tergoyahkan. Orang yang mengenal Allah tidak mudah panik oleh kehilangan, dan tidak sombong dalam keberhasilan. Ia hidup seimbang antara cinta dan takut, harapan dan ridha.

قال الغزالي:
“المعرفة أصل كل طاعة، والجهل أصل كل معصية.”
“Ma’rifah adalah akar segala ketaatan, sedangkan kebodohan adalah akar segala maksiat.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, juz 4)

Dengan demikian, ketika seseorang mengenal Allah dengan sungguh-sungguh, cinta menjadi alasan tertinggi untuk taat. Ia tak perlu lagi dorongan eksternal, sebab hatinya telah menemukan sumber ketenangan sejati.


Penutup: Menyapa Allah dari Hal-Hal Kecil

Membumikan ma’rifah berarti belajar melihat Allah dalam setiap hal — dalam senyum orang tua, dalam kesabaran menghadapi ujian, dalam hembusan napas yang penuh syukur.

Al-Ghazālī mengajarkan bahwa perjalanan menuju ma’rifah bukanlah perjalanan eksklusif, melainkan perjalanan setiap hati yang mau dibersihkan.

Karena itu, mengenal Allah tidak menunggu kesempurnaan ilmu. Ia bisa dimulai hari ini — dari kesadaran kecil, dari langkah sederhana, dari doa yang tulus.

Dan pada akhirnya, setiap hembusan napas yang diisi dengan kesadaran akan Allah adalah bagian dari perjalanan panjang menuju ma’rifah yang sejati.

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement