Surau.co. Dalam perjalanan panjang sejarah Islam, nama Imam al-Ghazālī selalu muncul sebagai poros penting yang menjembatani rasionalitas dan spiritualitas. Di tengah dinamika keilmuan Islam klasik, karya monumentalnya Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn tidak hanya berisi ensiklopedia moral dan akhlak, tetapi juga menyingkap kedalaman makna hadis, etika, dan kehidupan rohani.
Frasa “Membaca kembali Al-Ghazālī” menjadi relevan di masa kini, ketika umat Islam dihadapkan pada dua arus besar: formalisme agama di satu sisi, dan kekeringan spiritual di sisi lain.
Dari Kritik Tekstual ke Kedalaman Makna
Membaca ulang Al-Ghazālī bukan sekadar mempelajari teks, melainkan menghidupkan kembali semangatnya. Ia hidup pada masa ketika hadis-hadis beredar luas dengan berbagai tingkat otentisitas. Karena itu, sebagian ulama mengkritik Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn karena memuat hadis yang dinilai dha‘īf (lemah) bahkan mawdhū‘ (palsu).
Namun, bagi Al-Ghazālī, hadis bukan sekadar data tekstual. Ia melihatnya sebagai jendela menuju kebenaran batin. Dalam salah satu bagian Iḥyā’, beliau menulis:
قال الغزالي: “ليس المقصود من الحديث لفظه، ولكن المقصود العمل به، فإن العلم بلا عمل جنون والعمل بلا علم لا يكون.”
“Yang dimaksud dari hadis bukan lafaznya, tetapi pengamalannya. Sebab ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu tidak mungkin terjadi.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, juz 1)
Pernyataan ini memperlihatkan bagaimana Al-Ghazālī menempatkan hadis sebagai sarana transformasi spiritual, bukan sekadar hafalan sanad. Ia tidak menolak kritik sanad, tetapi menegaskan bahwa ruh hadis terletak pada pesan moralnya.
Kekeringan Spiritual di Era Informasi
Di dunia modern yang serba cepat, banyak orang mengalami apa yang disebut Al-Ghazālī sebagai “ilmu tanpa rasa takut kepada Allah.” Kini, agama sering dipahami sebatas data — berupa kutipan, status media sosial, atau potongan video dakwah — tanpa disertai kedalaman pengalaman rohani.
Kondisi ini sejatinya mirip dengan kritik Al-Ghazālī terhadap ulama pada zamannya yang terjebak dalam debat fiqih dan logika, tetapi melupakan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Ia menulis dengan nada getir:
قال الغزالي: “العلم بلا عمل جنون، والعمل بلا علم لا يكون، والعلم باللسان حجة الله على ابن آدم.”
“Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, amal tanpa ilmu mustahil, dan ilmu yang hanya di lidah menjadi hujjah Allah atas anak Adam.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, juz 1)
Oleh karena itu, membaca kembali Al-Ghazālī menjadi panggilan untuk menghidupkan kembali ruh ilmu. Ilmu agama seharusnya menumbuhkan akhlak, bukan sekadar memperbanyak dalil.
Antara Kritik dan Spiritualitas
Meskipun dikenal sebagai sufi, Al-Ghazālī memiliki pemikiran tajam tentang metodologi hadis. Ia tidak menolak keabsahan sanad, tetapi lebih menekankan hikmah al-hadith — pesan moral dan nilai spiritual yang terkandung di dalamnya.
قال الغزالي: “انظر إلى معنى الحديث لا إلى راويه، فإن العبرة بما فيه من الحكمة، لا بما فيه من الإسناد.”
“Lihatlah makna hadis, bukan perawinya; sebab yang penting adalah hikmah yang terkandung di dalamnya, bukan sekadar sanadnya.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, juz 2)
Melalui pandangan ini, Al-Ghazālī tidak sedang menolak kritik hadis, melainkan menyempurnakannya dengan kedalaman makna. Bagi beliau, hadis dha‘īf yang mengandung nilai moral dan tidak bertentangan dengan syariat tetap layak dijadikan bahan renungan.
Dengan kata lain, ia berusaha menyeimbangkan ketelitian ilmiah dan kepekaan rohani.
Keseimbangan antara Akal dan Rasa
Membaca kembali Al-Ghazālī berarti menelusuri jembatan antara kritik intelektual dan penghayatan batin. Ia mengajarkan bahwa ilmu sejati tidak berhenti pada akal, tetapi harus berbuah pada pengalaman ruhani.
Dalam penggalan penuh makna, beliau menulis:
قال الغزالي: “من لم يذق لم يعرف، ومن لم يعرف لم يصدق، ومن لم يصدق لم يسلك الطريق إلى الله.”
“Barang siapa belum merasakan, ia tidak akan mengenal; barang siapa tidak mengenal, ia tidak akan membenarkan; dan barang siapa tidak membenarkan, ia tidak akan menempuh jalan menuju Allah.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, juz 3)
Dengan demikian, Al-Ghazālī menegaskan bahwa iman sejati tidak berhenti pada pengetahuan, tetapi harus dihayati secara eksistensial. Ia mengajak manusia merasakan iman, bukan sekadar memahaminya.
Refleksi: Menghidupkan Iḥyā’ di Zaman Modern
Kini, membaca kembali Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn berarti menyalakan kembali bara spiritualitas yang redup di tengah derasnya arus digitalisasi ilmu. Kita diajak untuk kembali menimbang: apakah ilmu yang kita kejar telah menumbuhkan cinta dan ketenangan hati?
Firman Allah menegaskan:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya.”
(QS. Asy-Syams [91]: 9)
Ayat ini selaras dengan ajaran Al-Ghazālī — bahwa keberuntungan sejati bukan terletak pada prestasi intelektual, melainkan pada keberhasilan menyucikan hati.
Oleh sebab itu, membaca kembali Al-Ghazālī bukan nostalgia akademik, tetapi perjalanan ruhani untuk menemukan keseimbangan antara teks dan makna, antara kritik dan cinta, antara ilmu dan cahaya.
Penutup: Cahaya Al-Ghazālī di Tengah Kegelapan Modernitas
Al-Ghazālī tidak hanya menulis kitab; ia menulis jalan pulang bagi jiwa manusia. Di tengah dunia yang sibuk mencari kebenaran lewat algoritma, ia mengingatkan bahwa kebenaran sejati justru tumbuh dari keheningan hati.
Seperti pesannya yang abadi:
قال الغزالي: “من أراد الآخرة وجب عليه أن يزهد في الدنيا، ومن أراد الله وجب عليه أن يزهد في نفسه.”
“Barang siapa menginginkan akhirat, hendaklah ia zuhud terhadap dunia; dan barang siapa menginginkan Allah, hendaklah ia zuhud terhadap dirinya.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, juz 4)
Dengan demikian, membaca kembali Al-Ghazālī bukan sekadar kegiatan ilmiah, melainkan tindakan spiritual — upaya menata kembali hati agar tetap jernih di tengah hiruk-pikuk modernitas. Sebab, di balik setiap teksnya, Al-Ghazālī sesungguhnya sedang menuntun kita untuk kembali kepada sumber cahaya: Allah sendiri.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serami Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
