Surau.co. Di zaman ketika semua orang sibuk menatap layar, tak sedikit dari kita yang merasa punya segalanya, tapi sesungguhnya kehilangan sesuatu yang jauh lebih penting — ketenangan hati. Punya HP bagus, koneksi cepat, kamera jernih, dan ribuan pengikut, namun saat malam datang, batin terasa sepi. Apakah ini tanda bahwa teknologi telah menguasai jiwa kita? Ataukah kita yang lupa menata hati di tengah derasnya arus digital?
Sebagian orang mungkin tak sadar bahwa ujian zaman modern bukan hanya soal kehilangan sinyal, tapi kehilangan makna. Kita hidup di era di mana genggaman tangan penuh notifikasi, tapi hati justru penuh kekosongan. Dan di sinilah pesan klasik dari kitab Kifāyatul Atqiyā’ wa Minhājul Ashfiyā’ karya Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syathā ad-Dimyāthī menjadi sangat relevan.
Hidup di Era Cahaya Layar, tapi Gelap di Dalam
Kita sering melihat anak muda tersenyum di depan kamera ponselnya, namun tanpa sadar menahan tangis di balik layar. Dunia digital membuat semua tampak bahagia, tapi tidak semua yang tampak bersinar, sungguh bercahaya dari dalam. Banyak yang sibuk mengabadikan momen, tapi melupakan perjalanan jiwa.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian.”
(HR. Muslim)
Hadis ini mengingatkan bahwa di tengah dunia yang menilai dari tampilan, Allah justru menilai dari kedalaman. HP bagus mungkin bisa menarik perhatian manusia, tapi hati yang ikhlaslah yang menarik rahmat Allah. Banyak yang sibuk mempercantik feed media sosial, tapi lupa memperindah akhlak di hadapan Sang Pencipta.
Ketika Dunia Digital Menggerus Rasa
Teknologi sejatinya adalah alat, bukan tujuan. Namun sering kali, alat justru mengendalikan penggunanya. Kita menggulir layar lebih cepat dari zikir, kita mengingat notifikasi lebih sering daripada nama Allah. Dalam diam, jiwa pun terkikis — bukan oleh dosa besar, tapi oleh kelalaian kecil yang diulang terus-menerus.
Allah ﷻ mengingatkan dalam Al-Qur’an:
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (1) حَتَّىٰ زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (2)
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.”
(QS. At-Takātsur: 1–2)
Ayat ini bukan hanya menegur orang kaya yang berlomba harta, tapi juga menegur generasi yang berlomba eksistensi. “Siapa yang paling banyak like?” “Siapa yang paling estetik?” — pertanyaan yang dulu tak ada, kini menjadi tolok ukur harga diri. Padahal, kebahagiaan sejati tidak muncul dari scroll, melainkan dari soul yang bersyukur.
Pesan Kifāyatul Atqiyā’: Hati yang Hidup Tak Akan Lapar Dunia
Dalam Kifāyatul Atqiyā’ wa Minhājul Ashfiyā’, Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syathā ad-Dimyāthī menulis:
وَاعْلَمْ أَنَّ الْقَلْبَ إِذَا صَفَا مِنَ الْغَفْلَةِ، رَأَى الْحَقَّ بِغَيْرِ حِجَابٍ
“Ketahuilah, ketika hati telah bersih dari kelalaian, maka ia akan melihat kebenaran tanpa hijab (penghalang).”
Kalimat ini sederhana tapi sangat dalam. Kita sering merasa hidup gelap bukan karena dunia kekurangan cahaya, tapi karena hati tertutup kabut kelalaian. HP yang menyala terang bisa jadi tak berguna bila hati kita redup oleh lupa. Cahaya layar tak akan pernah menggantikan cahaya zikir.
Pesan ini mengingatkan bahwa “reset” batin tidak terjadi dengan restart gawai, melainkan dengan taubat dan tafakur. Hati yang tenang bukanlah milik orang yang tidak punya masalah, tapi milik orang yang dekat dengan Allah meski hidupnya sederhana.
Mengukur Diri: Apakah Aku Sudah Kosong?
Kekosongan hati sering datang diam-diam. Awalnya hanya ingin melihat notifikasi sebentar, lalu terjebak dalam arus tanpa ujung. Waktu berjalan, pikiran penuh perbandingan, dan hati mulai merasa “kurang.” Padahal yang kurang bukan harta, tapi rasa syukur.
Orang bijak berkata, “Hati yang sibuk membandingkan tak akan pernah sempat bersyukur.” Media sosial sering membuat kita merasa hidup orang lain lebih indah. Padahal, yang mereka tunjukkan hanya potongan terbaik dari hidupnya. Kita tidak melihat tangisan di balik senyuman, atau doa panjang di balik pencapaian.
Maka, sebelum iri, cobalah jeda. Tanyakan: “Apakah aku sedang mencari kebahagiaan, atau sedang kehilangan arah?” Karena banyak orang tampak “online”, tapi hatinya sebenarnya “offline” dari Allah.
Mengisi Kekosongan dengan Zikir dan Syukur
Allah ﷻ berfirman:
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”
(QS. Ar-Ra‘d: 28)
Zikir bukan hanya ritual, tapi terapi batin. Ketika kita merasa kosong meski punya segalanya, mungkin karena hati belum benar-benar terisi dengan makna. Punya HP bagus tapi jarang dipakai untuk kebaikan hanyalah kemewahan tanpa berkah.
Mulailah dengan hal kecil. Misalnya, setiap kali membuka ponsel, ucapkan Bismillah. Jadikan setiap sentuhan layar sebagai kesempatan bernilai. Gunakan media sosial untuk menebar inspirasi, bukan iri hati. Gunakan kamera untuk mengabadikan rasa syukur, bukan kesombongan. Karena Allah tidak menilai seberapa canggih alat kita, tapi seberapa bersih niat kita.
Teknologi Sebagai Cermin Jiwa
HP bukan musuh; ia adalah cermin. Ia memantulkan siapa diri kita ketika tak ada yang melihat. Apakah kita menggunakannya untuk mendekat kepada Allah, atau malah menjauh? Dalam dunia maya, setiap klik adalah pilihan moral. Setiap scroll bisa jadi pahala, atau dosa yang tak disadari.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ
“Termasuk tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.”
(HR. Tirmidzi)
Hadis ini adalah pedoman sederhana dalam dunia digital. Jika sebuah konten tidak membawa manfaat, tinggalkan. Jika komentar bisa menyakiti, tahan. Karena setiap jari yang bergerak bisa jadi saksi di hadapan Allah.
Membangun Hati yang Peka di Tengah Layar yang Terang
Syaikh Abu Bakar ad-Dimyāthī dalam Kifāyatul Atqiyā’ juga menerangkan:
وَإِذَا غَفَلَ الْقَلْبُ سَاعَةً، أَظْلَمَ بِنُورِ الإِيمَانِ
“Jika hati lalai sesaat saja, maka reduplah cahaya iman di dalamnya.”
Begitu tipis batas antara terang dan gelap dalam hati. Satu jam lalai bisa memadamkan nur iman yang kita rawat lama. Karena itu, menjaga hati bukan sekadar menjauhi maksiat besar, tapi juga menjaga fokus dari hal yang tidak bermanfaat. Dunia maya penuh warna, tapi tak semua pantas dilihat. Pilihlah yang menenangkan, bukan yang menyesakkan.
Hati yang peka akan cepat sadar bila ia mulai jauh dari Allah. Dan kesadaran itu adalah anugerah yang harus disyukuri — tanda bahwa hati belum mati.
Penutup: Menemukan Cahaya di Tengah Cahaya Layar
Kita boleh punya HP bagus, laptop cepat, dan koneksi tanpa batas. Tapi jangan sampai kehilangan koneksi dengan Allah. Karena tanpa zikir, semua teknologi hanyalah wadah kosong. Hati yang hidup akan memandang layar sebagai alat, bukan pelarian. Ia tahu kapan harus menatap, dan kapan harus menunduk untuk bersujud.
Di akhir hari, kebahagiaan tidak datang dari jumlah followers, tapi dari sejauh mana kita mengikuti jejak Nabi ﷺ. Hidup bukan tentang siapa yang paling update, tapi siapa yang paling dekat dengan Allah.
Mari kita renungi sejenak. Barangkali selama ini kita sibuk menyalakan layar, tapi lupa menyalakan hati. Padahal, hati yang bercahaya adalah satu-satunya perangkat yang tak pernah kehabisan daya.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasu Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
