SURAU.CO-Sayyid Qutb, yang menjadi ideolog dan salah seorang pemimpin Ikhwanul Muslimin setelah al-Banna terbunuh. Dia merasa bahwa penguasa ketika itu telah berbuat kejam dan aniaya. Kekecewaan politik Ikhwanul Muslimin mendorong Qutb dan pemimpin yang lain bersikap lebih agresif terhadap lawan-lawan politiknya. Setelah ia tertangkap dan mengalami penyiksaan dalam penjara, Qutb menyerang penguasa Mesir melalui tulisan-tulisannya. Ia menuduh siapa pun yang tidak mengikuti ideologi kerasnya sebagai murtad, kafir, dan halal darahnya.
Represi Nasser dan Eksodus Ikhwanul Muslimin ke Arab Saudi dan Eropa
Tulisan-tulisan Qutb yang bernada menghasut menyebabkan dia dieksekusi pada tahun 1966. Memang, sejak tahun 1954, Nasser menjebloskan banyak pemimpin Ikhwanul Muslimin selain Qutb ke penjara. Langkah represif penguasa Mesir ini membuat banyak tokoh dan anggota Ikhwanul Muslimin merasa tidak aman lagi tinggal di Mesir. Atas peristiwa itu, Arab Saudi menawarkan alternatif yang menarik. Di antara mereka yang melarikan diri ke Arab Saudi adalah Said Ramadan, yang termasuk salah seorang pendiri Rabithath al-‘Alam al-Islami. Said Ramadan—menantu Hasan al-Banna—kemudian pindah ke Jenewa dan membawa Ikhwanul Muslimin ke Eropa dengan dukungan dana Wahabi untuk menguasai umat Islam Eropa agar menjadi pengikut ideologi Wahabi-Ikhwanul Muslimin. Tariq Ramadan, putranya, merupakan tokoh intelektual terkenal di Eropa sekarang.
Aliansi Strategis Wahabi-Ikhwanul Muslimin
Pada tahun 1960-an, Arab Saudi mengundang para tokoh Ikhwanul Muslimin—termasuk di antaranya adalah adik kandung Sayyid Qutb, yaitu Muhammad Qutb—untuk menyelamatkan diri ke Saudi. Muhammad Qutb kemudian menjadi dosen di King Abdulaziz University, Jeddah, dan mengajar Osama bin Laden, di antara murid lainnya.
Sikap Saudi ini mencerminkan ketakutan penguasa Wahabi atas gerakan Pan-Arabisme Gamal Abdel Nasser yang berdasarkan sosialisme, dan jelas merupakan ancaman terhadap dominasi ideologis Wahabi-Saudi. Dengan mengundang Ikhwanul Muslimin, Saudi ingin mencapai dua hingga tiga tujuan sekaligus. Pertama, Ikhwanul Muslimin yang merupakan musuh Gamal Abdel Nasser bisa menjadi sekutu strategis untuk melawan Pan-Arabisme—Sosialisme Nasser. Kedua, para anggota Ikhwanul Muslimin yang terpelajar bisa membantu Saudi membangun dan memperkuat sistem penyebaran Wahabi ke negara lain di Timur Tengah dan akhirnya ke seluruh dunia (Wahabisasi global).
Pada dekade 60-an ini, perkawinan Wahabi-Ikhwanul Muslimin terjadi dan melahirkan keturunan gerakan garis keras yang banyak di seluruh dunia hingga dewasa ini. Keduanya berbagi fanatisme ideologis, ambisi kekuasaan sentralistik, orientasi internasional, dan formalisasi agama. Wahabi sendiri mempunyai dana besar—terutama setelah harga minyak melambung pada tahun 1973—namun kurang atau tidak terdidik, sedangkan Ikhwanul Muslimin cukup terdidik namun tidak memiliki dana memadai. Kelak terlihat, perkawinan ini memang sangat strategis, dan darinya lahir gerakan internasional dengan ideologi, sistem, dan dana yang kuat, serta terus berkembang dan meluaskan diri ke seluruh dunia hingga dewasa ini.
Lahirnya Gerakan Garis Keras dan Jaringan Teror Global
Akhir 1970-an dan awal 1980-an menciptakan suasana menegangkan bagi penguasa Saudi. Keberhasilan Revolusi Islam Iran pada tahun 1979, ditambah pemberontakan Juhayman al-Uteybi dan anak buahnya yang menduduki Masjidil Haram pada tahun yang sama, sudah cukup membuat penguasa Saudi sangat terancam. Pada dekade ini, Presiden Mesir, Anwar Sadat, terbunuh; dan Uni Soviet menguasai Afghanistan. Oleh karena itu, pada dekade 1980-an, proyek Wahabisasi global dengan dukungan dana (Saudi) dan sistem (Ikhwanul Muslimin) bergerak jauh lebih cepat. Mereka melaksanakan hal ini melalui yayasan-yayasan Wahabi, seperti Rabithath al-‘Alam al-Islami, al-Haramain, International Islamic Relief Organization (IIRO), dan banyak lainnya. Kelak al-Haramain ini menjadi terkenal saat PBB menyebutnya sebagai “terrorist-funding entity” yang membiayai aksi-aksi teror di banyak belahan dunia, termasuk Indonesia.
Perang Afghanistan melawan Uni Soviet memikat banyak anggota garis keras dari seluruh dunia. Bahkan memikat pendiri Laskar Jihad, Ja‘far ‘Umar Thalib, dan beberapa pelaku kampanye teror Jamaah Islamiyah. Aktor-aktor tersebut termasuk Hambali, Imam Samudra, dan Ali Ghufron. Bahkan, Jamaah Islamiyah—yang didirikan oleh mantan anggota Darul Islam, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir—memiliki kaitan erat dengan al-Qaedah melalui Hambali. Yang mana sebelum tertangkap, ia merupakan pengurus inti al-Qaedah.
Al-Qaedah: Keturunan Perkawinan Wahabi-Ikhwanul Muslimin
Secara struktural, para pengurus inti al-Qaedah beretnik Arab dan berasal dari Timur Tengah kecuali Hambali. Hambali adalah komandan militer Jamaah Islamiyah yang berjuang untuk melenyapkan NKRI dan menggantinya dengan khilafah internasional. Jamaah Islamiyah bertanggung jawab atas banyak peledakan bom di Indonesia. Misalnya pemboman hotel Marriott, Bursa Efek Jakarta (BEJ), Bandara Soekarno-Hatta, Bom Bali, pemboman di berbagai gereja. Termasuk pula usaha pembunuhan Duta Besar Filipina. Bahkan, bom di Masjid Istiqlal yang berskala kecil termasuk aksi JI sebagai usaha untuk menumbuhkan sentimen keagamaan bahwa ada serangan terhadap Islam Indonesia.
Al-Qaedah adalah keturunan lain dari perkawinan Wahabi-Ikhwanul Muslimin. Ini jelas terlihat dari kehadiran para Wahabi-Saudi yang dipimpin Osama bin Laden (murid Muhammad Qutb) dan Ayman al-Zawahiri bersama para pengikutnya. Al-Zawahiri, yang sudah menjadi anggota Ikhwanul Muslimin sejak berusia 14 tahun. Ideologinya sangat kuat terpengaruh oleh Sayyid Qutb, dan adalah pemimpin kedua al-Jihad—dikenal dengan nama Egyptian Islamic Jihad—yang bertanggung jawab atas terbunuhnya Presiden Mesir, Anwar Sadat, pada tahun 1981.(St.Diyar)
Referensi:KH. Abdurrahman Wahid(Ed), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, 2009
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
