SURAU.CO-Hasan al-Banna mendirikan Ikhwanul Muslimin di Mesir pada tahun 1928. Pada dekade ini, Inggris menjajah Mesir dan Palestina, Prancis menjajah Maghreb dan Syria, sedangkan Italia menjajah Libya. Secara ideologis, para penjajah Timur Tengah ini menganut beberapa aliran. Inggris menganut liberalisme, sementara Italia yang telah Mussolini kuasai menganut fasisme. Fasisme (Fascism) berasal dari facses (Latin) atau fascio (Italia), yang merupakan simbol otoritas Roma, dan berarti batang-batang kecil yang terikat dalam satu-kesatuan. Oleh karena itu, batang-batang tersebut sulit dihancurkan atau dipatahkan. Dengan kata lain, fasisme adalah simbol kekuatan melalui persatuan.
Kelahiran dan Akar Ideologis
Adapun tujuan Hasan al-Banna mendirikan Ikhwanul Muslimin, antara lain, adalah untuk melawan penjajah, mengatasi kemunduran peradaban Islam, dan membawa umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang murni. Sayangnya, al-Banna dan para pengikutnya tampaknya meyakini bahwa ideologi dan sistem gerakan fasisme Italia-Mussolini dan komunisme-Uni Soviet lebih berguna dalam mencapai tujuannya, daripada liberalisme yang menjunjung tinggi kebebasan setiap orang untuk mencari kebenaran dan mengamalkan ajaran agamanya. Di samping itu, al-Banna juga mengenal gagasan Wahabi. Sejak awal sekali, pola pikir totalitarianisme-sentralistik fasisme, komunisme, dan Wahabisme sudah menjiwai DNA Ikhwanul Muslimin.
Secara faktual, kita bisa mengatakan bahwa Ikhwanul Muslimin adalah anak kandung ideologi Barat yang sekaligus memusuhi induknya. Dari fasisme-Mussolini Italia, Ikhwanul Muslimin mengadopsi sistem totalitarianisme dan negara sentralistik, namun mereka menolak nasionalisme. Dari komunisme-Uni Soviet, mereka mengadopsi totalitarianisme, sistem penyusupan dan perekrutan anggota (cell system), strategi gerakan, dan internasionalisme, namun mereka menolak ateisme. Berdasarkan fakta ini, beberapa ahli menyebut Ikhwanul Muslimin dan garis keras lainnya sebagai Islamofasisme, yakni sebuah gerakan politik yang bertujuan mewujudkan kekuasaan mutlak berdasarkan pemahaman mereka atas al-Qur’an.
Ikhwanul Muslimin sebagai Tarekat Berorientasi Politik
Dalam membangun gerakan, Ikhwanul Muslimin menggunakan jaringan tarekat yang saat itu sangat banyak dan subur di Mesir. Bahkan, kita bisa mengatakan bahwa Ikhwanul Muslimin sendiri pada masa transformatifnya adalah sebuah tarekat, namun dengan tujuan politik, bukan spiritual sebagaimana layaknya tarekat tasawuf. Maka, dalam waktu yang relatif cepat, Ikhwanul Muslimin berhasil merekrut ratusan ribu anggota. Memang, salah satu motif awal Ikhwanul Muslimin adalah untuk melawan penjajah Inggris di Mesir dan tidak bersikap keras terhadap Muslim yang lain. Namun, karena watak dasar gerakan ini bersifat politis yang mereka kemas dengan busana agama, gairah politik sudah melekat erat dalam DNA gerakan ini. Motif politik dan keinginan mereka merebut kekuasaan dengan semangat fasisme-komunisme menyebabkan Ikhwanul Muslimin sering terlibat konflik dengan penguasa.
Terbunuhnya Hasan al-Banna
Berakhirnya penjajahan Inggris ternyata tidak memberikan peluang emas bagi Ikhwanul Muslimin untuk mewujudkan cita-cita politiknya. Meskipun mereka merasa punya andil dalam usaha mengakhiri penjajahan, kegagalan politik selanjutnya membuat Ikhwanul Muslimin menjadi keras dan fanatik. Hal ini mempertajam konflik dengan pemerintah ketika itu—termasuk pembunuhan Perdana Menteri Mesir, Mahmoud an-Nukrashi Pasha, pada Desember 1948—dan menyebabkan pemerintah Mesir membunuh pendiri Ikhwanul Muslimin, Hasan al-Banna.
Terbunuhnya Hasan al-Banna tidak mematikan Ikhwanul Muslimin, tetapi justru membuatnya semakin keras dan fanatik. Kegagalan politik Ikhwanul Muslimin ini bertemu dengan kekecewaan para opsir muda yang tidak sejalan dengan Raja Faruk ketika itu. Ikhwanul Muslimin memanfaatkan peluang politik ini dengan mendukung gerakan para opsir yang berniat melakukan pemberontakan. Meskipun demikian, keberhasilan pemberontakan para opsir (Free Officers Revolution) kembali terbukti tidak memberikan peluang bagi Ikhwanul Muslimin untuk meraih kekuasaan politik di Mesir, karena ideologi Ikhwanul Muslimin maupun gerakan para opsir memang berseberangan sejak awal. Gamal Abdel Nasser, salah seorang opsir yang terlibat dalam pemberontakan pada tahun 1954 dan kemudian menjadi Presiden Mesir pada tahun 1956, tidak mau berbagi kekuasaan dengan Ikhwanul Muslimin dan bergerak dengan gagasannya sendiri, Pan-Arabisme berdasarkan sosialisme. Ikhwanul Muslimin merasa kecewa dan dikhianati.
Sayyid Qutb: Ideolog Penjara dan Ekspansi Gagasan Takfir
Sayyid Qutb, yang menjadi ideolog dan salah seorang pemimpin Ikhwanul Muslimin setelah al-Banna terbunuh. Ia merasa penguasa ketika itu telah berbuat kejam dan aniaya. Kekecewaan politik Ikhwanul Muslimin mendorong Qutb dan pemimpin yang lain bersikap lebih agresif terhadap lawan-lawan politiknya. Setelah ditangkap dan disiksa di penjara, Qutb menyerang penguasa Mesir melalui tulisan-tulisannya, dan menuduh siapa pun yang tidak mengikuti ideologi kerasnya sebagai murtad, kafir, dan halal darahnya. Karya-karyanya mengandung gagasan-gagasan seperti takfir, fir‘aun, serta jahiliyah modern, yang ia gunakan untuk mengkategorikan siapa pun yang tidak sejalan dengan ideologinya. Di samping pengaruh gerakan Hizbut Tahrir yang ia peroleh dari pertemuannya dengan tokoh Hizbut Tahrir selama di penjara, semua ini jelas merupakan pengaruh Wahabisme. Selain itu, gagasan-gagasan seperti revolutionary-vanguard dan international movements juga muncul dalam karya-karya Qutb, yang jelas merupakan pengaruh komunisme yang masih kuat pada masa itu.
Warisan dan Dampak Ideologi Keras
Dalam tulisan-tulisan Qutb, kita jelas melihat bahwa para pengikut ideologinya harus memperjuangkan kekuasaan proletariat, supremasi ummah/syari‘ah, serta mewujudkan negara Islam. Kemudian akhirnya khilafah yang sentralistik melalui revolutionary-vanguard, yaitu para pemimpin garis keras pengikut ideologi Qutb. Gagasan-gagasan Qutb ini mengilhami para pembacanya dari kalangan garis keras melakukan aksi-aksi kekerasan. Hal ini juga mengancam keselamatan jiwa para pejabat negara dan rakyat, serta mengacaukan situasi politik. Tidak hanya di Mesir ketika itu, tetapi juga di seluruh dunia hingga dewasa ini. Secara ringkas, kita bisa mengatakan bahwa tulisan-tulisan Qutb mengilhami para pengikut ideologinya menggunakan kekerasan untuk meraih kekuasaan.(St.Diyar)
Referensi:KH. Abdurrahman Wahid(Ed), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, 2009
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
