SURAU.CO. Hukum negara dan agama Islam tidak mengizinkan pernikahan beda agama karena bertentangan dengan aturan, sehingga tidak sah. Menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan hukum positif, negara tidak bisa mencatatkan pernikahan beda agama. Islam memandang pernikahan sebagai sarana mencapai ketenangan (sakinah), kasih sayang, dan keturunan yang saleh. Beberapa orang menganggap perbedaan agama dapat menghalangi pencapaian tujuan ini. Salah satu tujuan pernikahan adalah kufu` atau kesetaraan, yang mencakup kesamaan dalam akidah atau keyakinan. Banyak orang menganggap pernikahan beda agama tidak memenuhi kriteria kesetaraan ini.
Terdapat kekhawatiran bahwa pernikahan beda agama dapat menyulitkan dalam mendidik anak sesuai dengan ajaran Islam dan berpotensi memurtadkan anak tersebut. Dengan demikian, pernikahan beda agama dapat menciptakan berbagai masalah hukum, termasuk persoalan hak waris dan hak perwalian anak, sehingga tidak memungkinkan penerapan hak-hak tersebut secara adil dalam keluarga.
Meskipun sebagian ulama memperbolehkan pernikahan antara pria muslim dan wanita Ahli Kitab berdasarkan tafsir surat Al-Maidah ayat 5, tetapi pandangan ini sering menuai perdebatan dan tidak diterima secara umum. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memutuskan bahwa pernikahan beda agama adalah haram dan tidak sah dalam Munas VII tahun 2005. Di Indonesia, Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 menetapkan bahwa pernikahan sah jika pelaksanaannya sesuai dengan hukum agama masing-masing.
Secara agama (Islam)
Pertama, Haram dan tidak sah:
Ajaran Islam, berdasarkan Al-Qur’an, melarang pernikahan antara pria Muslim dengan wanita yang bukan Muslim, kecuali jika wanita tersebut adalah ahli kitab (Yahudi atau Nasrani) dan harus mengikuti syarat tertentu. Namun, fatwa MUI secara tegas mengharamkan pernikahan beda agama, termasuk dengan ahli kitab.
Kedua, Pernikahan dengan wanita non-Muslim:
Dilarang keras. Bahkan jika hanya seorang wanita Muslim yang menikahi pria non-Muslim, hal itu dilarang.
Ketiga, Pernikahan dengan ahli kitab:
Menurut fatwa MUI, pernikahan beda agama (termasuk dengan ahli kitab) dilarang dan tidak sah.
Secara hukum negara (Indonesia)
- UU Perkawinan:
Pernikahan beda agama dianggap tidak sah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
- Kompilasi Hukum Islam (KHI):
Menegaskan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam.
- Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA):
Menegaskan bahwa pernikahan beda agama dilarang untuk dicatatkan di Indonesia.
Konsekuensi
- Negara tidak mengakui :
Pasangan beda agama tidak bisa mencatatkan pernikahannya secara resmi di Indonesia, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum negara seperti akta nikah.
- Status perkawinan tidak sah:
Oleh karena itu, pernikahan tidak sah dari sisi hukum masing-masing agama, dan juga tidak sah menurut undang-undang.
Menurut pandangan mayoritas ulama Islam, pernikahan beda agama dilarang dan tidak sah, terutama jika perempuan muslimah menikah dengan pria non-muslim. Solusi utamanya adalah salah satu pihak masuk Islam atau mengkonversi agama untuk menyatukan keyakinan, yang bertujuan menjaga akidah dan keharmonisan rumah tangga serta anak-anak. Ada perbedaan pendapat ulama mengenai laki-laki muslim yang menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), di mana sebagian membolehkan dengan syarat tertentu sementara yang lain lebih ketat.
Islam menganjurkan opsi solusi
- Konversi Agama:
Sehubungan dengan hal ini, solusi yang paling utama adalah membangun fondasi komunikasi yang kuat dan sikap saling pengertian di antara kedua belah pihak, khususnya dalam pernikahan beda agama. Hal ini bertujuan agar hubungan dapat berjalan dengan selaras, menjaga keharmonisan dalam perbedaan keyakinan, dan mempermudah penentuan keputusan bersama terkait keluarga.
- Menyelesaikan dengan bijak:
Jika pasangan memutuskan untuk tidak bersatu dalam pernikahan, mereka harus mempertimbangkan dengan matang dan mengambil keputusan terbaik demi kebahagiaan dunia dan akhirat, tanpa memaksakan kehendak.
- Konsultasi dengan ahli agama:
Oleh karena itu, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam dan menghindari salah langkah, Anda sebaiknya berkonsultasi dengan tokoh atau ahli agama.
Perbedaan pendapat ulama
- Laki-laki Muslim dan wanita Ahli Kitab:
Mayoritas ulama mengizinkan laki-laki muslim untuk menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) dengan persyaratan tertentu, yang tertulis dalam Al-Qur’an Surah Al-Maidah ayat 5.
- Perempuan Muslimah dan laki-laki non-Muslim:
Oleh karena itu, mayoritas ulama melarang dan tidak menganggap sah pernikahan antara perempuan muslimah dan laki-laki non-muslim.
Catatan penting
- Kita tidak boleh memaksakan kehendak:
Oleh karena itu, kami menolak segala bentuk paksaan kepada salah satu pihak untuk masuk Islam demi pernikahan, sebab pernikahan yang tidak sah adalah akibat dari paksaan tersebut.
- Pertimbangan akidah dan keserasian:
Pernikahan beda agama berpotensi menimbulkan konflik dalam keluarga dan kesulitan bagi anak-anak dalam menentukan keyakinan mereka.
- Kekhawatiran orang tua:
Orang tua yang berpegang teguh pada agamanya akan khawatir jika anaknya menikah dengan seseorang yang berbeda agama, karena adanya potensi perbedaan keyakinan dalam keluarga dan keturunan.
(mengutip dari berbagai sumber)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
