Sosok
Beranda » Berita » Sosok Shofiyyah Binti Huyay; Bukti Cinta dan Kelembutan yang Mengubur Kebencian Lama

Sosok Shofiyyah Binti Huyay; Bukti Cinta dan Kelembutan yang Mengubur Kebencian Lama

Sosok Shofiyyah Binti Huyay
Sosok Shofiyyah Binti Huyay. Salah satu istri beliau yang mulia dan termasuk dalam golongan Ummahatul Mu’minin. Gambar Ilustrasi : SURAU.CO

SURAU.CO – Dalam sejarah Islam yang panjang dan agung, terdapat kisah-kisah menyentuh yang bukan hanya mengajarkan hukum dan moral, tetapi juga menggambarkan betapa dalamnya makna cinta, kasih sayang, dan pengampunan. Salah satu kisah yang sarat dengan pelajaran kemanusiaan dan keteladanan adalah kisah Shofiyyah binti Huyay, seorang wanita yang berasal dari keluarga musuh besar Rasulullah , namun akhirnya menjadi salah satu istri beliau yang mulia dan termasuk dalam golongan Ummahatul Mu’minin (Ibu kaum mukminin).

Kisah hidup Shofiyyah bukanlah kisah biasa. Ia adalah perjalanan dari kebencian menuju cinta, dari kegelapan menuju cahaya, dan dari permusuhan menuju kasih sayang. Kehidupannya menjadi bukti nyata bahwa kelembutan dan cinta yang tulus mampu menghapus luka lama dan menumbuhkan keimanan yang murni dalam hati.

Asal-Usul dan Latar Belakang

Nama lengkapnya adalah Ṣafiyyah binti Ḥuyay bin Akhthab bin Sa’yah, dari Bani Nadhir, salah satu suku Yahudi besar yang bermukim di Madinah. Ayahnya, Huyay bin Akhthab, adalah pemimpin Bani Nadhir yang sangat berpengaruh, namun juga termasuk orang yang paling membenci Rasulullah .

Kebencian ayah Shofiyyah terhadap Nabi bukan tanpa sebab. Ia merasa terancam oleh ajaran Islam yang membawa persatuan dan keadilan, sedangkan kekuasaan Bani Nadhir selama ini bertumpu pada perpecahan dan kepentingan politik. Sejak awal, Huyay menolak mengakui kerasulan Muhammad meskipun ia mengetahui dari kitab Taurat bahwa Nabi terakhir akan muncul di tanah Arab.

Dari pihak ibu, Shofiyyah adalah putri Barrah binti Samu’el, seorang wanita dari keluarga terhormat kalangan Yahudi. Dengan demikian, Shofiyyah tumbuh dalam lingkungan bangsawan, terdidik dengan budaya dan nilai-nilai keagamaan Bani Israil. Ia terkenal sebagai wanita yang cerdas, berakhlak lembut, dan memiliki kecantikan yang menawan.

KH. Abdullah Umar Al-Hafidz: Sosok Ulama Penjaga Al-Qur’an dari Semarang

Perang Khaibar dan Titik Balik Kehidupan

Kehidupan Shofiyyah berubah drastis ketika terjadi Perang Khaibar pada tahun ke-7 Hijriyah. Perang ini merupakan bagian dari perjuangan kaum Muslimin melawan benteng-benteng Yahudi  pada wilayah Khaibar yang masih menyimpan permusuhan mendalam terhadap Islam.

Dalam perang tersebut, ayah Shofiyyah, Huyay bin Akhthab, terbunuh karena pengkhianatan terhadap perjanjian damai sebelumnya. Suaminya saat itu, Kinana bin al-Rabi’, juga tewas dalam pertempuran. Setelah perang usai, sebagian wanita Khaibar menjadi tawanan perang, termasuk Shofiyyah.

Sahabat Rasulullah yang bernama Dihyah al-Kalbi kemudian meminta seorang tawanan wanita kepada Nabi , dan Rasulullah memberikan Shofiyyah kepadanya. Namun ketika para sahabat mengetahui bahwa ia adalah keturunan pemimpin Bani Nadhir dan masih muda serta mulia kedudukannya, mereka mengusulkan agar Rasulullah sendiri yang menikahinya.

Rasulullah kemudian membebaskan Shofiyyah dari status tawanan dan menjadikan pembebasan itu sebagai mahar pernikahan. Dengan pernikahan ini, beliau bukan hanya memuliakan Shofiyyah, tetapi juga menutup luka panjang antara kaum Muslimin dan keturunan Bani Israil dengan kasih dan kelembutan, bukan dengan dendam dan kekerasan.

Cinta dan Kelembutan Nabi Muhammad SAW

Pernikahan Nabi dengan Shofiyyah menunjukkan keteladanan luar biasa dalam hal kemanusiaan. Rasulullah tidak melihat latar belakang Shofiyyah sebagai anak musuh besar Islam, melainkan melihat keikhlasan hatinya dan potensi keimanannya.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Ketika Rasulullah dan Shofiyyah baru menikah, beliau mendapati wajahnya tampak sedih. Nabi lalu bertanya, “Apakah engkau masih sedih atas kematian ayahmu?” Shofiyyah menjawab dengan jujur, “Wahai Rasulullah, tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang aku harapkan menjadi suamiku selain engkau.” Mendengar itu, Rasulullah tersenyum penuh kasih.

Rasulullah memperlakukan Shofiyyah dengan penuh kelembutan. Dalam suatu perjalanan, unta yang ditunggangi Shofiyyah berjalan lambat. Nabi berhenti dan menundukkan lututnya agar Shofiyyah dapat naik dengan mudah. Tindakan sederhana itu menunjukkan betapa besar rasa hormat dan kasih beliau terhadap istrinya, meskipun Shofiyyah sebelumnya adalah tawanan perang.

Mengubur Kebencian Lama

Meski telah menjadi istri Rasulullah , Shofiyyah sempat menghadapi ujian dari sebagian istri Nabi lainnya yang kadang mengingatkan asal-usulnya sebagai keturunan Yahudi. Suatu ketika, ia menangis karena merasa tersinggung oleh ucapan yang menyakitkan. Rasulullah menenangkannya dan berkata:

“Mengapa engkau menangis? Katakan kepada mereka, ‘Ayahku adalah Nabi (Harun), pamanku juga Nabi (Musa), dan suamiku adalah Nabi (Muhammad ).’ Maka apa lagi yang hendak mereka banggakan?”
(HR. al-Tirmidzi, no. 3894)

Dengan kalimat lembut itu, Nabi bukan hanya menghibur Shofiyyah, tetapi juga menanamkan kebanggaan positif dalam dirinya. Shofiyyah pun memaafkan mereka dan tidak menyimpan dendam. Ia benar-benar meneladani sifat Rasulullah yang selalu membalas keburukan dengan kebaikan.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Inilah bukti nyata bagaimana cinta dan kelembutan dapat mengubur kebencian lama. Shofiyyah yang dahulu berasal dari keluarga yang memusuhi Islam, kini menjadi salah satu pendukung paling setia risalah Nabi. Ia hidup penuh ketenangan, beriman dengan tulus, dan berbakti kepada Rasulullah dengan cinta yang suci.

Sifat dan Kepribadian Shofiyyah

Shofiyyah terkenal sebagai wanita yang cerdas, berakhlak halus, dan dermawan. Ia tidak pernah sombong meski memiliki garis keturunan nabi-nabi Bani Israil. Setelah masuk Islam, ia hidup dengan kesederhanaan dan ketakwaan.

Alkisah, ia sering menghabiskan waktu malam untuk beribadah dan berdoa. Ia juga gemar bersedekah, terutama kepada fakir miskin dan anak yatim di Madinah. Bahkan setelah Rasulullah wafat, ia tetap menjaga kehormatan dan tidak pernah menikah lagi, sebagai bentuk kesetiaan kepada beliau.

Kehidupan Setelah Wafatnya Rasulullah ﷺ

Setelah Rasulullah wafat, Shofiyyah tetap tinggal di Madinah. Ia menjadi sosok yang dihormati oleh para sahabat dan tabiin. Dalam banyak riwayat, menyebutkan bahwa Shofiyyah adalah wanita yang lembut tutur katanya dan senantiasa berusaha mendamaikan orang yang berselisih.

Ia wafat pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, sekitar tahun 50 Hijriyah, dan dimakamkan di Baqi’ al-Gharqad, Madinah, bersama para Ummahatul Mu’minin lainnya.

Nilai hikmah berharga yang dapat kita petik dari kisah Shofiyyah binti Huyay adalah :

  1. Islam memuliakan manusia tanpa memandang asal-usulnya.
    Dari seorang tawanan perang, Shofiyyah menjadi ibu bagi kaum mukminin. Ini menunjukkan bahwa kemuliaan dalam Islam ditentukan oleh takwa, bukan keturunan atau status sosial.
  2. Cinta dan kelembutan adalah senjata paling ampuh dalam dakwah.
    Rasulullah
    menaklukkan hati Shofiyyah bukan dengan pedang, tetapi dengan kasih sayang dan penghargaan.
  3. Menghapus dendam dengan kasih adalah bentuk keimanan yang tinggi.
    Shofiyyah tidak menyimpan dendam terhadap umat Islam yang dulu berperang dengan kaumnya. Ia justru mencintai Islam dan hidup damai bersama kaum Muslimin.
  4. Kesabaran dan keikhlasan akan mengangkat derajat seseorang.
    Shofiyyah sabar menghadapi ujian dan hinaan, namun Allah mengangkat derajatnya hingga namanya dikenang sepanjang zaman.
  5. Perempuan yang beriman adalah pelita kasih dalam kehidupan.
    Shofiyyah menunjukkan bahwa kelembutan hati seorang wanita bisa menjadi jembatan menuju perdamaian dan keimanan yang sejati.

Penutup

Kisah Shofiyyah binti Huyai adalah kisah cinta yang menembus batas kebencian, kisah kelembutan yang menenangkan jiwa, dan kisah pengampunan yang menaklukkan luka lama. Ia adalah simbol betapa Islam tidak pernah datang untuk menindas, tetapi untuk memuliakan.

Melalui kelembutan Rasulullah , hati seorang wanita yang pernah menjadi bagian dari keluarga musuh Islam berubah menjadi hati yang penuh iman dan cinta kepada Allah. Shofiyyah bukan hanya menjadi istri Nabi, tetapi juga saksi hidup bahwa kasih sayang sejati mampu menghapus luka dan menumbuhkan cahaya baru dalam kegelapan masa lalu.

Semoga kisahnya menjadi pelajaran bagi kita semua — bahwa dalam setiap hubungan, baik antarindividu maupun antarumat, cinta, kelembutan, dan pengampunan adalah kunci yang mengubur kebencian lama dan menumbuhkan kedamaian yang abadi.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement