SURAU.CO – Setiap ibadah dalam Islam mengandung makna yang dalam dan tujuan yang luhur. Tidak ada satu pun ibadah yang diperintahkan Allah SWT kecuali memiliki hikmah yang besar bagi pembentukan karakter dan spiritualitas manusia. Demikian pula dengan ibadah haji dan umrah, dua ibadah yang tidak hanya merupakan rukun Islam kelima, tetapi juga sarana pembinaan ruhani menuju tingkat keimanan yang lebih tinggi.
Salah satu nilai spiritual yang dapat tumbuh dan berkembang dari pelaksanaan haji dan umrah adalah sikap zuhud. Zuhud bukan berarti menjauhi dunia secara total, melainkan menempatkan dunia pada posisi yang semestinya, dunia dalam tangan, bukan dalam hati. Dalam konteks ibadah haji dan umrah, adalah ajakan seseorang untuk menanggalkan segala bentuk kelekatan terhadap harta, jabatan, dan status sosial, agar hati hanya tertuju kepada Allah SWT.
Makna Zuhud dalam Pandangan Islam
Secara etimologis, zuhud berasal dari kata zahida, yang berarti meninggalkan atau tidak menyukai sesuatu. Dalam konteks ajaran Islam, zuhud berarti meninggalkan ketergantungan hati terhadap dunia demi mengharap keridaan Allah SWT. Imam Ahmad bin Hanbal menjelaskan, “Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia seluruhnya, tetapi lebih kepada tidak menjadikan dunia sebagai tujuan utama.”
Sementara Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan bahwa zuhud adalah “meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi akhirat.” Artinya, seorang yang zuhud tetap bekerja, berusaha, dan memiliki harta, namun ia tidak diperbudak oleh semua itu. Dunia hanya ia jadikan sebagai sarana untuk menuju kebahagiaan akhirat.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
(QS. Al-Hadid [57]: 23)
Ayat ini menunjukkan keseimbangan hati seorang mukmin yang zuhud — tidak larut dalam kehilangan duniawi, dan tidak sombong ketika mendapatkannya. Ibadah haji dan umrah merupakan ladang subur untuk menanam dan menumbuhkan sifat ini.
Ibadah Haji dan Umrah sebagai Sekolah Kehidupan
Haji dan umrah bukan sekadar perjalanan spiritual menuju Tanah Suci, melainkan juga madrasah ruhani yang mendidik hati untuk bersih dari kesombongan dan keterikatan duniawi. Ketika seseorang memutuskan untuk berangkat haji atau umrah, ia seolah berkata dalam hatinya, “Aku memenuhi panggilan-Mu, ya Allah. Aku datang kepada-Mu hanya sebagai hamba.”
Perjalanan ini dimulai dengan meninggalkan rumah, keluarga, pekerjaan, dan kenyamanan duniawi. Semua itu adalah bentuk latihan melepaskan ketergantungan terhadap dunia. Dalam setiap tahapannya — dari mengenakan ihram hingga thawaf, sa’i, dan wukuf di Arafah — terdapat simbol-simbol yang mengajarkan nilai zuhud.
Ihram: Simbol Kesederhanaan dan Kesetaraan
Ketika seorang jamaah mengenakan pakaian ihram, ia meninggalkan seluruh atribut keduniawian: pakaian indah, perhiasan, dan segala bentuk kemewahan. Semua jamaah, dari berbagai bangsa dan status sosial, tampil sama di hadapan Allah. Inilah momentum yang sangat kuat untuk menumbuhkan sikap zuhud — menyadari bahwa kemuliaan bukan diukur dari harta dan jabatan, tetapi dari ketakwaan.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian.”
(HR. Muslim)
Dengan berpakaian ihram, manusia diingatkan bahwa kelak di hadapan Allah di hari kiamat, semua akan datang tanpa membawa apa pun kecuali amal perbuatannya. Kesadaran inilah yang menjadi akar tumbuhnya zuhud.
Thawaf dan Sa’i: Keteguhan Hati dalam Mencari Ridha Allah
Ketika mengelilingi Ka’bah tujuh kali (thawaf), seorang hamba diajak untuk menjadikan Allah sebagai pusat hidupnya. Setiap langkah adalah simbol penyerahan diri total kepada-Nya. Dalam kehidupan dunia, banyak hal dapat memalingkan hati manusia — harta, kekuasaan, cinta dunia — namun thawaf mengingatkan bahwa pusat kehidupan hanya satu: Allah semata.
Sementara itu, sa’i antara bukit Shafa dan Marwah mengandung pelajaran keteguhan dan tawakal, sebagaimana yang dilakukan oleh Siti Hajar dalam mencari air untuk anaknya, Nabi Ismail AS. Dalam kondisi penuh kehausan dan keletihan, beliau tetap berlari dengan penuh keyakinan kepada Allah. Dari kisah inilah seorang muslim belajar bahwa zuhud bukan berarti pasif dan malas, tetapi berusaha sekuat tenaga tanpa menggantungkan hati pada hasil duniawi.
Wukuf di Arafah: Kesadaran akan Kefanaan Dunia
Wukuf di Arafah merupakan puncak ibadah haji dan momentum introspeksi terbesar. Jutaan manusia berkumpul di satu tempat, tanpa perbedaan pangkat dan kedudukan. Semua menengadahkan tangan, memohon ampun, dan mengakui kelemahan di hadapan Sang Pencipta.
Pada momen inilah hati manusia tersentuh oleh kesadaran yang mendalam: bahwa dunia fana dan semua yang kita miliki hanyalah titipan. Inilah inti dari zuhud, yaitu ketika hati benar-benar tunduk kepada Allah dan melepaskan segala bentuk kesombongan duniawi.
Rasulullah SAW bersabda:
“Haji yang mabrur tidak ada balasan lain selain surga.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Haji yang mabrur adalah haji yang membawa perubahan. Salah satu tandanya adalah munculnya sikap zuhud dan rendah hati setelah pulang ke tanah air. Orang yang hatinya tersentuh oleh pengalaman Arafah tidak akan lagi menjadi budak cinta dunia.
Melempar Jumrah: Melawan Nafsu Duniawi
Prosesi melempar jumrah mengandung simbol perlawanan terhadap setan dan hawa nafsu. Dalam kehidupan dunia, setan menggoda manusia untuk mencintai dunia berlebihan, mengejar harta tanpa batas, dan melupakan akhirat. Ketika jamaah melempar jumrah, sejatinya ia sedang melempar sifat tamak, riya, sombong, dan cinta dunia yang bersarang dalam dirinya.
Inilah latihan spiritual untuk menumbuhkan sikap zuhud. Zuhud tidak tumbuh tanpa perjuangan; Kita harus melatihnya dengan menolak godaan dunia dan menundukkan hawa nafsu.
Tawaf Wada’: Perpisahan dengan Dunia yang Fana
Tawaf wada’ adalah penutup dari ibadah haji dan umrah. Jamaah berkeliling Ka’bah untuk terakhir kalinya, memohon agar Allah SWT menerima amal ibadahnya dan berharap dapat kembali lagi suatu hari nanti. Namun lebih dari itu, tawaf wada’ adalah simbol perpisahan dengan dunia — seolah jamaah berkata, “Aku telah belajar banyak, kini saatnya aku kembali membawa hati yang baru.”
Seorang yang benar-benar memahami makna ini akan pulang ke tanah air dengan hati yang bersih, hidup lebih sederhana, tidak lagi menjadi budak ambisi dunia, dan menjadikan akhirat sebagai orientasi utama hidupnya. Itulah ciri orang yang zuhud sejati.
Buah Zuhud Setelah Haji dan Umrah
Haji dan umrah bukanlah akhir dari perjalanan spiritual, tetapi awal dari kehidupan baru yang lebih dekat kepada Allah. Sikap zuhud yang tumbuh dari ibadah ini akan memancarkan berbagai kebaikan:
- Ketenangan hati.
Orang yang zuhud tidak mudah resah oleh dunia. Ia tahu bahwa semua yang ada di dunia hanyalah sementara. - Kedermawanan.
Zuhud tidak menjadikan seseorang pelit, justru semakin gemar bersedekah karena hatinya tidak melekat pada harta. - Kehidupan yang sederhana.
Orang zuhud tidak mengejar kemewahan, tetapi fokus pada keberkahan hidup. - Keteguhan dalam beribadah.
Karena hatinya tidak penuh dengan hal duniawi, ia mudah fokus kepada Allah dan ikhlas dalam setiap amal.
Penutup
Zuhud adalah salah satu buah tertinggi dari pohon ibadah, dan haji serta umrah adalah ladang terbaik untuk menumbuhkannya. Melalui ihram, thawaf, sa’i, wukuf, dan seluruh rangkaian ibadah, seorang muslim terlatih untuk menyederhanakan hidup, membersihkan hati, dan melepaskan diri dari belenggu cinta dunia.
Namun, zuhud tidak berarti meninggalkan dunia, melainkan mengelola dunia dengan hati yang tertambat pada akhirat. Seseorang yang telah berhaji dan berumrah dengan benar seharusnya pulang dengan jiwa yang lebih tenang, lebih rendah hati, lebih peduli kepada sesama, dan lebih fokus pada amal akhirat.
Haji dan umrah sejati bukan hanya perjalanan ke Tanah Suci, tetapi perjalanan menuju kesucian hati. Dan ketika sikap zuhud telah tumbuh di dalam jiwa, itulah tanda bahwa ibadah tersebut benar-benar telah membuahkan hasil.
“Dunia hanyalah tempat singgah sementara. Zuhud menjadikan kita pengembara yang bijak, yang tahu bahwa tujuan sejatinya adalah perjumpaan dengan Allah di akhirat.”
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
