Surau.co. Musik menurut Al-Ghazali – Musik dan nyanyian adalah bagian dari denyut kehidupan manusia. Dari suara hujan yang menimpa genting, hingga lantunan merdu seorang penyanyi di sudut jalan, keduanya menyapa sisi terdalam dari jiwa. Namun, dalam sejarah pemikiran Islam, musik pernah menjadi topik yang kontroversial. Di sinilah Imam al-Ghazālī, melalui Iḥyā’ ‘Ulum ad-Dīn, menawarkan pandangan yang jernih dan penuh hikmah tentang bagaimana seni, khususnya musik dan nyanyian, seharusnya dipahami.
Musik menurut Al-Ghazali menjadi penting untuk dibahas karena pemikiran beliau mampu menjembatani antara syariat dan keindahan fitrah manusia. Ia tidak menolak seni, melainkan menimbangnya dari sudut niat dan pengaruh terhadap hati.
Musik dalam Pandangan Spiritual Al-Ghazālī
Dalam kitab Iḥyā’ ‘Ulum ad-Dīn, Al-Ghazālī tidak serta-merta mengharamkan musik dan nyanyian. Ia mengakui bahwa suara indah dapat menjadi wasilah menuju kebaikan, jika hati yang mendengarkannya bersih dan niatnya lurus. Beliau menulis:
قال الغزالي:
“الصوت الحسن يزيد القلب طهراً، كما يزيد الماء الطيب الزرع نماءً.”
“Suara yang indah menambah kebeningan hati, sebagaimana air yang baik menyuburkan tanaman.”
— (Iḥyā’ ‘Ulum ad-Dīn, Kitāb al-Samā‘ wa al-Wajd_)
Bagi Al-Ghazālī, musik bukan sekadar hiburan; ia adalah cermin jiwa. Musik dapat mengangkat spiritualitas seseorang, atau justru menjerumuskannya, tergantung siapa pendengarnya dan untuk apa musik itu digunakan. Dalam konteks ini, Musik menurut Al-Ghazali bukanlah haram atau halal secara mutlak, melainkan bergantung pada niat dan dampaknya terhadap hati.
Seni dan Fitrah Manusia: Jalan Menuju Dzikir
Al-Ghazālī memahami seni sebagai fitrah alami manusia untuk mencari keindahan. Keindahan sendiri merupakan salah satu sifat Allah — Al-Jamīl (Yang Maha Indah). Maka, ketika manusia tergerak oleh musik yang baik, sebenarnya ia sedang menyentuh dimensi ilahi dalam dirinya.
قال الغزالي:
“من لم يطرب بصوت حسن، فذلك نقصان في طبعه، وبُعد عن رقة قلبه.”
“Barang siapa yang tidak tersentuh oleh suara indah, maka itu tanda kekasaran tabiatnya dan jauhnya kelembutan hati.”
— (Iḥyā’ ‘Ulum ad-Dīn, Kitāb al-Samā‘_)
Musik menurut Al-Ghazali adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah jika digunakan dengan benar. Lantunan nasyid, zikir dengan irama, atau tilawah Al-Qur’an dengan suara merdu adalah bentuk seni yang membawa manusia pada kehadiran spiritual.
Dalam kehidupan modern, ketika manusia lelah dengan rutinitas, musik menjadi tempat bernaung sejenak. Namun, sebagaimana diingatkan Al-Ghazālī, jangan sampai musik menjauhkan hati dari Allah. Justru, biarlah setiap nada menjadi pengingat akan keindahan Sang Pencipta.
Ketika Nada Menjadi Jalan Cinta
Al-Ghazālī juga menyinggung fenomena cinta dalam musik. Ia melihat bahwa nyanyian yang menggugah perasaan cinta dapat menjadi simbol hubungan antara hamba dan Tuhannya. Ia menulis:
قال الغزالي:
“إن المحب إذا سمع ذكر محبوبه، هاج شوقه، واهتز قلبه.”
“Sesungguhnya pecinta, bila mendengar nama kekasihnya, akan bergelora rindu dan bergetar hatinya.”
— (Iḥyā’ ‘Ulum ad-Dīn, Kitāb al-Mahabbah_)
Musik menurut Al-Ghazali dapat menjadi bentuk samā‘, yaitu mendengarkan dengan hati. Dalam konteks sufistik, samā‘ adalah ibadah — bukan untuk memuaskan hawa nafsu, tetapi untuk menggugah cinta ilahi.
Bayangkan seseorang mendengarkan lantunan qasidah atau nasyid yang menyebut nama Allah dan Rasul. Getarannya bukan sekadar pada telinga, melainkan pada hati. Inilah hakikat seni menurut Al-Ghazālī: gerak jiwa menuju Tuhan.
Fenomena Musik di Zaman Kini: Antara Hiburan dan Renungan
Fenomena musik modern menawarkan dua sisi mata uang. Di satu sisi, musik menjadi ekspresi kebebasan dan kreativitas manusia; di sisi lain, ia sering menjadi alat konsumsi tanpa makna. Lagu-lagu yang penuh cinta duniawi, kadang membuat manusia lupa pada cinta yang sejati — cinta kepada Allah.
Dalam konteks ini, pemikiran Al-Ghazālī terasa sangat relevan. Ia menulis:
قال الغزالي:
“كل ما شغلك عن الله فهو مذموم، وإن كان حلالاً في نفسه.”
“Segala sesuatu yang melalaikanmu dari Allah adalah tercela, meskipun secara zatnya halal.”
— (Iḥyā’ ‘Ulum ad-Dīn, Kitāb Riyāḍah an-Nafs_)
Artinya, bukan musiknya yang salah, tetapi cara kita memperlakukan musik. Bila ia menjadi sarana untuk tadabbur, relaksasi setelah ibadah, atau pemicu semangat berbuat baik, maka musik itu bernilai ibadah. Namun, jika ia membuat lalai, maka keindahan itu berubah menjadi jebakan.
Refleksi: Menyelaraskan Irama Dunia dan Irama Jiwa
Pandangan musik menurut Al-Ghazali mengajarkan keseimbangan — bukan ekstremisme. Ia tidak menolak keindahan, karena keindahan adalah bagian dari kebenaran. Yang perlu diwaspadai adalah ketika manusia kehilangan arah dalam menikmati seni.
Dalam kehidupan sehari-hari, mendengarkan musik bisa menjadi momen tafakkur. Kita bisa merenungi makna hidup melalui melodi yang menyentuh. Sebagaimana Al-Ghazālī mengingatkan, musik dapat menjadi jembatan menuju Allah bila hati ikut berdzikir.
Musik, pada akhirnya, adalah bahasa universal yang mampu menyatukan manusia dalam rasa, bahkan dalam iman. Ketika musik menyentuh kalbu, dan kalbu itu mengingat Allah, maka setiap nada menjadi doa.
Penutup: Seni sebagai Jalan Menuju Tuhan
Al-Ghazālī melihat bahwa seni, termasuk musik dan nyanyian, bukan untuk ditolak, melainkan untuk diarahkan. Dalam dunia yang semakin bising oleh suara tanpa makna, pemikiran beliau hadir sebagai penuntun — bahwa keindahan sejati adalah yang membawa kita kembali pada Sang Pencipta.
Musik menurut Al-Ghazali adalah seni yang menghidupkan hati, bukan yang menidurkannya dalam kelalaian. Dan mungkin, di tengah hiruk-pikuk zaman ini, kita perlu mendengarkan bukan hanya dengan telinga, tetapi juga dengan jiwa.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
