Surau.co. Frasa kunci zuhud menurut al-Ghazālī sering kali disalahpahami. Banyak orang mengira zuhud berarti hidup miskin, memakai pakaian lusuh, atau menjauh total dari dunia. Namun, Imam al-Ghazālī dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn menjelaskan bahwa zuhud sejati bukan pada penampilan, tetapi pada hati yang tidak terikat pada harta.
Beliau menulis dengan tegas:
“ليس الزهد أن لا تملك شيئًا، ولكن أن لا يملكك شيءٌ”
“Zuhud bukan berarti engkau tidak memiliki apa pun, melainkan tidak ada sesuatu pun yang memiliki dirimu.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Kitāb az-Zuhd wa al-Faqr)
Makna ini begitu mendalam. Zuhud tidak menolak dunia, tetapi menolak diperbudak olehnya. Artinya, seseorang bisa kaya raya namun tetap zuhud—selama hatinya tidak bergantung pada kekayaan itu.
Dalam konteks kehidupan modern, di mana kesuksesan sering diukur lewat kepemilikan, pesan al-Ghazālī terasa seperti oase: bukan harta yang harus dibuang, tapi keserakahan yang harus dibersihkan.
Fenomena Hidup Sederhana di Tengah Kelebihan
Pernahkah kita melihat seseorang dengan gaya hidup sederhana meskipun memiliki banyak harta? Orang seperti ini tidak terjebak dalam gengsi. Ia membeli sesuatu karena perlu, bukan karena ingin dilihat. Inilah yang dimaksud al-Ghazālī dengan zuhud yang praktis.
Dalam Iḥyā’, beliau menjelaskan bahwa hakikat zuhud adalah bebas dari ketergantungan terhadap selain Allah:
“الزهد هو خلو القلب مما خلت منه اليد”
“Zuhud adalah ketika hatimu kosong dari apa yang telah kosong dari tanganmu.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Kitāb az-Zuhd wa al-Faqr)
Kalimat ini sangat menarik. Artinya, ketika kehilangan sesuatu tidak membuatmu gelisah, maka di situlah letak zuhud. Dunia boleh datang dan pergi, tapi hatimu tetap tenang.
Dalam kehidupan sehari-hari, praktik zuhud bisa sederhana: tidak berlebihan dalam konsumsi, tidak iri terhadap rezeki orang lain, dan tidak sombong ketika mendapat nikmat. Zuhud bukan gaya hidup anti-kemajuan, tetapi sikap spiritual yang membuat seseorang tetap waras di tengah godaan dunia.
Antara Zuhud dan Faqr: Dua Jalan yang Saling Melengkapi
Dalam Iḥyā’, Imam al-Ghazālī membahas dua konsep penting: zuhd (meninggalkan keterikatan dunia) dan faqr (kesadaran akan kefakiran diri di hadapan Allah). Kedua konsep ini saling berkaitan erat.
Beliau menulis:
“الفقر الحقيقي هو فقر القلب، لا فقر اليد”
“Kefakiran yang sejati adalah kefakiran hati, bukan kefakiran tangan.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Kitāb al-Faqr wa az-Zuhd)
Faqr bukan berarti kekurangan, tapi pengakuan jujur bahwa semua yang kita miliki hanyalah titipan. Orang yang faqir merasa cukup dengan Allah, bukan dengan harta.
Kita bisa bayangkan, betapa bahagianya hidup seseorang yang tidak gelisah karena uang, tidak panik karena kehilangan, dan tidak sombong karena berlebih. Ia tetap tenang, karena tahu: “Aku tidak punya apa-apa, tapi aku punya Allah.”
Inilah yang dimaksud al-Ghazālī sebagai kebebasan sejati—bebas dari rasa takut kehilangan dunia.
Hidup di Zaman Konsumerisme: Zuhud yang Relevan
Di era media sosial, gaya hidup sering kali menjadi alat pembanding. Foto makanan, pakaian, hingga liburan mudah membuat orang merasa “kurang”. Imam al-Ghazālī, jauh sebelum masa ini, telah mengingatkan:
“من نظر إلى ما في أيدي الناس مات قلبه”
“Barang siapa terlalu sering melihat apa yang ada di tangan orang lain, hatinya akan mati.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Kitāb Dzamm al-Hasad)
Betapa aktual pesan ini. Ketika mata terlalu sering menatap pencapaian orang lain, hati kehilangan rasa syukur. Zuhud modern bisa dimulai dari sini: membatasi pandangan, menjaga hati dari iri, dan mensyukuri apa yang ada di genggaman.
Zuhud bukan sekadar menolak dunia, tetapi membangun kesadaran batin bahwa dunia hanyalah alat menuju akhirat. Seseorang bisa bekerja, berbisnis, dan sukses secara duniawi, asalkan tidak lupa bahwa semua itu adalah ladang amal, bukan tujuan akhir.
Zuhud dalam Aksi: Bukan Sekadar Wacana
Imam al-Ghazālī tidak ingin zuhud berhenti di teori. Ia ingin kita menghidupkannya dalam tindakan nyata: memberi dari kelebihan, menahan diri dari berlebihan, dan bersyukur dalam keterbatasan.
Dalam satu bagian Iḥyā’, beliau menulis dengan penuh makna:
“الزاهد في الدنيا من لم يفرح بإقبالها، ولم يحزن على إدبارها”
“Orang yang zuhud adalah yang tidak bergembira ketika dunia datang, dan tidak bersedih ketika dunia pergi.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Kitāb az-Zuhd wa al-Faqr)
Sikap ini bukan berarti apatis, tetapi stabil secara spiritual. Zuhud mengajarkan keseimbangan: bekerja keras tanpa terikat, menikmati nikmat tanpa lupa bersyukur, dan menghadapi kehilangan tanpa putus asa.
Maka, zuhud bukan jalan menjauh dari dunia, melainkan jalan untuk menaklukkannya.
Menemukan Kedamaian dalam Faqr dan Zuhud
Hidup dalam kesadaran faqr dan sikap zuhud akan melahirkan ketenangan batin. Tidak mudah terguncang oleh perubahan, tidak mudah terprovokasi oleh kesenangan sesaat.
Imam al-Ghazālī menggambarkan keadaan hati orang zuhud seperti air tenang di bawah langit yang luas. Dunia boleh bergelombang, tapi ia tidak ikut bergejolak.
Zuhud, dalam arti yang praktis, bukan tentang menjadi miskin, tapi tentang memilih kebahagiaan yang tak bisa dibeli. Dan faqr bukan tentang kekurangan, melainkan tentang keyakinan bahwa Allah-lah sumber segalanya.
Penutup: Menjadi Zuhud di Tengah Dunia yang Penuh Godaan
Imam al-Ghazālī mengingatkan bahwa dunia tidak bisa dihindari, tetapi bisa dikendalikan. Zuhud bukan sikap pasif, melainkan cara aktif untuk menjaga hati agar tetap merdeka.
Zuhud itu praktis—ia bisa dimulai dari kesadaran kecil: berhenti membandingkan diri, belajar bersyukur, dan mengingat bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari kepemilikan, tapi dari kedekatan dengan Allah.
“من عرف الله استغنى به عن كل شيء”
“Barang siapa mengenal Allah, ia akan merasa cukup dengan-Nya dari segala sesuatu.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Kitāb Ma‘rifatullah)
Pertanyaan Reflektif:
Bagaimana jika selama ini kita bukan kekurangan harta, tetapi kekurangan rasa cukup?
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
