Surau.co. Di zaman digital ini, kesalehan sering tampil di layar ponsel. Story WhatsApp penuh dengan ayat, hadits, atau potongan nasihat yang diunggah dengan niat berbagi kebaikan. Namun, di sisi lain, terselip bisikan halus dalam hati: “Biar orang tahu aku juga ngaji, aku juga sholeh.”
Fenomena ini menggugah tanya: apakah amal yang tampak “baik” tapi niatnya ingin dipuji tetap bernilai pahala di sisi Allah? Apakah unggahan tentang kebaikan bisa berubah menjadi riya yang justru menghapus ganjaran amal itu sendiri?
Pertanyaan ini penting, terutama bagi muslim muda yang tumbuh di tengah budaya berbagi, self-branding, dan visibility. Kebaikan kini bukan hanya dilakukan, tapi juga ditampilkan.
Namun, Islam mengajarkan keseimbangan antara dakwah dan keikhlasan. Tidak semua unggahan bernuansa agama berarti riya. Kuncinya, seperti sabda Nabi ﷺ:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Maka, pertanyaan utamanya bukan apa yang diunggah, tapi untuk siapa unggahan itu dilakukan.
Ketulusan yang Tersembunyi di Balik Layar
Setiap kali seseorang menulis “Alhamdulillah” di statusnya atau membagikan ayat Al-Qur’an, ada ruang refleksi yang perlu dibuka: apakah itu bentuk rasa syukur, atau panggung halus untuk menampilkan kesalehan?
Nabi ﷺ mengingatkan bahwa tanda kemurnian niat terletak pada tidak adanya kebutuhan pengakuan. Dalam hadits qudsi disebutkan:
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي، تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barang siapa beramal dengan menyekutukan-Ku (dalam niatnya) dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan sekutunya itu.”
(HR. Muslim)
Artinya, amal yang dicampuri riya kehilangan nilai spiritualnya. Ia mungkin terlihat indah di mata manusia, tapi kosong di hadapan Allah.
Namun, Islam juga tidak melarang kita menunjukkan amal bila tujuannya menginspirasi. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 271 Allah berfirman:
إِن تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ
“Jika kamu menampakkan sedekahmu, maka itu baik; dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang miskin, maka itu lebih baik bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 271)
Ayat ini menunjukkan: menampakkan amal bisa baik asalkan niatnya lurus — yakni mengajak, bukan memamerkan.
Ketika Amal Jadi Konten
Kehidupan digital sering kali membuat batas antara niat dakwah dan niat pamer menjadi kabur. Amal yang seharusnya sunyi kini tampil dalam format konten.
Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syathā ad-Dimyāthī dalam Kifāyatul Atqiyā’ wa Minhājul Ashfiyā’ menjelaskan:
الرِّيَاءُ هُوَ طَلَبُ الْمَنْزِلَةِ فِي قُلُوبِ النَّاسِ بِالْعِبَادَةِ
“Riya adalah keinginan untuk mendapatkan tempat di hati manusia melalui ibadah.”
Ia menegaskan bahwa riya bukan sekadar pamer amal besar, tapi juga muncul ketika hati menuntut pengakuan batiniah. Bahkan, ketika seseorang merasa kecewa karena status religiusnya tidak direspon, itu tanda niatnya tidak sepenuhnya murni.
Namun demikian, Syaikh Syathā juga menjelaskan bahwa niat dakwah dan niat mengingatkan diri sendiri tidak termasuk riya, selama tidak ada keinginan untuk dipuji.
Antara Niat dan Efek Sosial Amal Digital
Sebagian muslim muda menulis status berisi doa atau kutipan Qur’an dengan tujuan “semoga bermanfaat bagi yang membaca.” Itu niat mulia. Tapi jika diam-diam berharap status itu membuat orang memandangnya lebih sholeh, maka nilainya bergeser.
Menariknya, efek sosial dari story WA bernuansa agama tetap ada. Ia bisa mengingatkan teman yang lupa shalat, menenangkan hati yang gelisah, atau sekadar menumbuhkan rasa syukur bagi yang melihat. Dalam hal ini, amal digital tetap punya nilai manfaat sosial — meski pahala personalnya bergantung pada niat.
Islam memandang niat bukan hanya pada awal amal, tapi juga saat menjalankannya. Itulah sebabnya ulama sufi selalu menekankan muraqabah (kesadaran terus-menerus akan pengawasan Allah).
Refleksi: Menyaring Niat di Era Story
Salah satu cara agar amal di dunia digital tetap bernilai adalah melatih keikhlasan dalam kesendirian.
Cobalah kadang-kadang menulis nasihat, tapi tidak mempostingnya. Rasakan bedanya: apakah hati masih merasa kurang? Bila iya, berarti kita sedang butuh pengakuan manusia, bukan ridha Allah.
Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari pernah menulis dalam Al-Hikam:
ادفن وجودك في أرض الخمول، فما نبت مما لم يُدفن لا يتمّ نتاجه.
“Kuburlah dirimu di tanah ketidakpopuleran, sebab sesuatu yang tidak tertanam dengan benar tak akan berbuah sempurna.”
Kesalehan sejati tumbuh di tempat yang tidak dilihat orang, tapi dirasakan oleh Allah.
Pahala Story WA: Antara Amal dan Citra
Jadi, apakah bisa dapat pahala kalau bikin story WA hanya biar dibilang sholeh?
Jawabannya: tidak. Karena amal seperti itu kehilangan ruh ikhlasnya. Tapi jika story itu dibuat dengan niat tulus untuk mengingatkan, menyebar kebaikan, dan mengajak, maka insya Allah ada pahala.
Yang penting bukan apa yang tampak di layar, tapi apa yang hidup di hati.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا إِلَى أَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian.”
(HR. Muslim)
Penutup: Sunyi yang Paling Nyaring
Di tengah hiruk pikuk status religius dan caption dakwah, mungkin yang paling tulus adalah mereka yang berbuat baik tanpa unggahan, bersedekah tanpa tagar, berdoa tanpa tanda baca.
Keikhlasan itu seperti angin: tidak terlihat, tapi menggerakkan segalanya.
Jadi, sebelum menekan tombol “post”, tanyakan pada diri sendiri: “Apakah aku sedang berdakwah atau sedang membangun citra?”
Jika jawabannya jujur, maka pahala story WA bukan lagi soal dapat atau tidak — tapi soal siapa yang benar-benar menjadi saksi niat kita: manusia atau Allah.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
