Surau.co. Dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Imam al-Ghazālī membuka bagian Rub‘ al-Muhlikāt—“bagian yang membinasakan”—dengan peringatan halus namun menggigit: bahwa sumber kehancuran spiritual manusia bukanlah dosa besar yang tampak, melainkan kecintaan yang tersembunyi terhadap dunia. Frasa kunci cinta dunia menjadi jantung persoalan yang menjerat banyak hati, bahkan yang tampak taat sekalipun.
Kecintaan terhadap dunia bukanlah sekadar menyukai harta, rumah, atau kedudukan, tetapi ketika hal-hal itu menjadi tujuan utama hidup. Dalam bahasa al-Ghazālī:
“حب الدنيا رأس كل خطيئة”
“Cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Kitāb Ḥubb ad-Dunyā wa Dzammiha)
Bagi beliau, dunia ibarat api yang membakar hati. Bila manusia menyalakan api itu untuk menerangi jalan hidupnya, ia bermanfaat. Namun bila membiarkannya menyala tanpa kendali, ia akan menghanguskan segalanya—iman, amal, bahkan makna hidup itu sendiri.
Fenomena Modern: Ketika Dunia Jadi Ukuran Bahagia
Kita hidup di zaman ketika kesuksesan diukur oleh materi dan pencapaian tampak. Banyak orang mengejar jabatan, pengikut media sosial, atau gaya hidup, tanpa sadar menukar ketenangan batin dengan kelelahan yang tak berkesudahan.
Imam al-Ghazālī seolah menulis untuk zaman ini ketika berkata:
“الدنيا بحرٌ عميقٌ قد غرق فيه كثير من الناس، فلتكن سفينتك فيها تقوى الله”
“Dunia adalah lautan yang dalam, banyak manusia tenggelam di dalamnya; maka jadikanlah takwamu sebagai kapal untuk menyelamatkan diri.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Rub‘ al-Muhlikāt)
Betapa relevan perumpamaan ini. Dunia modern menawarkan segalanya dalam genggaman—informasi, kesenangan, kecepatan. Namun, di balik kemudahan itu, manusia kerap kehilangan arah spiritual. Mereka tenggelam dalam “laut dunia” yang tenang di permukaan, tapi berarus kuat di dasarnya.
Cinta Dunia dan Ketenangan yang Hilang
Pernahkah kita merasa resah tanpa sebab, padahal segalanya tampak baik? Imam al-Ghazālī menjelaskan, kegelisahan semacam itu adalah tanda hati yang tertarik oleh dunia namun tak pernah puas. Dunia, katanya, seperti air laut: semakin diminum, semakin haus.
“مثل حب الدنيا كماء البحر، كلما شرب منه العطشان ازداد عطشًا”
“Cinta dunia seperti air laut; semakin diminum orang yang kehausan, semakin haus ia dibuatnya.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Kitāb Dzamm al-Dunyā)
Kegelisahan ini banyak kita lihat hari ini: orang sukses tapi kosong, kaya tapi merasa kurang, sibuk tapi hampa. Dalam kacamata al-Ghazālī, itu bukan karena dunia jahat, melainkan karena manusia menjadikannya tuhan kecil yang menuntut dipuja siang dan malam.
Jalan Keluar: Zikir, Zuhud, dan Kesadaran
Imam al-Ghazālī tidak menyuruh manusia meninggalkan dunia, melainkan menempatkannya di tangan, bukan di hati. Zuhud dalam pandangannya bukan berarti miskin, tetapi merdeka dari ketergantungan pada dunia.
Beliau menulis dengan indah:
“ليس الزهد في الدنيا أن تتركها من يدك، ولكن أن تتركها من قلبك”
“Zuhud terhadap dunia bukanlah meninggalkannya dari tanganmu, melainkan melepaskannya dari hatimu.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Kitāb Zuhd wa Tawakkul)
Dengan kalimat ini, al-Ghazālī mengingatkan bahwa kunci keselamatan bukan pada meninggalkan pekerjaan atau harta, tetapi pada membebaskan hati dari belenggu cinta dunia. Dunia hanyalah titipan, bukan tujuan akhir.
Latihan zikir, kata beliau, adalah salah satu cara paling ampuh untuk menyejukkan hati yang terbakar. Ketika lidah terbiasa menyebut nama Allah, hati pun menjadi tenang. Allah berfirman:
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”
(QS. ar-Ra‘d [13]: 28)
Dengan zikir, manusia tidak lagi sibuk menghitung apa yang hilang, tapi bersyukur atas apa yang ada. Dunia menjadi jembatan, bukan jebakan.
Menata Kembali Prioritas Hidup
Dalam kehidupan sehari-hari, tanda cinta dunia bisa sangat halus. Misalnya, ketika seseorang lebih sedih kehilangan barang duniawi daripada kehilangan waktu shalat. Imam al-Ghazālī menulis bahwa ukuran cinta dunia bisa dilihat dari apa yang paling menyakitkan ketika hilang.
Maka, untuk keluar dari jerat cinta dunia, beliau menganjurkan muhasabah—introspeksi diri setiap hari. Dalam refleksinya, ia menulis:
“حاسب نفسك قبل أن تحاسب، وزن عملك قبل أن يوزن عليك”
“Hisablah dirimu sebelum engkau dihisab, timbanglah amalmu sebelum amalmu ditimbang atasmu.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Kitāb Muhasabah an-Nafs)
Dengan kebiasaan muhasabah, seseorang dapat menyadari apakah dirinya masih dikuasai dunia atau sudah menundukkannya.
Dunia sebagai Cermin Hati
Ajaran Rub‘ al-Muhlikāt sejatinya bukan tentang menjauhi dunia, tapi menjernihkan hati agar bisa memandang dunia dengan cara yang benar. Dunia bukan musuh, tapi ujian yang halus. Ia bisa menjadi tangga menuju Allah, jika digunakan dengan kesadaran.
Seorang sufi pernah berkata, “Dunia di tangan para kekasih Allah ibarat pisau di tangan dokter; digunakan untuk menyembuhkan, bukan menyakiti.” Imam al-Ghazālī ingin agar setiap kita menjadi “dokter” bagi dirinya sendiri—menggunakan dunia untuk kebaikan, bukan membiarkan diri terluka olehnya.
Penutup: Membakar Dunia dengan Cinta Ilahi
Cinta dunia adalah api yang membakar hati, tetapi cinta kepada Allah adalah cahaya yang menyinari kehidupan. Ketika cahaya ini menguasai hati, dunia tetap ada, tetapi tak lagi memerintah.
Imam al-Ghazālī menulis dengan penuh keteduhan:
“إذا أشرق نور اليقين في القلب، أحرق حب الدنيا”
“Ketika cahaya keyakinan bersinar di dalam hati, ia membakar cinta dunia.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Rub‘ al-Muhlikāt)
Maka, pelajaran dari Rub‘ al-Muhlikāt bukanlah untuk membenci dunia, tetapi untuk menyalakan cahaya iman di dalamnya. Dunia tidak lagi membinasakan ketika hati dipenuhi cinta Ilahi.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
