Khazanah
Beranda » Berita » Makan, Doa, dan Adab: Ketika Ibadah Menjadi Gaya Hidup

Makan, Doa, dan Adab: Ketika Ibadah Menjadi Gaya Hidup

Ilustrasi laki-laki berdoa sebelum makan di ruangan bercahaya lembut, menggambarkan ibadah dalam keseharian.
Ilustrasi menggambarkan nilai spiritual dalam adab makan sebagaimana dijelaskan Imam al-Ghazālī: kesederhanaan, kesyukuran, dan kesadaran.

Surau.co. Bagi banyak orang, makan hanyalah rutinitas biologis: memenuhi kebutuhan energi agar bisa bekerja dan beraktivitas. Namun dalam pandangan Imam al-Ghazālī dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, makan bukan sekadar urusan perut, melainkan juga cermin dari kesadaran spiritual.

Frasa kunci ibadah dalam kehidupan sehari-hari—terutama melalui makan, doa, dan adab—menjadi sangat penting di tengah gaya hidup modern yang serba cepat. Imam al-Ghazālī menulis dengan penuh makna:

“الطعام وسيلةٌ لبقاء الجسد، وبقاء الجسد وسيلةٌ لعبادة الله”
“Makanan adalah sarana untuk menjaga tubuh, dan tubuh dijaga agar dapat beribadah kepada Allah.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Kitāb Ādāb al-Akl)

Artinya, aktivitas sesederhana makan pun memiliki nilai ibadah, jika disertai niat yang benar dan adab yang luhur.

Menikmati Hidup dengan Kesadaran

Pernahkah kita makan sambil menatap layar ponsel tanpa benar-benar menikmati rasa makanan? Fenomena ini lazim dalam kehidupan modern: tubuh makan, tetapi hati absen. Imam al-Ghazālī menilai hal semacam ini sebagai bentuk kelalaian yang membuat manusia lupa hakikat nikmat.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Dalam Iḥyā’, beliau menulis:

“من أكل بلا نيةٍ صالحةٍ، كان كالبهيمة في أكله”
“Barang siapa makan tanpa niat yang baik, maka ia seperti hewan dalam makannya.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Kitāb Ādāb al-Akl)

Makan yang benar bukan hanya tentang memilih makanan halal dan thayyib, tetapi juga tentang menghadirkan rasa syukur. Setiap suapan seharusnya menjadi bentuk dzikir, bukan sekadar pemuas selera.

Kesadaran inilah yang sering hilang dalam kehidupan modern. Kita sibuk mengejar cita rasa, tapi lupa pada Sang Pemberi rasa. Padahal, kesadaran spiritual yang sederhana ini mampu mengubah makan menjadi pengalaman ibadah yang mendalam.

Doa Sebelum Makan: Bukan Formalitas

Doa sebelum makan sering kali dilafalkan terburu-buru, bahkan tanpa pemahaman. Imam al-Ghazālī menekankan bahwa doa bukan sekadar kata, tetapi wujud kesadaran bahwa manusia sepenuhnya bergantung pada rahmat Allah.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Ia menulis:

“ينبغي أن لا يمدّ يده إلى الطعام إلا وهو ذاكرٌ لله تعالى باسمه”
“Hendaklah seseorang tidak mengulurkan tangannya ke makanan kecuali dengan menyebut nama Allah.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Kitāb Ādāb al-Akl)

Dengan berdoa sebelum makan, seseorang sedang menegaskan bahwa makanan itu bukan hasil kerja semata, tetapi karunia. Inilah momen ketika spiritualitas menembus rutinitas, mengubah tindakan sehari-hari menjadi pertemuan dengan Yang Maha Memberi.

Adab sebagai Cermin Kedalaman Iman

Dalam pandangan al-Ghazālī, adab bukan sekadar sopan santun sosial, melainkan ekspresi iman yang nyata. Seseorang yang memahami hakikat ibadah tidak akan memisahkan antara ritual dan perilaku. Ia menulis dengan tajam:

“الأدب مع الناس من كمال الأدب مع الله”
“Adab kepada sesama adalah bagian dari kesempurnaan adab kepada Allah.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Kitāb al-Ādāb)

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Makan bersama, misalnya, bukan hanya soal berbagi hidangan, tapi juga berbagi kasih sayang. Tidak mendahului orang lain, tidak mencela rasa makanan, dan tidak berlebihan adalah bagian dari spiritualitas yang tampak dalam perilaku.

Menariknya, Imam al-Ghazālī menegaskan bahwa adab makan adalah latihan kesabaran dan kesederhanaan. Dalam setiap kunyahan terdapat pelajaran tentang batas diri dan rasa syukur.

Menghidupkan Ibadah dalam Aktivitas Sehari-hari

Konsep ibadah gaya hidup dalam pemikiran al-Ghazālī sebenarnya sederhana: menghadirkan niat, adab, dan kesadaran dalam setiap aktivitas. Makan, bekerja, atau bahkan tidur dapat bernilai ibadah bila diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Al-Ghazālī berkata:

“نية المؤمن خير من عمله”
“Niat seorang mukmin lebih baik daripada amalnya.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Kitāb al-Niyyah wa al-Ikhlāṣ)

Maka, seseorang yang makan agar kuat beribadah memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dibandingkan yang makan hanya untuk memenuhi keinginan.

Di sinilah letak relevansi ajaran al-Ghazālī di era modern: spiritualitas bukan hanya urusan masjid, tetapi gaya hidup yang mewarnai setiap langkah. Dari cara kita makan, berbicara, hingga berbagi rezeki, semuanya dapat menjadi ladang ibadah.

Ketika Ibadah Menjadi Nafas Kehidupan

Bila manusia mampu memaknai makan, doa, dan adab sebagai bagian dari ibadah, maka hidupnya akan menjadi tenang dan bermakna. Tidak ada aktivitas yang sia-sia, karena semua terhubung dengan Allah.

Al-Ghazālī menutup pelajaran tentang adab makan dengan kalimat yang meneduhkan:

“السعيد من جعل عاداته عبادات”
“Orang yang beruntung adalah yang menjadikan kebiasaannya sebagai ibadah.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Kitāb Ādāb al-Akl)

Pesan ini begitu relevan bagi manusia modern yang haus makna. Setiap sendok nasi bisa menjadi dzikir, setiap doa menjadi penyegar jiwa, dan setiap adab menjadi jalan menuju keindahan hidup yang berkesadaran.

Penutup: Menjadi Muslim yang Menikmati Kehidupan dengan Iman

Dalam bingkai pemikiran Imam al-Ghazālī, kehidupan yang baik bukanlah yang penuh kemewahan, tetapi yang penuh kesadaran. Makan bukan hanya soal kenyang, doa bukan sekadar rutinitas, dan adab bukan formalitas. Semua itu adalah cermin ibadah yang hidup.

Dengan menjadikan makan, doa, dan adab sebagai gaya hidup, kita sesungguhnya sedang menapaki jalan spiritual yang paling nyata—jalan yang menghubungkan antara dunia dan akhirat dalam setiap tarikan napas.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement