Surau.co. Shalat sering kali menjadi rutinitas yang mekanis: berdiri, rukuk, sujud, dan salam. Namun, sebagaimana diingatkan oleh Imam al-Ghazālī dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, shalat seharusnya “hidup”—ia menumbuhkan kesadaran spiritual, menghadirkan hati, dan menjadi sarana perjumpaan dengan Allah.
Frasa kunci shalat yang hidup tidak hanya mengacu pada ritual yang benar secara fiqih, tetapi juga kehidupan batin yang menyertai setiap gerakannya. Dalam Asrār al-Ṣalāh (Rahasia Shalat), Imam al-Ghazālī menulis:
“الصلاة معراج المؤمن”
“Shalat adalah mi‘raj (tangga naik) bagi orang beriman.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Juz 1)
Kalimat ini mengingatkan kita bahwa shalat bukanlah beban, melainkan kesempatan untuk naik menuju Allah. Jika seseorang menunaikan shalat tanpa hati yang sadar, maka shalatnya hanya tubuh yang berdiri, bukan jiwa yang berjumpa.
Menemukan Rasa dalam Setiap Gerakan
Dalam kehidupan modern yang serba cepat, sulit bagi banyak orang untuk benar-benar hadir dalam shalat. Pikiran berkelana ke pekerjaan, tagihan, atau notifikasi di gawai. Imam al-Ghazālī menyebut kondisi ini sebagai ghaflah (kelalaian hati). Ia menulis:
“ليس للعبد من صلاته إلا ما عقل منها”
“Seorang hamba tidak mendapatkan dari shalatnya kecuali apa yang ia pahami darinya.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Kitāb Asrār al-Ṣalāh)
Maknanya jelas: nilai shalat di sisi Allah bukan pada jumlah rakaat atau keindahan suara, tetapi pada kadar kesadaran yang menyertai.
Menemukan rasa dalam shalat berarti belajar memperlambat diri—menyadari napas, gerakan, dan makna bacaan. Seperti ketika kita berbicara dengan seseorang yang dicintai, setiap kata terasa berharga; demikian pula dengan zikir dan doa dalam shalat.
Kekhusyukan: Sebuah Latihan, Bukan Sekali Jadi
Khusyuk dalam shalat tidak datang secara instan. Ia adalah hasil latihan panjang. Al-Ghazālī mengajarkan bahwa kekhusyukan dibangun melalui tiga tahap: pengetahuan, kesadaran, dan kebiasaan.
Pertama, pengetahuan tentang makna setiap gerakan dan bacaan. Kedua, kesadaran hati terhadap siapa yang sedang dihadapi. Ketiga, kebiasaan yang membentuk refleks spiritual. Ia menulis:
“من عرف الله أحبّه، ومن أحبّه أقبل عليه بقلبه في صلاته”
“Barang siapa mengenal Allah, ia akan mencintai-Nya; dan siapa mencintai-Nya, akan menghadap kepada-Nya dengan hatinya dalam shalat.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Kitāb al-Maḥabbah wa asy-Syauq)
Kekhusyukan, dengan demikian, bukan sekadar menundukkan kepala, melainkan menundukkan ego. Ia hadir ketika hati merasa cukup hanya dengan berdialog dengan Tuhannya.
Fenomena Modern: Shalat di Tengah Hiruk Pikuk
Bayangkan suasana di sebuah kantor pada waktu dzuhur. Sebagian orang bergegas ke musala, sementara lainnya masih terpaku di depan layar. Ketika iqamah dikumandangkan, beberapa orang datang terburu-buru, membawa sisa notifikasi di benak mereka.
Fenomena ini nyata: shalat sering kali terpisah dari kesadaran. Kita menunaikannya karena kewajiban, bukan karena kerinduan. Padahal Allah berfirman:
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. al-‘Ankabūt [29]: 45)
Imam al-Ghazālī menafsirkan ayat ini dengan dalam. Ia berkata:
“من لم تنهه صلاته عن الفحشاء والمنكر، فليعلم أن صلاته غير مقبولة”
“Barang siapa shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, hendaklah ia tahu bahwa shalatnya belum diterima.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Juz 1)
Kata-kata ini tidak untuk menakut-nakuti, tetapi untuk menyadarkan: shalat yang hidup adalah shalat yang berpengaruh. Ia mengubah perilaku, melembutkan hati, dan menumbuhkan empati.
Menghidupkan Shalat dalam Kehidupan Sehari-hari
Bagaimana membuat shalat menjadi pengalaman spiritual yang nyata? Imam al-Ghazālī memberikan beberapa petunjuk praktis:
- Bersiap dengan hati bersih. Bersuci tidak hanya fisik, tetapi juga pikiran yang jernih dari kesibukan dunia.
- Hadapkan hati sebelum tubuh. Bayangkan engkau sedang menghadap Sang Raja, dan setiap gerakanmu adalah bentuk penghormatan.
- Rasakan makna setiap bacaan. Saat membaca Allāhu Akbar, renungkan betapa kecilnya diri di hadapan-Nya.
- Pertahankan rasa itu di luar shalat. Shalat yang hidup seharusnya menular ke kehidupan sosial: dalam tutur kata, keputusan, dan cara memperlakukan sesama.
Dengan cara ini, shalat bukan lagi sekadar ritual lima waktu, melainkan detak spiritual yang menuntun sepanjang hari.
Menutup dengan Kesadaran
Shalat yang hidup tidak hanya terjadi di masjid, tetapi juga dalam langkah-langkah setelah salam. Ia hidup dalam cara seseorang bekerja, berbicara, dan mencintai. Seperti yang ditegaskan oleh Imam al-Ghazālī:
“إذا استقرت حلاوة المناجاة في القلب، لم يلتفت إلى غير الله”
“Apabila manisnya munajat telah menetap dalam hati, maka hati itu tidak akan berpaling dari Allah.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Kitāb Asrār al-Ṣalāh)
Shalat yang hidup adalah shalat yang menjadikan hati senantiasa hadir, bahkan di luar waktu shalat. Inilah inti dari ajaran al-Ghazālī: agar setiap detik kehidupan menjadi bagian dari ibadah yang terus berdenyut.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
