Surau.co. Kitab Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn karya Imam al-Ghazālī adalah salah satu mahakarya Islam klasik yang terus hidup melintasi zaman. Bukan hanya karena keluasan ilmunya, tetapi karena kedalamannya menyentuh wilayah paling halus dalam diri manusia—jiwa. Kitab ini menggabungkan keilmuan fikih yang rasional dengan dimensi tasawuf yang spiritual, menjadikannya karya yang tidak hanya mengajarkan apa yang benar, tetapi juga bagaimana cara menjadi benar.
Sejak paragraf pertama, nama Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn selalu diidentikkan dengan “kebangkitan ruhani.” Dalam setiap babnya, Imam al-Ghazālī seolah menuntun pembaca untuk berjalan dari hukum lahiriah menuju makna batiniah. Ia menegaskan bahwa agama tidak hanya berhenti pada fikih, tapi berakar pada penyucian hati—tazkiyatun nafs.
Ketika Ilmu Tak Lagi Menghidupkan Hati
Imam al-Ghazālī menulis Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn setelah melalui krisis spiritual yang mendalam. Ia meninggalkan kedudukannya sebagai guru besar di Madrasah Nizāmiyyah Baghdad, menyingkir dari kemegahan dunia ilmu dan popularitas, lalu mencari makna sejati ibadah. Dari perjalanan itu lahirlah kitab ini.
Dalam mukadimahnya, ia menulis:
«العِلْمُ بِلَا عَمَلٍ جُنُونٌ، وَالعَمَلُ بِلَا عِلْمٍ لَا يَكُونُ»
“Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu tidak akan berarti.”
(Iḥyā’, Juz 1, Kitāb al-‘Ilm)
Pesan ini terasa menampar zaman modern. Banyak orang berilmu tinggi, tapi kehilangan makna dalam ibadah dan etika. Al-Ghazālī tidak menolak ilmu rasional, tetapi mengingatkan bahwa ilmu harus menyalakan hati. Ia menulis Iḥyā’ agar umat Islam kembali merasakan getaran spiritual di balik hukum-hukum agama.
Fikih sebagai Jalan, Bukan Tujuan
Dalam Iḥyā’, Al-Ghazālī menjelaskan bahwa fikih bukan sekadar ilmu hukum, tetapi sarana menuju kesucian hati. Ia menyebut orang yang berhenti pada hukum lahiriah saja seperti orang yang tahu resep makanan tapi tak pernah merasakannya.
«مَنْ لَمْ يَذُقْ لَمْ يَدْرِ»
“Barangsiapa tidak pernah merasakan, ia tidak akan pernah mengetahui.”
(Iḥyā’, Juz 3, Kitāb Riyāḍat an-Nafs)
Fikih, dalam pandangan Al-Ghazālī, adalah pintu menuju ihsan—kesadaran batin bahwa kita selalu diawasi oleh Allah. Dengan fikih, manusia belajar disiplin lahiriah; dengan tasawuf, manusia menyucikan batin. Keduanya, bila bersatu, melahirkan keimanan yang utuh.
Fenomena Zaman: Ketika Agama Hanya Menjadi Formalitas
Masyarakat modern sering terjebak pada simbol religius: penampilan islami, jargon moral, atau status keulamaan. Namun, di balik itu, banyak hati yang belum tersentuh nilai ruhani. Fenomena ini sejatinya sudah dibaca jauh sebelumnya oleh Al-Ghazālī.
Ia menulis dengan tegas:
«ظَاهِرُ العِلْمِ لِسَانٌ وَقَلَمٌ، وَبَاطِنُهُ نُورٌ وَفَهْمٌ»
“Ilmu lahiriah terwujud dalam ucapan dan tulisan, sementara ilmu batin adalah cahaya dan pemahaman yang menembus hati.”
(Iḥyā’, Juz 1, Kitāb al-‘Ilm)
Kutipan ini menjelaskan bahwa ilmu sejati bukan sekadar hafalan atau retorika, melainkan cahaya yang menghidupkan kesadaran. Di sinilah tasawuf memainkan peran vital: mengembalikan ruh dalam setiap amal.
Tasawuf yang Tidak Menolak Dunia
Salah satu keindahan Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn adalah caranya memadukan fikih dan fana (pengosongan diri) tanpa mengorbankan salah satunya. Imam al-Ghazālī tidak menyeru untuk meninggalkan dunia, melainkan mengajarkan cara menggunakannya tanpa terikat padanya.
«لَيْسَ الزُّهْدُ تَرْكُ المَالِ، وَلَكِنْ الزُّهْدُ أَنْ لَا يَمْلِكَكَ المَالُ»
“Zuhud bukan berarti meninggalkan harta, tetapi agar harta tidak menguasai hatimu.”
(Iḥyā’, Juz 3, Kitāb al-Zuhd wa al-Faqr)
Inilah keseimbangan yang hilang dalam kehidupan modern. Banyak orang kaya tapi gelisah, banyak orang beriman tapi kosong. Menurut Al-Ghazālī, dunia tidak harus ditinggalkan, namun harus dikuasai dengan hati yang bersih.
Dimensi Tasawuf di Setiap Bab Iḥyā’
Keempat bagian besar dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn menggambarkan perjalanan spiritual manusia secara bertahap:
- Rub‘ al-‘Ibādāt – mengajarkan ibadah lahiriah seperti shalat, zakat, dan puasa dengan ruh batiniah yang mendalam.
- Rub‘ al-Ādāb – membahas etika sosial, dari makan hingga bekerja, agar setiap aktivitas duniawi menjadi ibadah.
- Rub‘ al-Muhlikāt – menyingkap penyakit hati seperti riya’, hasad, dan cinta dunia.
- Rub‘ al-Munjiyāt – membimbing menuju keselamatan dengan sifat sabar, syukur, tawakkal, dan ikhlas.
Struktur ini membentuk perjalanan manusia dari syariat menuju hakikat. Ia mengajarkan bahwa spiritualitas sejati adalah buah dari praktik agama yang dijalani dengan kesadaran.
Menyapa Jiwa di Tengah Kegelisahan Modern
Manusia hari ini bukan kekurangan ilmu, tapi kekurangan kedalaman. Banyak yang cerdas tapi letih, banyak yang beriman tapi hampa. Dalam situasi ini, pesan Imam al-Ghazālī terasa seperti oase di tengah padang gersang. Ia tidak hanya memberi teori, tetapi juga mengajarkan cara menyembuhkan hati.
Bagi beliau, kunci kebahagiaan adalah harmoni antara fikih dan tasawuf. Ilmu tanpa cinta akan kering, dan cinta tanpa ilmu akan sesat. Maka, Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn hadir sebagai jembatan—menghubungkan kepala dan hati, logika dan rasa, dunia dan akhirat.
Penutup: Menghidupkan Ruh di Balik Amal
Membaca Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn adalah pengalaman menelusuri diri sendiri. Imam al-Ghazālī tidak menulis untuk masa lampau, melainkan untuk setiap zaman yang kehilangan arah ruhani.
Dalam bab akhir kitabnya, beliau menulis:
«مَنْ أَصْلَحَ بَاطِنَهُ أَصْلَحَ اللَّهُ ظَاهِرَهُ»
“Barangsiapa memperbaiki batinnya, Allah akan memperbaiki lahiriahnya.”
(Iḥyā’, Juz 4, Kitāb al-Muhāsabah)
Kalimat ini menutup seluruh jalan Iḥyā’: bahwa kebahagiaan sejati lahir dari keseimbangan antara fikih yang benar dan fana yang tulus.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
