SURAU.CO – “Jangan melihat kecilnya maksiat, akan tetapi lihatlah kepada siapa engkau telah bermaksiat.”
— Bilal bin Sa’ad rahimahullah
Kalimat nasihat ini seakan menampar kesadaran kita yang sering tertidur dalam kelalaian. Ia bukan sekadar peringatan untuk meninggalkan dosa besar, tetapi juga seruan agar berhati-hati terhadap dosa kecil yang sering kita anggap sepele. Karena sejatinya, dosa kecil yang dilakukan dengan terus-menerus tanpa istighfar dapat menumpuk dan menutupi hati, hingga akhirnya membuat seorang Muslim kehilangan rasa malu dan takut kepada Allah.
Maksiat: Luka yang Menghitamkan Hati
Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Sesungguhnya jika seorang hamba melakukan suatu dosa, maka akan muncul titik hitam di hatinya. Jika ia berhenti, memohon ampun, dan bertaubat, maka hatinya akan bersih. Tetapi jika ia kembali (bermaksiat), maka titik hitam itu akan bertambah hingga menutupi hatinya. Itulah ‘ran’ yang disebut dalam firman Allah:
‘Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.’ (QS. Al-Muthaffifin: 14).” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah)
Dari hadis ini, kita memahami bahwa setiap dosa memiliki pengaruh langsung terhadap spiritualitas seseorang. Ia seperti noda kecil yang, jika tidak segera dibersihkan dengan taubat, akan menghitamkan seluruh hati. Hati yang hitam tidak lagi peka terhadap nasihat, tidak lagi tersentuh oleh ayat Al-Qur’an, dan tidak lagi tersentak ketika mendengar nama Allah.
Inilah mengapa ulama salaf selalu menegaskan bahwa bahaya maksiat bukan hanya pada akibat duniawinya, tetapi pada dampaknya terhadap hati dan iman.
Maksiat Melemahkan Cahaya Iman
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam Ad-Daa’ wad-Dawaa’ bahwa maksiat memiliki efek yang sangat kuat terhadap hati:
“Maksiat memadamkan cahaya hati, melemahkan semangat beramal, menutup jalan menuju ilmu, dan menjauhkan pelakunya dari Allah sebagaimana jarak antara timur dan barat.”
Seseorang yang sering melakukan dosa tanpa rasa bersalah akan merasakan perubahan dalam dirinya: salat terasa berat, membaca Al-Qur’an tidak lagi menyentuh, dan ibadah kehilangan makna. Semua ini terjadi karena maksiat telah memadamkan cahaya yang Allah tanamkan dalam hati seorang mukmin.
Cahaya iman tidak bisa hidup berdampingan dengan kegelapan maksiat. Jika cahaya redup, pandangan batin akan kabur. Ia akan sulit membedakan mana yang benar dan salah, mana yang hak dan batil. Inilah awal dari kehancuran spiritual seorang Muslim.
Maksiat Mengundang Murka dan Azab Allah
Allah ﷻ telah berfirman:
> “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.”
(QS. Thaha: 124)
Ayat ini menjelaskan bahwa dosa tidak hanya membawa kesengsaraan di akhirat, tetapi juga kesempitan hidup di dunia. Banyak orang mencari ketenangan dengan menuruti hawa nafsu — namun justru semakin gelisah. Mereka berusaha menenangkan hati dengan hiburan, materi, dan kenikmatan duniawi, tetapi batin mereka tetap gersang.
Ketenangan sejati tidak akan ditemukan pada jalan maksiat, karena ia mengundang murka Allah. Dan siapa yang berada dalam murka-Nya, maka hidupnya tak akan pernah lapang meski dunia berada di tangannya.
Maksiat Merampas Keberkahan
Salah satu pengaruh paling nyata dari dosa adalah hilangnya keberkahan. Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Sesungguhnya seorang hamba benar-benar dihalangi dari rezeki karena dosa yang dilakukannya.”
(HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Banyak yang merasa hidupnya serba kekurangan, padahal bekerja keras siang dan malam. Tapi mungkin tanpa sadar, maksiat telah menghapus keberkahan dari usaha mereka. Rezeki tetap datang, namun cepat habis. Waktu banyak, tapi tak ada hasil. Ilmu banyak, tapi tak membawa manfaat. Semua ini adalah tanda bahwa dosa sedang bekerja dalam diam — merampas keberkahan hidup yang semestinya menjadi anugerah Allah.
Maksiat Menular dan Menjadi Kebiasaan
Satu dosa sering menjadi pintu bagi dosa berikutnya. Ia seperti rantai yang saling terikat. Awalnya seseorang hanya melihat yang haram “sekadar iseng”, lalu berani menyentuh, kemudian melakukan, hingga akhirnya menjadi kebiasaan.
Inilah yang dimaksud oleh ulama ketika mereka berkata, “Kebiasaan maksiat dimulai dari pandangan yang diabaikan.” Dosa kecil yang dibiarkan akan menumbuhkan dosa besar. Maka tidak ada istilah “sekadar dosa ringan” bagi orang yang takut kepada Allah. Karena setiap dosa adalah bentuk pelanggaran terhadap perintah-Nya.
Maksiat Menjadikan Hati Keras dan Tuli terhadap Kebenaran
Ibnul Qayyim juga menulis bahwa “setiap dosa adalah sebab kekerasan hati.” Orang yang hatinya keras akan sulit menerima nasihat, bahkan dari orang yang ia cintai. Ia lebih mudah tersinggung daripada tersentuh. Padahal, hati yang lembut adalah tanda rahmat Allah kepada seorang hamba.
> “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi.”
(QS. Al-Baqarah: 74)
Betapa berbahayanya keras hati ini, sebab ia membuat seseorang sulit bertaubat. Ia tahu perbuatannya salah, tapi tidak mampu berhenti. Ia sadar maksiat merugikannya, tapi sudah terlambat — hatinya tertutup oleh kerak dosa.
Melihat Kepada Siapa Kita Bermaksiat
Inilah inti dari nasihat Bilal bin Sa’ad rahimahullah. Ia tidak sekadar memperingatkan agar kita menjauhi dosa, tetapi mengajarkan cara berpikir yang benar dalam menyikapi dosa:
“Jangan lihat kecilnya maksiat, tapi lihatlah kepada siapa engkau bermaksiat.”
Kita bermaksiat bukan kepada manusia, tetapi kepada Rabb yang Maha Agung, Maha Melihat, Maha Mengetahui segala rahasia. Dosa yang tampak kecil di mata kita — seperti ghibah ringan, pandangan yang tidak dijaga, atau kelalaian dalam salat — bisa menjadi sangat besar di sisi Allah karena dilakukan dengan sikap meremehkan-Nya.
Bayangkan, bagaimana seorang hamba berani bermaksiat di hadapan Zat yang telah memberinya kehidupan, rezeki, dan segala kenikmatan? Bukankah itu bentuk kedurhakaan yang luar biasa?
Jalan Kembali: Taubat dan Muhasabah
Meski maksiat membawa kehancuran, Islam tidak menutup pintu bagi siapa pun yang ingin kembali. Rahmat Allah selalu lebih luas dari dosa manusia.
> “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.”
(QS. Az-Zumar: 53)
Taubat sejati lahir dari penyesalan mendalam dan tekad kuat untuk tidak mengulang dosa. Ia dibarengi dengan muhasabah — introspeksi diri — agar setiap langkah hidup kembali diarahkan pada keridhaan Allah.
Ketika seseorang menangis karena takut dosanya, itu tanda bahwa hatinya masih hidup. Maka jangan tunggu hati menjadi keras baru ingin bertobat. Selagi masih diberi waktu, segera kembali sebelum ajal datang menjemput.
Menjaga Hati dengan Ketaatan
Sebagaimana maksiat mengotori hati, maka ketaatan adalah pembersihnya. Perbanyak dzikir, baca Al-Qur’an, dan hadir dalam majelis ilmu. Hati yang sibuk dengan kebaikan tidak akan sempat melakukan keburukan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Barang siapa yang duduk di suatu majelis lalu banyak berdzikir kepada Allah di dalamnya, maka itu akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat.”
(HR. Ahmad)
Ketaatan bukan hanya bentuk ibadah, tetapi juga benteng dari maksiat. Karena setiap kali kita dekat dengan Allah, syaitan menjadi lemah dan hawa nafsu terkekang.
Penutup
Setiap Muslim harus sadar bahwa maksiat bukan sekadar perbuatan dosa, tetapi racun halus yang perlahan-lahan membunuh iman. Ia melemahkan hubungan kita dengan Allah, mencuri keberkahan, dan memadamkan cahaya hati. Maka berhati-hatilah dengan dosa sekecil apa pun — bukan karena besar atau kecilnya, tapi karena kebesaran Dzat yang kita durhakai.
Semoga Allah menjaga kita dari perbuatan maksiat, meneguhkan hati di atas ketaatan, dan menjadikan setiap langkah kita menuju ridha-Nya.
“Jangan pandang kecilnya maksiatmu, tapi pandanglah besarnya Tuhan yang engkau durhakai.” (Oleh: Tengku Iskandar – Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
