Surau.co. Di tengah dunia yang riuh oleh ambisi, citra, dan pencapaian, Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn karya Imam al-Ghazālī seperti hembusan angin yang menenangkan. Dari Kairo—pusat intelektual Islam abad ke-11—hingga ke kampung-kampung di Nusantara hari ini, pesan keikhlasan yang ia ajarkan tetap menyala. Kitab ini bukan sekadar karya tentang ilmu agama, tapi juga panduan tentang bagaimana hati tetap jernih di tengah hiruk-pikuk dunia yang memuja pengakuan.
Frasa kunci Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn muncul sebagai simbol kehidupan ruhani yang tak pernah padam. Imam al-Ghazālī menulisnya setelah perjalanan batin yang panjang—meninggalkan jabatan, kemasyhuran, dan kekuasaan—demi mencari hakikat keikhlasan sejati. Kini, seribu tahun kemudian, pesan itu terasa makin relevan.
Keikhlasan di Tengah Riuhnya Dunia
Manusia modern hidup di tengah dunia yang penuh sorotan. Setiap amal, bahkan kebaikan, kerap diabadikan dalam bentuk unggahan, dilihat ribuan mata, dan dinilai dalam hitungan “likes”. Dalam konteks ini, keikhlasan menjadi ujian yang berat. Imam al-Ghazālī, dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, mengingatkan bahwa ikhlas adalah rahasia antara hamba dan Tuhannya.
Beliau menulis:
«الإِخْلَاصُ سِرٌّ بَيْنَ العَبْدِ وَرَبِّهِ، لَا يَعْلَمُهُ مَلَكٌ فَيَكْتُبَهُ، وَلَا شَيْطَانٌ فَيُفْسِدَهُ، وَلَا هَوًى فَيَمِيلُهُ»
“Keikhlasan adalah rahasia antara hamba dan Tuhannya. Tidak diketahui malaikat untuk ditulis, tidak diketahui setan untuk dirusak, dan tidak diketahui hawa nafsu untuk dimiringkan.”
(Iḥyā’, Juz 4, Kitāb al-Ikhlāṣ wa an-Niyyah)
Dalam dunia yang segalanya bisa direkam dan disebarkan, menjaga rahasia seperti itu adalah perjuangan batin. Al-Ghazālī mengajarkan bahwa amal yang tidak disandarkan pada niat suci hanyalah bayangan yang hampa.
Fenomena Sehari-hari: Antara Niat dan Pengakuan
Banyak orang hari ini berbuat baik, tapi merasa kecewa saat tidak mendapat pujian. Di sisi lain, ada yang takut berbuat kebaikan karena khawatir disebut “pamer.” Keduanya adalah jebakan hati yang sama-sama menjauhkan dari ikhlas. Imam al-Ghazālī membahas hal ini dengan lembut namun mendalam.
Ia menulis:
«كُلُّ مَا تَعْمَلُهُ لِغَيْرِ اللَّهِ، فَهُوَ رِيَاءٌ، وَكُلُّ مَا تَتَرَقَّبُ بِهِ النَّاسَ، فَهُوَ هَوًى»
“Setiap amal yang tidak dilakukan karena Allah adalah riya’, dan setiap perbuatan yang menunggu penilaian manusia adalah hawa nafsu.”
(Iḥyā’, Juz 3, Kitāb Riā’)
Dalam kalimat ini, Al-Ghazālī tidak sekadar melarang riya’, tapi mengajarkan disiplin batin: untuk memeriksa niat sebelum, selama, dan sesudah beramal. Ia mengajak kita menapaki jalan sunyi di tengah kebisingan pujian.
Pelajaran dari Guru Zaman Lampau
Satu hal yang membuat Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn istimewa adalah gaya Al-Ghazālī yang tidak menggurui. Ia tidak berbicara dari menara gading ilmu, tetapi dari pengalaman pribadi. Ia pernah menjadi profesor terkemuka di Universitas Nizāmiyyah Baghdad, dielu-elukan sebagai ulama besar, namun hatinya gelisah.
Kegelisahan itu mendorongnya menulis karya ini. Dalam kata pengantarnya, ia mengaku:
«فَنَظَرْتُ فِي أَحْوَالِ النَّاسِ، فَرَأَيْتُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ هَالِكُونَ، لِغَفْلَتِهِمْ عَنْ نِيَّاتِهِمْ»
“Aku memperhatikan keadaan manusia, dan aku melihat kebanyakan dari mereka binasa karena lalai terhadap niat mereka.”
(Iḥyā’, Muqaddimah)
Kejujuran spiritual ini jarang kita temui hari ini. Di saat banyak orang berlomba menjadi “sumber inspirasi,” Al-Ghazālī memilih menjadi cermin yang mengajak kita menatap ke dalam diri. Ia ingin setiap manusia jujur pada niatnya, sekecil apa pun amalnya.
Menghidupkan Keikhlasan di Kampung Hati
Membaca Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn bukanlah sekadar studi teks klasik, melainkan perjalanan spiritual. Kitab ini mengajarkan bahwa keikhlasan tidak tumbuh dalam semalam. Ia butuh latihan: muraqabah (kesadaran diawasi Allah), muhasabah (introspeksi diri), dan tazkiyah (pembersihan jiwa).
Dalam satu bagian, Al-Ghazālī menulis:
«إِنَّمَا الإِخْلَاصُ أَنْ تَسْتَوِيَ أَفْعَالُكَ فِي السِّرِّ وَالعَلَانِيَةِ»
“Keikhlasan adalah ketika amalmu sama antara yang dilakukan di depan manusia dan yang dilakukan dalam kesendirian.”
(Iḥyā’, Juz 4)
Bayangkan jika prinsip ini menjadi budaya di masyarakat modern—dunia akan lebih tenang. Kita tidak lagi sibuk membangun citra, tapi membangun makna.
Keikhlasan sebagai Seni Hidup
Bagi Al-Ghazālī, ikhlas adalah seni. Ia bukan hasil paksaan, tapi buah dari kesadaran bahwa hidup ini bukan tentang kita, melainkan tentang Allah. Maka keikhlasan, dalam makna terdalamnya, adalah kebebasan: bebas dari ketergantungan terhadap pujian manusia.
Fenomena masyarakat modern—dari pekerja kantoran, aktivis sosial, hingga pegiat dakwah online—menunjukkan betapa berat menjaga niat. Namun justru di situlah letak keindahannya. Karena ikhlas adalah seni menjaga keseimbangan antara berbuat baik di dunia, dan mengingat untuk siapa semua itu dilakukan.
Penutup: Dari Kairo ke Kampung Kita
Seribu tahun setelah wafatnya Imam al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn tetap hidup. Dari madrasah-madrasah di Kairo, pesantrenan di Nusantara, hingga ruang kecil hati setiap pembacanya, kitab ini berbisik lembut:
“Jangan biarkan dunia mengaburkan niatmu.”
Ketika manusia modern berlari mengejar pencapaian, Al-Ghazālī mengingatkan bahwa langkah kecil yang tulus lebih bermakna dari seribu langkah yang penuh pamrih.
Dan mungkin, di situlah rahasia kenapa Iḥyā’ tidak pernah usang: karena ia bukan sekadar buku, tapi napas panjang tentang kejujuran hati.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
