Surau.co. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan digital, ketika manusia berlomba menampilkan citra diri yang paling ideal di layar kaca dan media sosial, Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn karya Imam al-Ghazālī muncul seolah menepuk bahu kita dengan lembut: “Sudahkah engkau mengenali dirimu sendiri?” Kitab ini, meski lahir hampir seribu tahun lalu, masih terasa hangat dan relevan di jiwa manusia modern yang kerap kehilangan arah di tengah limpahan informasi dan godaan dunia maya.
Frasa kunci Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn tidak hanya menunjuk pada judul kitab, tapi juga makna besar: “menghidupkan ilmu agama.” Dan di zaman ini, ia terasa seperti proyek besar: reviving the soul in the age of distraction.
Menemukan Ketenangan di Tengah Kegelisahan Modern
Imam al-Ghazālī menulis Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn bukan sekadar sebagai ensiklopedia agama, melainkan sebagai “peta jiwa” — menggabungkan fikih, akhlak, dan tasawuf menjadi satu kesatuan. Ia ingin menghidupkan ruh dalam ilmu yang kering dari rasa. Dalam salah satu kutipannya, beliau menulis:
«العِلْمُ بِلَا عَمَلٍ جُنُونٌ، وَالعَمَلُ بِلَا عِلْمٍ لَا يَكُونُ»
“Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu tidak akan berarti.”
(Iḥyā’, Juz 1, Kitāb al-‘Ilm)
Kata-kata itu terasa seperti teguran halus bagi masyarakat modern yang mungkin tahu banyak hal, tapi sering kehilangan makna. Kita sibuk menumpuk pengetahuan, namun jarang menanamkan kebijaksanaan.
Al-Ghazālī tidak menolak dunia, tapi mengajarkan cara memaknai dunia. Ia tahu manusia akan hidup dalam kompleksitas — bekerja, berkeluarga, berinteraksi — namun ia ingin setiap aktivitas itu kembali menjadi bagian dari ibadah yang menyucikan hati.
Antara Ilmu dan Ruh: Pesan yang Tak Pernah Kedaluwarsa
Dalam struktur Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Imam al-Ghazālī membagi ilmunya ke dalam empat rub‘ (bagian besar): ibadah, adab, penyakit hati, dan penyucian jiwa. Di setiap bagian, ia mengajak kita menyeimbangkan antara pengetahuan dan pengalaman batin.
Di bab pertama, Kitāb al-‘Ilm, beliau menulis:
«مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِغَيْرِ اللَّهِ أَبَاهُ اللَّهُ عَلَيْهِ، وَمَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِلَّهِ فَلَا يَزَالُ يَزْدَادُ مِنْهُ كَرَامَةً»
“Barangsiapa menuntut ilmu bukan karena Allah, maka Allah akan menjadikannya hina. Dan barangsiapa menuntut ilmu karena Allah, maka Allah akan meninggikan derajatnya.”
(Iḥyā’, Juz 1)
Pesan ini menembus ruang dan waktu. Ia berbicara kepada para pelajar modern, dosen, peneliti, bahkan influencer. Bahwa esensi ilmu bukan di panggungnya, tapi di niatnya.
Dari Dunia Digital ke Dunia Hati
Fenomena manusia modern adalah paradoks: semakin terhubung secara teknologi, namun semakin jauh secara batin. Banyak orang merasa “online” tapi hatinya “offline.” Di sinilah Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn kembali menjadi oase.
Dalam Rub‘ al-Muhlikāt (bagian tentang penyakit hati), Imam al-Ghazālī menulis:
«أَصْلُ كُلِّ خَطِيئَةٍ حُبُّ الدُّنْيَا»
“Akar segala kesalahan adalah cinta dunia.”
(Iḥyā’, Juz 3, Kitāb Dhamm al-Dunyā)
“Cinta dunia” di sini bukan berarti membenci kehidupan, tetapi terlalu melekat padanya hingga lupa pada Sang Pencipta. Di era media sosial, ini bisa bermakna: mencintai validasi, mengejar angka “likes”, atau merasa berharga hanya saat dilihat orang lain.
Al-Ghazālī ingin kita kembali ke kesadaran bahwa dunia hanyalah perantara, bukan tujuan. Dalam bahasa modern, Iḥyā’ mengajarkan “digital minimalism” spiritual — hidup secukupnya, tapi bermakna.
Penyucian Jiwa di Tengah Dunia yang Bising
Pada bagian keempat, Rub‘ al-Munjiyāt (penyelamat jiwa), Al-Ghazālī memperkenalkan konsep tazkiyatun nafs — pembersihan hati dari segala kotoran batin. Ia menulis:
«لَا يَسْتَقِيمُ حَالُ الْقَلْبِ حَتَّى يَسْتَقِيمَ حَالُ الْجَوَارِحِ، وَلَا يَسْتَقِيمُ حَالُ الْجَوَارِحِ حَتَّى يَسْتَقِيمَ حَالُ الْقَلْبِ»
“Keadaan hati tidak akan lurus hingga luruslah anggota tubuh, dan keadaan tubuh tidak akan lurus hingga luruslah hati.”
(Iḥyā’, Juz 4)
Kalimat ini adalah cermin kehidupan modern yang penuh “kegaduhan”. Kita mempercantik kulit luar — feed media sosial, pencapaian karier, status sosial — namun jarang menata batin.
Menurut Al-Ghazālī, keseimbangan lahir dan batin adalah syarat untuk kebahagiaan sejati. Ia mengajarkan tazkiyah bukan sebagai teori, tapi latihan: mulai dari kejujuran, syukur, sabar, hingga ikhlas.
Membumikan Hikmah Iḥyā’ di Zaman Sekarang
Mengapa Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn masih berbicara pada jiwa modern? Karena kitab ini tidak bicara tentang masa, tapi tentang manusia. Ia memahami bahwa kegelisahan spiritual bukan monopoli abad ke-11, tetapi kenyataan lintas zaman.
Dalam satu kalimat indah, Al-Ghazālī berkata:
«مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ»
“Barangsiapa mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya.”
(Iḥyā’, Juz 4)
Kata-kata ini mungkin sederhana, tapi di dalamnya ada revolusi batin: bahwa perjalanan hidup sejati adalah perjalanan mengenal diri, dan dari situ mengenal Tuhan.
Bagi manusia modern, ini berarti berani berhenti sejenak dari kebisingan notifikasi, menengok ke dalam, dan bertanya: “Apakah aku masih hidup di bawah cahaya-Nya, atau hanya di bawah sorot layar?”
Penutup: Nafas Iḥyā’ di Dunia Kita
Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn adalah jembatan antara ilmu dan rasa, antara kepala dan hati. Ia tidak hanya mengajarkan apa yang benar, tapi juga bagaimana menjadi manusia yang benar.
Dalam konteks kehidupan modern yang cepat, karya Imam al-Ghazālī ini mengajarkan kita untuk melambat, untuk kembali mendengar bisikan hati. Karena dalam diam yang jujur, kita menemukan suara Tuhan yang paling lembut.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
