Surau.co.
Dalam khazanah Islam klasik, hampir tak ada disiplin ilmu yang menuntut ketelitian setinggi ‘Ulūm al-Ḥadīth. Setiap huruf, nama, dan jalur sanad diteliti dengan seksama—seolah para ulama sedang menakar kejujuran dan ketepatan di hadapan sejarah. Di tengah tradisi ketelitian itu, lahirlah sebuah karya penting yang menjadi simbol kejujuran ilmiah: Taqrīb al-Tahdhīb, mahakarya al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī.
Kitab ini tidak sekadar menyajikan biografi para perawi, melainkan mencerminkan semangat keilmuan Islam: singkat tapi padat, ringkas namun dalam, akademik sekaligus spiritual. Dalam karya itu, Ibn Ḥajar merangkum lebih dari dua belas ribu nama perawi hanya dalam satu atau dua baris. Dari sana, terbentuk fondasi kokoh bagi penelitian hadits hingga hari ini.
Ilmu yang Tumbuh dari Kejujuran dan Kebutuhan Manusia
Setiap pelajar hadits pasti mengenal momen berharga: membuka kitab kuning di ruang madrasah yang remang, mencari nama seorang perawi, lalu menemukan satu kata penentu kualitas—thiqah, maqbūl, atau layyin. Satu kata yang mampu mengubah kesimpulan seluruh sanad.
Dalam mukadimahnya, Ibn Ḥajar menulis:
«وَرَأَيْتُ أَنَّ أُجِيبَهُ إِلَى مَسْأَلَتِهِ، وَأَسْعَفَهُ بِطَلَبِتِهِ، عَلَى وَجْهٍ يُحَقِّقُ مَقْصُودَهُ بِالإِفَادَةِ…»
“Aku melihat bahwa aku perlu menjawab permintaannya dan menolongnya dengan cara yang mewujudkan tujuannya dalam memperoleh manfaat.”
Beliau menambahkan:
«بِأَلْخَصِ عِبَارَةٍ، وَأَخْلَصِ إِشَارَةٍ، بِحَيْثُ لَا تَزِيدَ كُلّ تَرْجُمَةٍ عَلَى سَطْرٍ وَاحِدٍ غَالِبًا…»
“Dengan ungkapan yang paling ringkas dan isyarat yang paling jernih, sehingga tiap terjemahan tidak melebihi satu baris pada umumnya.”
Dari dua kalimat itu tampak jelas bahwa Taqrīb tidak lahir dari ambisi, tetapi dari keikhlasan. Ibn Ḥajar menulis bukan untuk menonjolkan kecendekiaannya, melainkan untuk menjawab kebutuhan umat agar ilmu hadits lebih mudah diakses tanpa kehilangan kedalaman.
Ketelitian sebagai Etika, Bukan Sekadar Metode
Lebih jauh, Ibn Ḥajar menegaskan bahwa ketelitian bukan semata prosedur ilmiah. Ia menulis:
«أُحْكِمُ عَلَى كُلِّ شَخْصٍ مِنْهُمْ بِحُكْمٍ يَشْمَلُ أَصَحَّ مَا قِيلَ فِيهِ، وَأَعْدَلَ مَا وُصِفَ بِهِ…»
“Aku menetapkan penilaian atas setiap orang dari mereka dengan hukum yang mencakup apa yang paling sahih dikatakan tentangnya dan yang paling adil untuk disifatkan kepadanya.”
Dengan kata lain, ketelitian baginya adalah bentuk keadilan. Ia tidak terburu-buru memvonis, tetapi menilai dengan penuh tanggung jawab ilmiah. Inilah etika yang membuat karya Ibn Ḥajar melampaui batas akademik—karena ketelitian dalam pandangannya merupakan bagian dari ibadah.
Oleh sebab itu, setiap peneliti hadits diajak untuk memahami bahwa kehati-hatian bukanlah beban, melainkan cermin rasa takut kepada Allah dan penghormatan terhadap warisan Rasulullah ﷺ.
Ketelitian dalam Kehidupan Sehari-hari
Di ruang kelas, para santri dan mahasiswa membuka Taqrīb hampir setiap hari. “Apa kata Ibn Ḥajar tentang rawī ini?” tanya seorang santri muda. Gurunya tersenyum dan menjawab, “Coba lihat, di Taqrīb beliau menulis ṣadūq yahim—jujur, tapi kadang keliru.”
Percakapan itu berkembang. Para pelajar mendiskusikan, apakah hadits dari rawī semacam itu bisa dijadikan hujjah. Salah seorang membuka Tahdhīb al-Tahdhīb untuk menelusuri lebih jauh. Dari satu baris dalam Taqrīb, lahirlah dialog panjang tentang kejujuran dan tanggung jawab ilmiah.
Melalui dinamika itu, tampak bahwa tradisi Islam tidak hanya mencatat data, tetapi membangun karakter. Karena itu, Allah berfirman:
﴿وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا﴾
“Dan katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah aku ilmu.” (QS. Ṭāhā: 114)
Ayat ini menegaskan bahwa setiap pencari ilmu sejati tidak pernah berhenti belajar. Ia memohon agar pengetahuannya terus bertambah sekaligus membersihkan hati.
Dari Akademik ke Spiritualitas: Menghidupkan Ilmu yang Jujur
Kini, di era digital, ilmu dapat diakses dengan cepat. Namun, kecepatan sering mengikis ketelitian. Banyak orang lebih tergoda oleh kecepatan informasi daripada kedalaman makna. Dalam konteks inilah, Taqrīb al-Tahdhīb hadir sebagai pengingat: ilmu tanpa kehati-hatian hanya melahirkan kebisingan.
Ibn Ḥajar mengajarkan bahwa kejujuran terhadap ilmu sama dengan kejujuran terhadap Allah. Dalam hadits sahih disebutkan:
«مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ»
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, maka Dia memberinya pemahaman mendalam tentang agama.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim)
Pemahaman mendalam itu hanya mungkin hadir melalui ketelitian. Maka, kehati-hatian sejatinya adalah bentuk kasih Allah kepada hamba yang berpikir jujur.
Refleksi: Menjadi Pelanjut Tradisi Ketelitian
Dalam pendidikan modern, mahasiswa sering diajarkan cara menulis dan meneliti, namun jarang diajak merenungi alasan di balik ketelitian itu. Ibn Ḥajar menjawab dengan tegas: karena ilmu adalah amanah. Kelalaian sedikit saja bisa menyesatkan, bukan hanya pikiran, tapi juga generasi berikutnya.
Bagi Islam, ketelitian bukan sekadar keterampilan, tetapi laku spiritual. Ia lahir dari kesadaran bahwa di balik setiap catatan tersimpan tanggung jawab terhadap kebenaran dan terhadap Allah.
Penutup: Taqrīb, Cermin dari Jiwa yang Jujur
Lebih dari enam abad berlalu, Taqrīb al-Tahdhīb tetap menjadi rujukan utama dalam studi hadits. Karya ini membuktikan bahwa ketelitian adalah bahasa abadi—tak lapuk oleh waktu, tak pudar oleh teknologi.
Ibn Ḥajar menulis dengan pena, namun sejatinya ia sedang mengajar dengan hati. Ia menunjukkan bahwa ilmu bisa ringkas tanpa kehilangan kedalaman, bisa kritis tanpa kehilangan kelembutan.
Pada akhirnya, setiap lembar Taqrīb al-Tahdhīb mengajarkan pesan sederhana: belajar dengan teliti adalah bentuk cinta—cinta kepada ilmu, kepada Rasulullah ﷺ, dan kepada Tuhan yang Maha Benar.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
