Khazanah
Beranda » Berita » Mengenal Istilah “Maqbūl” dan “Layyin”: Dua Status Perawi di Antar a Kuat dan Lemah

Mengenal Istilah “Maqbūl” dan “Layyin”: Dua Status Perawi di Antar a Kuat dan Lemah

Ulama membaca Taqrīb al-Tahdhīb dengan catatan maqbūl dan layyin di meja
Ilustrasi ini menampilkan suasana penelitian hadits klasik di mana ulama membuka kitab Taqrīb al-Tahdhīb,

Surau.co. Dalam pembelajaran hadits, frasa kunci “maqbūl” dan “layyin” dalam kitab Taqrīb al-Tahdhīb tetap memegang peran penting sebagai indikator penilaian. Istilah-istilah tersebut muncul sejak paragraf pertama pembahasan dan terus berulang sepanjang artikel ini untuk mengoptimalkan pencarian kata kunci: maqbūl dan layyin dalam Taqrīb al-Tahdhīb. Melalui pendekatan naratif yang sederhana serta contoh kehidupan nyata, kita akan menelusuri bagaimana dua label itu digunakan oleh Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī dalam ilmu rijāl (‘ulūm al-rawī), lalu kita refleksikan relevansinya di era modern.

Kehidupan Sehari-hari yang Menggambarkan Kajian Perawi

Bayangkan seorang mahasiswa hadits sedang menelusuri sanad—rantai transmisi hadits yang panjang dan rumit. Ia bertanya kepada gurunya, “Bagaimana kita tahu bahwa rawī X dapat dipercaya?” Sang guru membuka Taqrīb, kemudian membaca: “…مقبولٌ، ليس بثقةٍ” atau “…لين الحديث”. Melalui label singkat itu, mahasiswa langsung memahami: rawī tersebut maqbūl atau layyin. Dengan begitu, fungsi dua istilah ini tampak nyata—sebagai jembatan antara nama perawi dan penilaian kualitas riwayat.

Makna dan Posisi “Maqbūl” dalam Konteks Taqrīb

Dalam Taqrīb al-Tahdhīb, Ibn Ḥajar menggunakan istilah maqbūl untuk menandai perawi yang riwayatnya diterima, tetapi belum mencapai derajat tertinggi thiqah. Ia sering menulis “مقبولٌ الحديث” sebagai penanda bahwa riwayat tersebut sahih namun memiliki catatan kecil. Dengan kata lain, maqbūl menggambarkan posisi pertengahan: diterima tetapi belum sempurna.

Sebaliknya, istilah layyin al-ḥadīth muncul untuk menunjukkan kelemahan ringan. Para ulama menilainya sebagai “the least severe level of criticism.” Oleh karena itu, maqbūl menempati tingkat yang lebih tinggi dibanding layyin, tetapi tetap di bawah thiqah.

Ibn Ḥajar sendiri menegaskan:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

«…أُحْكِمُ عَلَى كُلِّ شَخْصٍ مِنْهُمْ بِحُكْمٍ يَشْمَلُ أَصَحَّ مَا قِيلَ فِيهِ، وَأَعْدَلَ مَا وُصِفَ بِهِ…»
“Aku menetapkan bagi setiap perawi suatu penilaian yang mencakup pernyataan paling sahih dan deskripsi paling adil.”

Pernyataan ini menegaskan pendekatan ilmiah yang seimbang. Ibn Ḥajar tidak menilai secara sembarangan; ia menimbang setiap kata dengan kehati-hatian akademik.

Makna “Layyin” dan Posisinya Antara Kuat dan Lemah

Selanjutnya, istilah layyin al-ḥadīth berarti “haditsnya lemah” atau “lunak haditsnya.” Dalam hierarki kritik perawi, label ini masih tergolong ringan. Seorang perawi layyin tetap dapat diterima dalam kondisi tertentu—asal ada penguat dari sanad lain. Dengan demikian, ketika peneliti menemukan riwayat dari rawī layyin, ia perlu menelusuri dukungan sanad tambahan untuk memastikan keabsahannya.

Ibn Ḥajar menulis:

«بِأَلْخَصِ عِبَارَةٍ، وَأَخْلَصِ إِشَارَةٍ، بِحَيْثُ لَا تَزِيدَ كُلّ تَرْجُمَةٍ عَلَى سَطْرٍ وَاحِدٍ غَالِبًا…»
“Dengan ungkapan paling ringkas dan isyarat paling murni, sehingga tiap biografi tidak melebihi satu baris.”

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Melalui satu baris singkat, Ibn Ḥajar mampu menegaskan posisi setiap perawi. Misalnya: “جيد” untuk kuat, “مقبول” untuk diterima, dan “لين الحديث” untuk lemah ringan.

Fenomena dalam Pembelajaran Hadits di Kelas

Dalam halaqah atau kelas hadits, mahasiswa sering bertanya: “Ustadz, saya menemukan perawi dengan label maqbūldalam Taqrīb.” Guru menjelaskan, “Riwayatnya boleh digunakan secara ihtiyati (kehati-hatian), namun tidak cukup kuat untuk dasar hukum.”

Pada kesempatan lain, murid menemukan entri “لين الحديث”. Guru lalu menasihati agar mahasiswa tidak menolak begitu saja, tetapi mencari penguat dari rawī yang thiqah. Percakapan sederhana seperti ini memperlihatkan bagaimana maqbūldan layyin menjadi alat praktis yang hidup dalam proses belajar hadits.

Dengan begitu, Taqrīb al-Tahdhīb bukan sekadar kitab indeks, tetapi juga sarana latihan berpikir ilmiah. Ia mengajarkan tanggung jawab epistemologis—bahwa memahami lebih penting daripada sekadar mengutip.

Tantangan dan Relevansi di Era Modern

Kini, banyak pelajar hadits memanfaatkan aplikasi digital dan basis data sanad. Meskipun begitu, peran maqbūl dan layyin tetap penting karena:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

  1. Keduanya merangkum kebijaksanaan ulama klasik yang telah diuji berabad-abad.

  2. Keduanya menanamkan kebiasaan ilmiah untuk menelaah sebelum menerima.

  3. Keduanya mengingatkan bahwa antara “kuat” dan “lemah” selalu ada wilayah abu-abu yang perlu kehati-hatian.

Namun, perkembangan teknologi menghadirkan tantangan baru. Ringkasnya Taqrīb sering dianggap terlalu padat untuk penelitian mendalam. Oleh karena itu, pelajar modern perlu melengkapinya dengan pendekatan kontemporer: digital, statistik, atau analisis silang. Integrasi antara tradisi dan teknologi inilah yang menjaga ilmu hadits tetap hidup dan relevan.

Aplikasi Praktis bagi Mahasiswa dan Guru

  1. Saat menemukan entri “مقبول”, periksalah apakah terdapat rawī thiqah lain di jalur yang sama. Kemudian, tambahkan analisis seperti mudālaʿah, munḍaliṣ, atau shudhudh.

  2. Jika muncul “لين الحديث”, gunakan secara hati-hati. Jangan langsung menolak, tetapi pastikan ada dukungan sanad lain.

  3. Guru dapat melatih murid dengan tugas mingguan: pilih lima rawī, telusuri labelnya—“ثقة”, “مقبول”, atau “لين الحديث”—dan diskusikan implikasinya terhadap keabsahan hadits.

Melalui latihan seperti ini, proses belajar menjadi lebih hidup dan reflektif.

Kesimpulan

Dua frasa kunci, maqbūl dan layyin dalam Taqrīb al-Tahdhīb, menegaskan bahwa ilmu hadits klasik tetap relevan hingga kini. Keduanya merepresentasikan keseimbangan antara kekuatan dan kelemahan sanad. Selain itu, keduanya menumbuhkan sikap ilmiah, kehati-hatian, dan penghormatan terhadap metodologi ulama terdahulu.

Akhirnya, sebagaimana doa dalam Al-Qur’an:

﴿وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا﴾
“Dan katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah aku ilmu.” (QS. Ṭā Hā: 114)

Kita belajar bukan hanya untuk mengenali label, tetapi juga untuk memahami makna dan menghayati kebijaksanaan yang melingkupinya.

* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement