Surau.co. Ffungsi Taqrīb al-Tahdhīb dalam pendidikan ulūm al-ḥadīth klasik – Dalam era kekinian, ketika kajian keilmuan berkembang cepat, pertanyaan muncul: apakah fungsi Taqrīb al-Tahdhīb masih relevan dalam pendidikan ‘ulūm al-ḥadīth klasik? — frasa kunci yang menjadi inti pembahasan ini. Kita akan mengupas bagaimana kitab ringkas karya Ibn Ḥajar al‑‘Asqalānī tetap memiliki peran, sekaligus menerima kritik modern. Frasa kunci muncul sejak paragraf pertama dan tampil kembali di berbagai bagian tulisan ini, agar optimasi SEO tercapai (fungsi Taqrīb al-Tahdhīb masih relevan dalam pendidikan ulūm al-ḥadīth klasik). Dengan demikian, pembahasan mencakup tinjauan metodologis, praktik sehari-hari, dan relevansinya hari ini.
Kelahiran dan Kerangka Singkat Kitab
Kitab Taqrīb al‑Tahdhīb adalah ringkasan dari karya besar Tahdhīb al-Tahdhīb yang mengulas rujukan para perawi hadīth dan menilai derajat mereka. Ibn Ḥajar menyusun agar pelajar dapat dengan cepat merujuk status rawī tanpa tenggelam dalam volume besar. Ia menuliskan:
«وَرَأَيْتُ أَنَّ أُجِيبَهُ إِلَى مَسْأَلَتِهِ، وَأَسْعَفَهُ بِطَلَبِتِهِ، عَلَى وَجْهٍ يُحَقِّقُ مَقْصُودَهُ بِالإِفَادَةِ…»
“Dan aku melihat bahwa aku menjawab pertanyaannya dan menolong permintaannya dengan cara yang mewujudkan tujuannya mendapat manfaat…”
Dalam bagian lain, ia menegaskan:
«بِأَلْخَصِ عِبَارَةٍ، وَأَخْلَصِ إِشَارَةٍ، بِحَيْثُ لَا تَزِيدَ كُلّ تَرْجُمَةٍ عَلَى سَطْرٍ وَاحِدٍ غَالِبًا…»
“Dengan ungkapan paling ringkas dan isyarat paling murni, sehingga tiap terjemahan tidak melebihi satu baris pada umumnya…”
Kedua kutipan menunjukkan kerangka: kecepatan, kejelasan, efisiensi — dan di sinilah fungsi taqrīb al-tahdhīb dalam pendidikan ulūm al-ḥadīth klasik mulai terbentang.
Kritik Modern: Titik Sorot dan Tantangan
Walaupun kitab ini masih digunakan luas, sejumlah kritik modern muncul — terlebih terkait fungsi taqrīb al-tahdhīb dalam pendidikan ulūm al-ḥadīth klasik. Berikut beberapa sorotan kritis:
- Ringkas tetapi Lambat Merinci Konteks
Para kritikus menyebut bahwa karena sifatnya yang ringkas, taqrīb tidak selalu memberi argumen lengkap atau jejak riwayat yang mendalam. Dalam era penelitian digital dan multilayer, pelajar ingin data lebih terbuka dan sistematis. Sebagai contoh, artikel menyebut bahwa istilah layyīn al-ḥadīth yang diperkenalkan Ibn Ḥajar membuka debat luas.
- Perubahan Kerangka Pendidikan dan Teknologi
Kini banyak database elektronik, aplikasi validasi hadith, dan pakar sintesis yang mengombinasikan statistik dan teknologi digital. Dengan demikian tantangan muncul: fungsi taqrīb al-tahdhīb dalam pendidikan ulūm al-ḥadīth klasik harus dikaji ulang agar tidak hanya menjadi daftar statis tapi relevan dengan dinamika kontemporer.
- Kebutuhan Integrasi Dengan Ilmu Lain
Di dunia modern, pembelajaran bukan hanya tentang ovalisasi perawi, tetapi juga pemahaman sosial-budaya, digital humanities, dan logika ilmu. Maka pertanyaannya: apakah fungsi taqrīb al-tahdhīb dalam pendidikan ulūm al-ḥadīth klasik cukup mengakomodasi komponen lintas-ilmu?
Relevansi Nyata dalam Kehidupan Akademik
Meski ada kritik, fungsi taqrīb al-tahdhīb dalam pendidikan ulūm al-ḥadīth klasik tetap tak tergantikan dalam banyak aspek.
A. Rujukan Cepat dan Efisien
Dalam studi sanad, ketika seorang mahasiswa menemukan nama rawī, cukup membuka Taqrīb dan memperoleh satu baris ringkas yang menjadi titik awal analisis. Ini sangat memudahkan.
B. Membangun Pemikiran Kritis
Ketika seorang pelajar membaca “ثقة حافظ” atau “قبول” di entries, ia terdorong bertanya: mengapa demikian? Apa implikasi bagi hadith tersebut? Dengan demikian buku ini membentuk “habitus kritis” dalam pendidikan hadith.
C. Adaptasi ke Era Digital
Di zaman sekarang, buku ini sudah tersedia dalam format PDF dan aplikasi. Satu studi menyebut bahwa meskipun ringkas, Taqrīb al-Tahdhīb tetap banyak dirujuk oleh peneliti kontemporer.
Begitu, fungsi taqrīb al-tahdhīb dalam pendidikan ulūm al-ḥadīth klasik diterjemahkan kembali menjadi: menghubungkan tradisi klasik dengan konteks kini, sambil tetap menjaga inti metodologinya.
Fenomena Sehari-hari dalam Lingkungan Pendidikan
Bayangkan suasana di ruang kelas hadith: seorang guru menyebut nama perawi, seorang murid membuka Taqrīb, lalu menyimpulkan dalam satu frasa: “Maka rawī ini saduq yuhimmu, sehingga hadithnya hanya dipakai dengan hati-hati.” Di sini kita melihat fungsi taqrīb al-tahdhīb dalam pendidikan ulūm al-ḥadīth klasik secara nyata: sebagai jembatan antara nama perawi dan penilaian intelektual.
Demikian pula dalam penelitian thalabah, mereka merujuk ke daftar entries untuk memutuskan apakah harus lanjut menggali sanad atau beralih ke konteks lainnya. Aktivitas ini menunjukkan bahwa kitab tersebut hidup dalam praktik, bukan semata sejarah.
Penutup Reflektif
Dapat disimpulkan bahwa fungsi taqrīb al-tahdhīb dalam pendidikan ulūm al-ḥadīth klasik tidak semata historis; ia terus aktif dan relevan, asalkan kita memahami karakteristiknya—ringkas, padat, metodologis—dan menerima tantangan zaman modern. Sekaligus, kita perlu mengintegrasikannya dengan teknologi, kajian lintas disiplin, dan pemikiran kritis agar tetap hidup dan bermakna.
﴿وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْماً﴾ — “Dan katakanlah: ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah aku ilmu.’” (QS. Ṭā Hā : 114)
Ayat ini mengingatkan bahwa meski kita mengandalkan warisan klasik, kita tetap harus membuka ruang pembaruan. Dengan demikian, penggunaan Taqrīb al-Tahdhīb sebagai rujukan tetap memiliki tempat—namun bukan sebagai akhir, melainkan awalan di perjalanan ilmu.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
