Khazanah
Beranda » Berita » Fungsi Taqrīb al-Tahdhīb dalam Pendidikan ‘Ulūm al-Ḥadīth Klasik

Fungsi Taqrīb al-Tahdhīb dalam Pendidikan ‘Ulūm al-Ḥadīth Klasik

Ulama membaca kitab Taqrīb al-Tahdhīb di ruang belajar klasik Islam.
Menggambarkan suasana belajar hadith klasik di abad pertengahan: keseimbangan antara ilmu, adab, dan cahaya pengetahuan.

Surau.co. Dalam khazanah keilmuan Islam klasik, tak ada ilmu yang begitu teliti menimbang kejujuran manusia selain ‘Ulūm al-Ḥadīth. Di dalamnya, para ulama menimbang kata-kata Nabi ﷺ melalui rantai panjang para perawi yang meriwayatkannya. Di antara karya penting yang menjadi poros dalam kajian ini ialah Taqrīb al-Tahdhīb karya al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī.
Kitab ini, meski ramping, memegang peran besar dalam pendidikan hadith klasik. Ia bukan hanya daftar nama, melainkan peta jalan menuju ketelitian ilmiah dan kejujuran intelektual.

Sejak awal, fungsi Taqrīb al-Tahdhīb dalam pendidikan ‘Ulūm al-Ḥadīth klasik menjadi jantung dari sistem belajar di madrasah-madrasah tradisional. Kitab ini menjadi “kamus cepat” bagi para santri dan muhaddith muda yang berlatih membaca sanad dan menilai kualitas perawi. Di era digital sekarang pun, fungsi itu tetap relevan—ia menjadi rujukan metodologis yang tak lekang oleh waktu.

Menyederhanakan yang Rumit, Meringkas yang Luas

Bayangkan seorang pelajar hadith yang harus menelusuri ratusan nama perawi. Tanpa panduan, ia bisa tersesat dalam lautan nama: siapa yang thiqah (tepercaya), siapa yang ḍa‘īf (lemah), atau siapa yang dikenal munkar al-ḥadīth. Ibn Ḥajar memahami kebutuhan itu. Dalam mukadimahnya, ia menulis:

«وَرَأَيْتُ أَنَّ أُجِيبَهُ إِلَى مَسْأَلَتِهِ، وَأَسْعَفَهُ بِطَلَبِتِهِ، عَلَى وَجْهٍ يُحَقِّقُ مَقْصُودَهُ بِالإِفَادَةِ…»
“Aku melihat bahwa aku perlu menjawab permintaannya, menolongnya dengan caranya, agar tujuannya memperoleh manfaat dapat terwujud.”
(Taqrīb al-Tahdhīb, Muqaddimah)

Kitab ini ringkas, tapi menyimpan kebijaksanaan besar. Ibn Ḥajar menulis biografi lebih dari 12 ribu perawi hanya dalam satu atau dua baris tiap nama—suatu capaian luar biasa dalam literatur Islam.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

«بِأَلْخَصِ عِبَارَةٍ، وَأَخْلَصِ إِشَارَةٍ، بِحَيْثُ لَا تَزِيدَ كُلّ تَرْجُمَةٍ عَلَى سَطْرٍ وَاحِدٍ…»
“Dengan ungkapan paling ringkas dan isyarat paling jernih, sehingga tiap terjemahan tidak melebihi satu baris.”

Ringkas bukan berarti dangkal. Ia padat dengan metodologi jarḥ wa ta‘dīl—ilmu menilai kredibilitas perawi hadith. Itulah sebabnya, dalam sistem pendidikan klasik, Taqrīb menjadi “pintu masuk” sebelum pelajar naik ke kitab-kitab yang lebih tebal seperti Tahdhīb al-Tahdhīb atau Lisān al-Mīzān.

Kitab yang Melatih Ketelitian dan Kejujuran Ilmiah

Ibn Ḥajar bukan hanya seorang penghafal hadith; ia juga pendidik yang peka. Ia ingin agar pelajar hadith terbiasa adil dan proporsional dalam menilai seseorang. Dalam mukadimahnya, ia menulis:

«أُحْكِمُ عَلَى كُلِّ شَخْصٍ مِنْهُمْ بِحُكْمٍ يَشْمَلُ أَصَحَّ مَا قِيلَ فِيهِ، وَأَعْدَلَ مَا وُصِفَ بِهِ…»
“Aku menetapkan penilaian atas setiap orang dari mereka dengan hukum yang mencakup apa yang paling sahih dikatakan tentangnya dan yang paling adil untuk disematkan padanya.”

Kalimat itu terasa sangat etis. Ia mengajarkan kepada pelajar bahwa ilmu hadith bukan sekadar hafalan, tapi latihan moral: mencari yang paling sahih, bersikap adil, dan menahan diri dari berlebihan.
Dalam konteks pendidikan, fungsi Taqrīb al-Tahdhīb menjadi pembentuk karakter ilmiah—melatih disiplin, kecermatan, dan kejujuran akademik.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Konteks Humanistik dalam Pembelajaran

Di madrasah tradisional, pembelajaran hadith sering berlangsung dalam halaqah kecil. Guru menyebut nama perawi, murid membuka kitab, lalu membaca:
“ثقة حافظ” — tepercaya dan kuat hafalannya,
atau
“صدوق يَهِمُ” — jujur, tetapi kadang keliru.

Diskusi pun berkembang. Mengapa perawi ini dikatakan ṣadūq tapi bukan thiqah? Apa dampaknya bagi kualitas hadith?
Kelas menjadi ruang hidup, penuh tanya-jawab, dan melatih nalar kritis. Di situlah fungsi Taqrīb al-Tahdhīb dalam pendidikan ‘Ulūm al-Ḥadīth klasik menemukan jiwanya: bukan sekadar teks, tapi alat dialog antara generasi.

Fenomena itu sejalan dengan prinsip Al-Qur’an:

﴿قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ﴾
“Katakanlah: apakah sama orang-orang yang mengetahui dan yang tidak mengetahui?”
(QS. az-Zumar : 9)

Ayat ini menegaskan bahwa ilmu menuntut kesungguhan, bukan sekadar mengikuti arus. Taqrīb menjadi alat menata ilmu agar tak sekadar hafalan, tetapi pengetahuan yang berakar pada kejelasan dan bukti.

Dari Klasik ke Kontemporer

Meski lahir berabad-abad lalu, fungsi Taqrīb al-Tahdhīb tetap hidup hingga kini. Di kampus dan pesantren modern, kitab ini menjadi referensi digital yang bisa diakses lewat aplikasi hadith. Pelajar cukup mengetik nama perawi—dan muncullah satu baris evaluasi Ibn Ḥajar yang padat makna.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Kitab ini mengajarkan satu hal penting dalam pendidikan modern: efisiensi tak boleh mengorbankan kedalaman.
Dalam dunia serba cepat, Taqrīb seolah mengingatkan: kecepatan boleh, asal tetap sahih dan adil.

«وَلَا يَزَالُ الْعِلْمُ بَيْنَ النَّاسِ مَا لَمْ يَتَّخِذُوهُ دُوَلًا…»
“Ilmu akan tetap hidup di tengah manusia selama tidak dijadikan alat perebutan kepentingan.”
(riwayat Ibn Ḥibbān)

Maka, peran kitab-kitab seperti Taqrīb bukan hanya akademik, tetapi juga moral—menjaga agar ilmu tetap suci dari bias dan ambisi.

Refleksi Akhir

Fungsi Taqrīb al-Tahdhīb dalam pendidikan ‘Ulūm al-Ḥadīth klasik tak berhenti pada ruang kajian. Ia mengalir ke cara berpikir, cara menilai, bahkan cara hidup ilmiah.
Setiap pelajar yang membuka lembarannya, sejatinya sedang dilatih untuk bersikap adil, hati-hati, dan rendah hati dalam menilai kebenaran.

Sebagaimana doa Al-Qur’an mengajarkan:

﴿وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا﴾
“Dan katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah aku ilmu.”
(QS. Ṭā Hā : 114)

Kalimat itu menjadi ruh pendidikan hadith klasik: ilmu tak pernah selesai. Setiap nama dalam Taqrīb al-Tahdhīb adalah pelajaran tentang kejujuran manusia di hadapan wahyu. Dan setiap pelajar yang membacanya, sedang menapaki jejak panjang para ulama yang menyalakan cahaya ilmu dari generasi ke generasi.

 

* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement