Khazanah
Beranda » Berita » Husnudzan ala Risālatul Mu‘āwanah: Melihat Dunia dengan Kacamata Cahaya

Husnudzan ala Risālatul Mu‘āwanah: Melihat Dunia dengan Kacamata Cahaya

ilustrasi husnudzan dan hati yang bercahaya
Seorang manusia berdiri di depan jendela besar dengan cahaya lembut menembus wajahnya — simbol hati yang terang karena husnudzan.

Surau.co. Kita hidup di era di mana prasangka mudah tumbuh seperti jamur setelah hujan. Satu kesalahan kecil langsung divonis, satu berita langsung dipercaya, satu luka membuat seluruh dunia tampak kelam. Padahal, sebagaimana air yang jernih hanya memantulkan keindahan bila wadahnya bersih, dunia juga hanya terlihat indah bila hati kita bening.

Inilah yang disebut husnudzan — berpikir baik, berprasangka baik, dan melihat segala sesuatu dari sisi cahaya. Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam Risālatul Mu‘āwanah menulis dengan lembut tapi dalam maknanya:

“وَعَلَيْكَ بِحُسْنِ الظَّنِّ بِاللّٰهِ وَبِعِبَادِهِ، فَإِنَّ سُوءَ الظَّنِّ يُظْلِمُ الْقَلْبَ وَيُفْسِدُ الْعَقْلَ.”
“Hendaklah engkau berbaik sangka kepada Allah dan kepada hamba-hamba-Nya, karena buruk sangka menggelapkan hati dan merusak akal.”

Kata-kata itu sederhana, tapi mengandung pesan bahwa buruk sangka bukan sekadar dosa hati, tapi sumber kegelapan hidup. Sementara husnudzan adalah cahaya yang menuntun jiwa menuju kedamaian.

Apa Itu Husnudzan dan Mengapa Ia Penting?

Secara harfiah, husnudzan berarti berbaik sangka. Namun dalam ajaran tasawuf — termasuk dalam Risālatul Mu‘āwanah — husnudzan bukan hanya tentang bagaimana kita menilai orang lain, melainkan bagaimana kita menata hati dalam memandang takdir Allah.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Allah berfirman dalam hadis qudsi:

أَنَا عِندَ ظَنِّ عَبْدِي بِي
“Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini adalah pondasi spiritual husnudzan. Jika seseorang meyakini bahwa Allah Maha Pengasih, ia akan melihat rahmat bahkan dalam ujian. Namun jika ia berprasangka buruk kepada Allah, maka setiap kesulitan akan tampak seperti hukuman.

Habib al-Haddad mengingatkan bahwa husnudzan adalah cermin keimanan yang sehat.
Beliau berkata:

“إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى كُلَّ مَا يُقَدِّرُهُ اللهُ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ جَهِلَ الْوَجْهَ فِيهِ.”
“Seorang mukmin melihat setiap ketentuan Allah sebagai kebaikan baginya, meski ia belum memahami hikmahnya.”

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Husnudzan melatih hati untuk melihat dunia dengan “kacamata cahaya” — bukan menutup mata dari luka, tapi menolak untuk menjadi buta karenanya.

Husnudzan kepada Allah: Mempercayai Cinta di Balik Ujian

Setiap manusia pernah diuji: kehilangan, penantian, atau doa yang belum dikabulkan.
Saat itulah husnudzan diuji — apakah kita mampu tetap percaya bahwa Allah tak pernah meninggalkan kita?

Allah berfirman:

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 216)

Ayat ini menegaskan bahwa takdir Allah selalu punya wajah kasih sayang, meskipun sering tersembunyi di balik air mata. Husnudzan berarti meyakini bahwa setiap kejadian membawa pesan cinta, bahkan jika bentuknya tampak seperti kehilangan.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Habib al-Haddad berkata dalam Risālatul Mu‘āwanah:

“مَنْ عَلِمَ أَنَّ رَبَّهُ رَحِيمٌ بِهِ، لَمْ يَسْخَطْ عَلَى شَيْءٍ مِنْ قَضَائِهِ.”
“Siapa yang yakin bahwa Tuhannya Maha Penyayang, ia tidak akan marah terhadap apa pun dari takdir-Nya.”

Husnudzan kepada Allah melahirkan jiwa yang damai, sebab ia percaya:
bukan semua yang pahit itu kutukan, dan bukan semua yang manis itu rahmat.
Hidup menjadi lebih ringan ketika kita tahu, setiap peristiwa — baik atau buruk — hanyalah jalan pulang kepada-Nya.

Husnudzan kepada Sesama: Menyiram Dunia dengan Rasa Percaya

Kehidupan sosial modern mudah membuat kita curiga.
Berita bohong, pengkhianatan, dan drama media sosial membuat banyak orang takut mempercayai manusia.
Namun Islam mengajarkan bahwa kehidupan sosial hanya bisa subur bila disiram dengan husnudzan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ
“Jauhilah prasangka, karena prasangka adalah ucapan paling dusta.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Prasangka buruk membuat kita menilai tanpa bukti, menghukum sebelum mendengar, dan kehilangan kepercayaan kepada sesama.
Sementara husnudzan mengajarkan kebijaksanaan hati — melihat kebaikan meskipun sedikit, mencari alasan memaafkan sebelum menuduh.

Habib al-Haddad menulis dengan halus:

“احْمِلْ أَعْمَالَ النَّاسِ عَلَى الْخَيْرِ مَا وَجَدْتَ إِلَى ذَلِكَ سَبِيلًا.”
“Selama mungkin, tafsirkan perbuatan orang lain sebagai kebaikan.”

Sikap ini bukan naif, tapi cerdas secara spiritual.
Sebab orang yang selalu berbaik sangka hidup lebih tenang, hatinya ringan, dan pikirannya tidak dikotori oleh asumsi yang belum tentu benar.

Husnudzan sebagai Latihan Jiwa yang Mencerahkan

Husnudzan tidak lahir secara tiba-tiba. Ia tumbuh dari latihan batin yang panjang: melatih diri untuk menunda penilaian, memperbanyak doa bagi orang lain, dan mengingat betapa kita pun sering salah dipahami.

Habib al-Haddad mengajarkan bahwa husnudzan adalah buah dari hati yang ikhlas dan sabar. Tanpa dua hal ini, sulit bagi seseorang untuk melihat dunia dengan terang. Ketika seseorang terlatih berhusnudzan, ia mulai merasakan perubahan dalam hidupnya:

  • Ia tidak mudah tersulut oleh gosip.
  • Ia lebih bijak dalam menilai peristiwa.
  • Ia merasa lebih damai, karena tak perlu berdebat dengan prasangka.

Habib al-Haddad berkata:

“مَنْ طَهُرَ قَلْبُهُ مِنَ الْحِقْدِ وَالظَّنِّ السَّيِّئِ، أَشْرَقَتْ عَلَيْهِ أَنْوَارُ الْحَقِّ.”
“Siapa yang membersihkan hatinya dari dendam dan prasangka buruk, maka cahaya kebenaran akan bersinar padanya.”

Husnudzan bukan sekadar ajaran moral, tapi cara membangun cahaya dalam diri.

Husnudzan dan Kesehatan Mental:  di Era Modern

Menariknya, konsep husnudzan memiliki relevansi kuat dengan dunia modern.
Psikologi positif menyebutnya positive reappraisal — kemampuan menafsirkan kejadian buruk secara konstruktif.

Namun dalam pandangan Islam, husnudzan lebih dalam: ia bukan sekadar berpikir positif, tetapi beriman positif — menyandarkan tafsir hidup kepada kasih Allah. Orang yang husnudzan lebih jarang mengalami stres berat. Tidak tenggelam dalam pikiran negatif, karena hatinya sibuk mencari makna, bukan kesalahan.

Melihat kegagalan sebagai pelajaran, bukan hukuman. Memandang kesedihan sebagai proses, bukan akhir. Habib al-Haddad, jauh sebelum ilmu psikologi berkembang, telah berkata:

“الطُّمَأْنِينَةُ فِي حُسْنِ الظَّنِّ، وَالْهَلَعُ فِي سُوءِهِ.”
“Ketenangan ada pada husnudzan, dan kegelisahan ada pada buruk sangka.”

Artinya, ketika kita berbaik sangka, hati mendapatkan ruang bernapas. Ia tidak terkunci dalam ketakutan, melainkan terbuka terhadap rahmat.

Cara Melatih Husnudzan dalam Kehidupan Sehari-Hari

Habib al-Haddad tidak berhenti pada teori; beliau memberikan langkah-langkah praktis agar husnudzan menjadi karakter, bukan sekadar pengetahuan.

  1. Mulailah dari niat yang bersih

Segala prasangka buruk bermula dari niat yang kotor.
Niatkan setiap hari untuk mencari kebaikan, bukan kesalahan orang.

  1. Doakan, bukan bicarakan

Saat seseorang berbuat salah, doakan dia diam-diam.
Doa melahirkan empati, sedangkan gosip menumbuhkan kebencian.

  1. Belajar mempercayai rencana Allah

Saat hidup tak sesuai harapan, yakini bahwa Allah sedang menyiapkan sesuatu yang lebih baik. Husnudzan pada takdir akan mengubah kepahitan menjadi harapan.

  1. Ingat kebaikan orang sebelum menilai

Setiap manusia punya sisi gelap dan terang.
Jika kita fokus pada sisi terang, dunia akan tampak lebih bercahaya.

Habib al-Haddad menegaskan:

“كُلُّ مَا نَظَرْتَ إِلَيْهِ بِعَيْنِ الرِّضَا، أَبْصَرْتَ فِيهِ جَمَالًا.”
“Segala yang engkau pandang dengan mata keridhaan, akan tampak indah di matamu.”

Husnudzan sebagai Jalan Menuju Cinta dan Persaudaraan

Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan umat Islam) akan runtuh jika tiap hati dipenuhi curiga. Sebaliknya, ia akan kokoh jika dibangun di atas husnudzan.
Sebab husnudzan bukan hanya melindungi hubungan antarindividu, tapi juga membangun peradaban yang damai.

Ketika seseorang terbiasa melihat dengan kacamata cahaya, ia tidak lagi mudah menuduh. Ia akan memilih memahami sebelum menilai, mendengar sebelum bicara, dan memaafkan sebelum menyalahkan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Dan cinta itu hanya tumbuh di hati yang bersih dari su’uzan.

Penutup: Melihat Dunia dengan Cahaya dari Dalam

Husnudzan bukan kemampuan lahir, melainkan hasil dari perjalanan batin yang mendalam. Ia menuntun manusia untuk hidup dengan hati yang lapang, pikiran yang jernih, dan jiwa yang percaya bahwa setiap kejadian adalah bagian dari kasih Allah.

Maka lihatlah dunia dengan kacamata cahaya berbaiksangka ataupun afirmasi positif. Bukan karena dunia ini sempurna, tetapi karena hati yang penuh husnudzan mampu menemukan cahaya di setiap gelapnya kehidupan.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement