Surau.co. Dalam kesibukan modern, manusia sering mengeluh tentang stres, cemas, atau hampa — tapi jarang menyadari bahwa semua itu bermula dari hati yang kotor dan letih. Kita sibuk membersihkan rumah, tubuh, bahkan notifikasi ponsel, namun lupa menyapu debu dosa yang menempel di dada.
Padahal, dalam pandangan Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad, istighfar adalah napas bagi jiwa. Dalam Risālatul Mu‘āwanah, beliau berkata:
“وَاعْلَمْ أَنَّ الِاسْتِغْفَارَ مِفْتَاحُ كُلِّ خَيْرٍ، وَبِهِ يُنَزِّلُ اللَّهُ رَحْمَتَهُ.”
“Ketahuilah bahwa istighfar adalah kunci segala kebaikan. Dengan istighfar, Allah menurunkan rahmat-Nya.”
Istighfar bukan sekadar ucapan di bibir, melainkan getaran batin yang membuka pintu-pintu keberkahan. Siapa pun yang menjadikannya kebiasaan akan menemukan ketenangan yang tak bisa dibeli dengan apapun.
Mengapa Istighfar Itu Menghidupkan Hati
Hati manusia seperti cermin — ia bisa memantulkan cahaya Allah hanya jika bersih dari debu dosa. Habib al-Haddad menjelaskan bahwa dosa adalah penghalang utama antara hati dan Tuhannya. Maka, setiap kali kita beristighfar, sejatinya kita sedang menghapus kabut yang menutupi cahaya iman.
Allah berfirman:
وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
“Dan Allah tidak akan mengazab mereka selama mereka masih memohon ampun (istighfar).”
(QS. Al-Anfal [8]: 33)
Ayat ini menunjukkan bahwa istighfar adalah perisai spiritual. Ia bukan hanya menghapus dosa, tapi juga melindungi dari musibah yang datang karena kelalaian.Orang yang gemar beristighfar biasanya mudah tersentuh, lembut dalam ucapan, dan ringan dalam ibadah. Ia tidak keras kepala, karena hatinya selalu diingatkan oleh Allah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّهُ لَيُغَانُ عَلَى قَلْبِي، وَإِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Sesungguhnya hatiku kadang terlapisi (oleh kelalaian), dan aku beristighfar kepada Allah seratus kali dalam sehari.”
(HR. Muslim)
Jika Rasulullah ﷺ — yang maksum dari dosa — masih beristighfar ratusan kali, bagaimana dengan kita?
Istighfar bukan tanda banyak dosa, tapi tanda kesadaran spiritual yang hidup.
Istighfar dalam Pandangan Risālatul Mu‘āwanah: Jalan Menuju Rahmat Allah
Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad melihat istighfar sebagai pintu rahmat yang selalu terbuka bagi siapa pun yang mau mengetuknya. Beliau menulis:
“لَا يَنْقَطِعُ الْعَبْدُ عَنِ الِاسْتِغْفَارِ مَا دَامَتْ رُوحُهُ فِي جَسَدِهِ، فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي فِي أَيِّ ذَنْبٍ يُخْتَمُ لَهُ.”
“Hendaklah seorang hamba tidak berhenti beristighfar selama ruhnya masih dalam jasadnya, karena ia tidak tahu dalam dosa apa ajalnya akan datang.”
Kutipan ini menggugah kesadaran: selama masih hidup, kita perlu istighfar.
Bukan hanya setelah dosa besar, tapi juga setiap kali hati lalai atau niat kita menyimpang. Allah menjanjikan limpahan keberkahan bagi orang yang memperbanyak istighfar:
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا • يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا • وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ
“Maka aku berkata (kepada mereka): mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun.
Niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat atasmu, dan memperbanyak harta serta anak-anakmu.”
(QS. Nuh [71]: 10–12)
Ayat ini menunjukkan bahwa istighfar bukan hanya pembersih dosa, tetapi juga magnet keberkahan hidup. Dengan istighfar, rezeki diluaskan, hati ditenangkan, dan hidup menjadi lebih ringan dijalani.
Istighfar Sebagai Latihan Kesadaran Diri
Di era serba cepat ini, manusia jarang punya waktu untuk berhenti sejenak dan melihat ke dalam diri. Padahal, istighfar bukan hanya permintaan ampun — ia adalah momen pause spiritual, saat kita menengok kembali langkah hidup kita.
Habib al-Haddad menulis dalam risalahnya:
“الِاسْتِغْفَارُ تَجْدِيدُ لِلتَّوْبَةِ، وَتَذْكِيرٌ لِلنَّفْسِ بِقُصُورِهَا.”
“Istighfar adalah pembaruan taubat dan pengingat bagi jiwa akan keterbatasannya.”
Setiap kali mengucap Astaghfirullah, sebenarnya kita sedang menegur diri sendiri:
“Ada yang salah dalam niatku.”
“Ada kesalahan dalam tindakanku.”
“Ada kelalaian dalam cintaku kepada Allah.”
Istighfar yang sejati bukan hanya di lisan, tapi juga menyentuh kesadaran.
Dengan latihan ini, hati perlahan belajar jujur pada dirinya sendiri — dan dari situlah pembersihan sejati dimulai.
Istighfar Sebagai Terapi Jiwa di Era Modern
Banyak orang mencari ketenangan lewat meditasi, detoks digital, atau liburan panjang.
Namun, dalam pandangan Islam, ketenangan sejati datang ketika hati berdamai dengan Allah.
Istighfar adalah terapi paling dalam, karena ia menyentuh akar masalah: dosa dan kelalaian. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ لَزِمَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا، وَمِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barang siapa membiasakan diri beristighfar, Allah akan menjadikan baginya jalan keluar dari setiap kesempitan, dan memberinya rezeki dari arah yang tak disangka-sangka.”
(HR. Abu Dawud)
Ayat dan hadits ini menjelaskan bahwa istighfar adalah terapi spiritual yang nyata.
Ia menenangkan pikiran, melembutkan perasaan, dan menguatkan jiwa. Habib al-Haddad menganjurkan agar istighfar dilakukan di waktu-waktu sunyi, terutama sepertiga malam terakhir, saat seluruh dunia diam dan hati paling jujur.
Menyemai Kebiasaan Istighfar dalam Kehidupan Sehari-hari
Bagaimana agar istighfar tidak hanya menjadi formalitas, tapi benar-benar menghidupkan hati?
Habib al-Haddad memberi beberapa kiat dalam Risālatul Mu‘āwanah:
- Lakukan dengan sadar dan tenang. Jangan sekadar mengulang lafaz, tapi hayati maknanya.
- Lakukan di waktu tetap. Pagi, petang, dan sebelum tidur adalah waktu terbaik.
- Gabungkan dengan muhasabah. Renungkan kesalahan hari itu, lalu ucapkan istighfar sebagai bentuk penyucian batin.
- Gunakan istighfar untuk melembutkan hati orang lain. Saat marah atau kecewa, ucapkan Astaghfirullah — bukan untuk menahan emosi, tapi untuk mengingat bahwa kita semua sama-sama butuh ampunan Allah.
Contoh Dzikir Harian
Habib al-Haddad menulis dalam risalahnya:
“اسْتَغْفِرِ اللَّهَ الْعَظِيمَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيَّ الْقَيُّومَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ”
“Aku memohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung, tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup, Maha Berdiri Sendiri, dan aku bertaubat kepada-Nya.”
Bacaan ini menjadi dzikir penenang hati, sekaligus pintu bagi rahmat Allah untuk turun setiap hari.
Istighfar dan Rasa Syukur: Dua Sayap Menuju Ketenteraman
Menariknya, Habib al-Haddad selalu mengaitkan istighfar dengan syukur.
Beliau berkata:
“الِاسْتِغْفَارُ وَالشُّكْرُ جَنَاحَانِ لِلْعَبْدِ، فَإِذَا طَارَ بِهِمَا، بَلَغَ مَرَاتِبَ الْمُقَرَّبِينَ.”
“Istighfar dan syukur adalah dua sayap bagi seorang hamba. Jika ia terbang dengan keduanya, maka ia akan sampai pada derajat orang-orang yang dekat kepada Allah.”
Istighfar membersihkan, syukur mengisi. Tanpa istighfar, syukur kehilangan makna.
Tanpa syukur, istighfar terasa kering.
Ketika seseorang beristighfar karena sadar akan kelemahannya, lalu bersyukur atas nikmat yang tersisa, maka ia telah menemukan keseimbangan spiritual yang sempurna.
Buah dari Istighfar yang Terjaga
Apa yang terjadi bila istighfar sudah menjadi bagian dari hidup seseorang?
Habib al-Haddad menjelaskan bahwa Allah akan memberinya tiga hal:
- Hati yang tenang.
Ia tidak lagi mudah gelisah, karena sadar bahwa semua kesulitan hanyalah ujian. - Rezeki yang cukup.
Bukan selalu dalam bentuk uang, tapi cukupnya kebutuhan dan hadirnya ketenangan. - Hubungan yang baik dengan manusia.
Orang yang suka beristighfar biasanya ringan memaafkan dan rendah hati.
Rasulullah ﷺ bersabda:
طُوبَى لِمَنْ وَجَدَ فِي صَحِيفَتِهِ اسْتِغْفَارًا كَثِيرًا
“Beruntunglah orang yang dalam catatan amalnya banyak terdapat istighfar.”
(HR. Ibnu Majah)
Penutup: Hati yang Hidup Karena Tak Pernah Lelah Memohon Ampun
Istighfar bukanlah ritual yang rumit. Ia sederhana, tapi sangat dalam.
Ia bisa diucapkan sambil berjalan, bekerja, bahkan dalam diam di tengah malam.
Habib al-Haddad mengingatkan:
“مَنْ أَلِفَ الِاسْتِغْفَارَ، أَلِفَهُ الْغُفْرَانُ.”
“Barang siapa terbiasa beristighfar, maka ampunan Allah akan terbiasa menghampirinya.”
Betapa indah hidup yang dihiasi istighfar yang menghidupkan hati — sebab setiap kesalahan berubah menjadi peluang untuk mendekat kepada Allah.
“Hati yang terus beristighfar tidak pernah mati. Ia selalu hidup, sebab ia selalu pulang”
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
