Surau.co. Banyak orang pernah bertaubat, tapi tak semua mampu menjaga taubatnya tetap hidup. Ada yang bertaubat penuh air mata, lalu kembali mengulang kesalahan lama hanya beberapa hari kemudian. Ada pula yang merasa sudah bersih karena “pernah bertaubat,” padahal hatinya mulai jauh dari Allah tanpa disadari.
Inilah sebabnya Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam Risālatul Mu‘āwanah menekankan bahwa taubat sejati bukan hanya permulaan, melainkan proses berkelanjutan. Menjaga taubat berarti menjaga kesadaran bahwa kita selalu butuh Allah di setiap langkah.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang terus bertaubat dan orang-orang yang menyucikan diri.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 222)
Kata at-tawwābīn dalam ayat ini bermakna mereka yang terus menerus bertaubat, bukan hanya sekali. Artinya, taubat itu bukan momen sesaat, tapi gaya hidup spiritual yang harus dijaga setiap hari.
Menjaga Hati Tetap Lembut: Pondasi Utama Taubat yang Bertahan Lama
Habib al-Haddad menulis bahwa hati yang keras sulit mempertahankan taubat, karena tidak lagi peka terhadap dosa.
“وَاعْلَمْ أَنَّ الْقَلْبَ إِذَا قَسَا، لَمْ يَنْفَعْهُ وُعْظٌ وَلَا ذِكْرٌ.”
“Ketahuilah, apabila hati telah keras, maka nasihat dan zikir pun tak lagi bermanfaat baginya.”
Kelembutan hati adalah penjaga pertama agar taubat tak cepat pudar. Namun, hati bisa mengeras karena lalai, sibuk dengan dunia, atau sering melihat maksiat tanpa rasa bersalah.
Cara Menjaga Hati Tetap Lembut
- Perbanyak zikir dan istighfar.
Rasulullah ﷺ bersabda:
طُوبَى لِمَنْ وَجَدَ فِي صَحِيفَتِهِ اسْتِغْفَارًا كَثِيرًا
“Beruntunglah orang yang banyak mendapati istighfar dalam catatan amalnya.”
(HR. Ibnu Majah)
Istighfar tidak hanya menghapus dosa, tapi juga melembutkan hati agar lebih mudah menerima cahaya hidayah.
- Kurangi paparan yang mengeraskan hati.
Waktu yang terlalu banyak di media sosial, tontonan yang sia-sia, dan percakapan yang kosong seringkali membuat hati tumpul.
Hati lembut akan segera sadar ketika berbuat salah, sedangkan hati keras baru sadar ketika sudah jauh dari Allah. Maka, menjaga kelembutan hati adalah cara paling awal menjaga taubat tetap hidup.
Bangun Kebiasaan Muhasabah: Evaluasi Diri Sebelum Dihisab
Salah satu kunci ajaran Habib al-Haddad adalah muhasabah — introspeksi diri setiap hari. Beliau berkata bahwa:
“لْيُحَاسِبِ الْمَرْءُ نَفْسَهُ كُلَّ يَوْمٍ عَلَى أَعْمَالِهِ، فَإِنْ وَجَدَ خَيْرًا حَمِدَ اللَّهَ، وَإِنْ وَجَدَ غَيْرَ ذٰلِكَ اسْتَغْفَرَ وَتَابَ.”
“Hendaknya seseorang menghisab dirinya setiap hari atas amal-amalnya. Jika ia mendapati kebaikan, hendaklah ia bersyukur; dan jika sebaliknya, hendaklah ia beristighfar dan bertaubat.”
Muhasabah sebagai Alarm Spiritual
Setiap malam, sebelum tidur, kita bisa bertanya pada diri sendiri:
- Apakah hari ini aku mengingat Allah atau melupakannya?
- Apakah aku sudah menjaga lisan, mata, dan hati?
- Adakah orang yang kusakiti dengan sengaja atau tidak?
Pertanyaan sederhana ini akan menjaga kesadaran batin.
Karena taubat mudah luntur ketika seseorang tidak lagi sadar kesalahannya.
Rasulullah ﷺ mengingatkan:
الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ
“Orang cerdas adalah yang mampu mengoreksi dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati.”
(HR. Tirmidzi)
Maka, muhasabah adalah latihan kecerdasan spiritual — kemampuan untuk melihat diri sendiri dengan jujur.
Jaga Lingkungan: Teman yang Baik, Benteng Taubat
Tidak semua teman bisa menemani perjalanan taubat.
Kadang, satu obrolan ringan bisa menarik kita kembali ke kebiasaan lama. Habib al-Haddad memberi peringatan tajam:
“صُحْبَةُ الْفَاسِقِ تُفْسِدُ الْقَلْبَ، كَمَا يُفْسِدُ النَّارُ الْخَشَبَ.”
“Berteman dengan orang fasik akan merusak hati, sebagaimana api membakar kayu.”
Teman yang Menyuburkan Taubat
Carilah teman yang ketika kita bersamanya, kita lebih dekat kepada Allah. Teman yang mengingatkan saat lalai, bukan membiarkan karena takut dianggap “menggurui.”
Rasulullah ﷺ bersabda:
الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang tergantung pada agama temannya, maka hendaklah kalian melihat dengan siapa kalian berteman.”
(HR. Abu Dawud)
Menjaga taubat di era modern berarti juga memilah circle pertemanan dan lingkungan digital. Teman di dunia nyata maupun dunia maya bisa menentukan arah spiritual kita.
Perkuat Ibadah Rutin: Energi untuk Istiqamah
Habib al-Haddad menekankan bahwa taubat sejati harus diikuti dengan amal yang menguatkan tekad.
Dalam Risālatul Mu‘āwanah beliau menulis:
“مَنْ ثَبَتَ عَلَى الْعِبَادَةِ بَعْدَ التَّوْبَةِ، ثَبَتَتْ تَوْبَتُهُ.”
“Barang siapa istiqamah dalam ibadah setelah taubat, maka taubatnya akan kokoh.”
Menghidupkan Ibadah Sehari-hari
Tidak perlu menunggu waktu luang untuk mendekat kepada Allah.
Mulailah dari hal kecil:
- Shalat tepat waktu, dengan khusyuk.
- Membaca Al-Qur’an meski satu halaman.
- Sedekah sederhana setiap pekan.
- Zikir pagi dan petang tanpa putus.
Ibadah bukan beban, tapi bahan bakar rohani yang menjaga kita agar tidak kembali ke gelapnya dosa.
Waspadai Godaan “Kambuh Spiritual”
Taubat bisa goyah karena dua hal: godaan dosa lama dan rasa sombong karena merasa sudah suci. Yang pertama membuat kita tergelincir, yang kedua membuat kita buta.
Habib al-Haddad mengingatkan:
“مَنْ رَأَى نَفْسَهُ فِي طَاعَتِهِ، فَقَدْ نَقَضَ تَوْبَتَهُ.”
“Siapa yang melihat dirinya (bangga) dalam ketaatannya, maka ia telah merusak taubatnya.”
Rasa bangga terhadap amal bisa lebih berbahaya daripada dosa itu sendiri.
Karena saat merasa sudah cukup baik, kita berhenti memperbaiki diri. Rasulullah ﷺ berdoa setiap hari:
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu.”
(HR. Tirmidzi)
Bahkan Nabi pun meminta agar dijaga hatinya — ini tanda bahwa menjaga taubat bukan perkara mudah, tapi selalu mungkin bila terus meminta pertolongan Allah.
Jadikan Taubat Sebagai Gaya Hidup, Bukan Acara Sesaat
Di era modern, banyak yang memaknai taubat secara emosional — cukup dengan air mata di malam hari, lalu merasa selesai. Padahal, taubat sejati adalah gaya hidup spiritual yang konsisten.
Habib al-Haddad berkata:
“مَنْ لَزِمَ التَّوْبَةَ، لَزِمَتْهُ الرَّحْمَةُ.”
“Barang siapa istiqamah dalam taubat, maka rahmat Allah akan selalu bersamanya.”
Menjadikan taubat sebagai gaya hidup berarti terus menyucikan diri di tengah rutinitas.
Kita tetap bekerja, berinteraksi, dan berjuang di dunia — tapi dengan hati yang selalu ingin bersih.
Taubat yang hidup tampak dalam sikap:
- Mudah memaafkan orang lain.
- Cepat sadar ketika salah.
- Tidak gengsi mengucap “maaf” dan “Astaghfirullah.”
Itulah tanda bahwa hati masih hidup.
Penutup: Taubat yang Menyala di Tengah Gelapnya Dunia
Taubat sejati bukan sekadar peristiwa masa lalu, tapi nyala yang terus menerangi hari-hari. Setiap istighfar adalah cahaya kecil, dan setiap niat memperbaiki diri adalah langkah pulang menuju Allah.
Begitu lembutnya kasih Allah hingga taubat tak lagi terasa berat, melainkan undangan mesra untuk kembali setiap hari.
“Jangan tunggu dosa besar untuk kembali. Pulanglah hari ini, dengan hati yang lembut dan langkah yang ringan.”
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
