Khazanah
Beranda » Berita » Tawakal ala Risalatul Mu‘awanah: Tenang Bukan Karena Mudah, Tapi Karena Yakin

Tawakal ala Risalatul Mu‘awanah: Tenang Bukan Karena Mudah, Tapi Karena Yakin

ilustrasi tawakal ala Risalatul Mu‘awanah, ketenangan dalam badai kehidupan
Seseorang muslim duduk anjungan pelabuhan di tepi laut saat badai, wajahnya tenang menatap langit yang mulai cerah, melambangkan kekuatan hati orang yang bertawakal.

Surau.co. Hidup modern membuat banyak orang merasa harus mengatur segalanya — karier, jodoh, rencana masa depan, bahkan hasil dari setiap usaha. Kita terbiasa menyiapkan rencana cadangan, strategi darurat, dan jalan pintas jika sesuatu tak berjalan sesuai harapan. Namun, di tengah semua upaya itu, sering kali hati justru semakin cemas.

Mengapa? Karena manusia ingin memegang kendali atas sesuatu yang sejatinya bukan miliknya untuk dikendalikan. Di sinilah ajaran tawakal menemukan relevansinya.

Dalam Risālatul Mu‘āwanah, Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad menulis dengan lembut tentang tawakal — bukan sebagai sikap pasrah tanpa usaha, tapi seni menenangkan hati di tengah badai, ketika seseorang yakin bahwa hasil akhirnya selalu dalam genggaman Allah.

Makna Tawakal: Antara Usaha dan Ketenangan Jiwa

Habib al-Haddad menegaskan dalam Risālatul Mu‘āwanah:

“تَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فِي كُلِّ أُمُورِكَ، وَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ يُجْرِي شَيْءٌ إِلاَّ بِقَضَائِهِ وَقَدَرِهِ.”
“Bertawakallah kepada Allah dalam segala urusanmu, dan ketahuilah bahwa tiada sesuatu pun yang terjadi kecuali dengan ketentuan dan takdir-Nya.”

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Tawakal bukan berarti berhenti berusaha, melainkan berusaha dengan hati yang tenang, tanpa ketergantungan pada hasil. Orang yang tawakal tetap menanam, tapi tidak cemas dengan hujan. Ia tetap melangkah, tapi tidak takut jalan yang ditempuh berliku.

Al-Qur’an menegaskan:

وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya.”
(QS. At-Talaq [65]: 3)

Ayat ini bukan janji kosong. Ia adalah peneguhan bahwa tawakal bukan kehilangan daya, melainkan menemukan sandaran yang sejati.

Perbedaan Antara Tawakal dan Pasrah Buta

Banyak orang keliru memahami tawakal sebagai bentuk kemalasan spiritual. Padahal Habib al-Haddad menulis dengan tegas bahwa tawakal harus berjalan beriringan dengan ikhtiar.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Beliau berkata:

“اعْمَلْ وَاجْتَهِدْ، فَإِنَّ الْأَسْبَابَ لَا تُنَافِي التَّوَكُّلَ.”
“Beramallah dan bersungguh-sungguhlah, karena sebab-sebab duniawi tidak menafikan tawakal.”

Artinya, bekerja keras bukan berarti kurang iman.
Justru dalam bekerja, kita diuji: apakah hati kita bergantung pada hasil atau kepada Allah yang memberi hasil?

Tawakal bukan berarti berhenti mendayung karena yakin kapal akan sampai. Tawakal berarti terus mendayung, tapi tenang, karena tahu laut dan angin tetap dalam kekuasaan Allah.

Tiga Pilar Tawakal Menurut Habib al-Haddad

Habib al-Haddad menjelaskan bahwa tawakal sejati dibangun di atas tiga fondasi hati:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

  1. Keyakinan Bahwa Allah Maha Mengatur

Orang yang bertawakal sadar bahwa setiap kejadian adalah bagian dari rancangan Allah yang sempurna. Tak ada yang kebetulan. Bahkan hal yang tampak “buruk” sering kali menyimpan hikmah besar.

Rasulullah ﷺ bersabda:

عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ
“Sungguh menakjubkan urusan orang beriman, karena seluruh urusannya adalah kebaikan baginya.”
(HR. Muslim)

Maka, ketika gagal, orang yang tawakal tidak menyalahkan takdir. Ia berkata dengan lembut, “Mungkin ini bukan jalan yang terbaik untukku.”

  1. Menyerahkan Hasil Setelah Berusaha

Tawakal adalah keseimbangan antara kerja dan ketenangan. Orang yang tawakal menyelesaikan bagian yang bisa ia kendalikan, lalu menyerahkan sisanya pada Allah.

Habib al-Haddad berkata:

“إِذَا فَعَلْتَ مَا عَلَيْكَ فَاسْتَرِحْ، فَإِنَّ مَا بَقِيَ عَلَيْهِ.”
“Jika engkau telah melakukan bagianmu, maka tenanglah, karena sisanya menjadi urusan-Nya.”

Sebuah kalimat yang seolah menenangkan hati yang sering gelisah. Kadang kita sudah berjuang, tapi masih cemas — seolah kita bisa memaksa hasil. Padahal, setelah ikhtiar selesai, gelisah adalah tanda belum sepenuhnya tawakal.

  1. Rasa Ridha atas Keputusan Allah

Tawakal sejati tidak akan tumbuh tanpa ridha.
Orang yang ridha tidak sekadar menerima, tapi juga percaya bahwa pilihan Allah selalu lebih baik.

Dalam Risālatul Mu‘āwanah, Habib al-Haddad menulis:

“مَنْ رَضِيَ بِقَضَاءِ اللَّهِ أَرَاحَ قَلْبَهُ.”
“Barang siapa ridha terhadap ketentuan Allah, maka hatinya akan tenang.”

Ketika hati ridha, dunia terasa ringan.
Orang seperti ini tidak mudah stres ketika gagal, dan tidak sombong ketika berhasil. Ia tahu: keduanya hanyalah ujian dalam bentuk yang berbeda.

Tawakal dan Ketenangan di Tengah Krisis

Kita sering mendengar orang berkata, “Saya sudah tawakal, tapi kok masih gelisah?”
Habib al-Haddad menjelaskan, tawakal itu bukan sekadar ucapan, tapi keadaan hati. Seseorang yang benar-benar bertawakal akan tenang bahkan ketika semuanya tampak tidak menentu.

Ketenangan itu lahir dari keyakinan bahwa Allah tidak pernah salah dalam mengatur hidup hambanya.

Allah berfirman:

قُل لَّن يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا
“Katakanlah: Tidak akan menimpa kami kecuali apa yang telah Allah tetapkan bagi kami; Dialah pelindung kami.”
(QS. At-Taubah [9]: 51)

Ayat ini bukan hanya pernyataan iman, tapi juga obat untuk hati yang cemas.
Tawakal membuat seseorang tidak lagi takut kehilangan, karena yang benar-benar dimiliki hanyalah Allah.

Ketika Tawakal Disalahpahami

Di era modern, konsep tawakal sering disalahartikan menjadi “pasrah nasib”.
Padahal, dalam pandangan Habib al-Haddad, tawakal adalah energi aktif, bukan sikap pasif.

Beliau menulis bahwa orang yang tawakal sejati tetap berusaha, tetapi tidak menjadikan usaha itu sebagai sumber harapan. Sumber harapan hanyalah Allah.

Tawakal bukan alasan untuk malas bekerja atau berhenti belajar. Justru tawakal menumbuhkan keberanian menghadapi ketidakpastian. Karena bagi orang yang tawakal, setiap langkah sudah dalam penjagaan Tuhan.

Buah dari Tawakal: Jiwa Tenang, Langkah Mantap

Habib al-Haddad menggambarkan buah dari tawakal dengan indah:

“التَّوَكُّلُ يُنْزِلُ الطُّمَأْنِينَةَ فِي الْقَلْبِ، وَيُطَهِّرُهُ مِنَ الْقَلَقِ وَالْخَوْفِ.”
“Tawakal menurunkan ketenangan dalam hati dan membersihkannya dari kegelisahan serta ketakutan.”

Tawakal menumbuhkan mental yang stabil. Orang yang bertawakal tidak panik menghadapi cobaan, tidak sombong saat diberi nikmat. Ia tahu bahwa segala hal datang dan pergi hanya karena izin Allah.

Tawakal dan Doa: Dua Sayap Keimanan

Dalam Risālatul Mu‘āwanah, Habib al-Haddad mengingatkan bahwa tawakal harus disertai doa yang tulus. Karena doa bukan hanya permintaan, tapi bukti bahwa hati masih bergantung kepada Allah.

Beliau menulis:

“لَا تَتْرُكِ الدُّعَاءَ وَإِنْ كُنْتَ مُتَوَكِّلًا، فَإِنَّ الدُّعَاءَ مِنْ أَعْظَمِ الْأَسْبَابِ.”
“Janganlah meninggalkan doa meskipun engkau bertawakal, karena doa adalah sebab yang paling agung.”

Doa dan tawakal adalah dua sisi dari keimanan yang sama.
Doa menghidupkan harapan, tawakal menenangkan harapan itu agar tidak berubah menjadi kecemasan.

Tawakal di Era Serba Terencana

Zaman modern mengajarkan manusia untuk selalu punya “rencana A sampai Z”.
Namun, Habib al-Haddad seolah mengingatkan bahwa tidak semua hal harus kita kuasai. Ada ruang dalam hidup yang memang harus kita biarkan Allah yang mengatur.

Tawakal bukan menghapus rencana, tapi menjadikan Allah sebagai pusat dari setiap rencana. Kita boleh merancang masa depan, tapi harus siap bila Allah menulisnya dengan cara berbeda.

Kita boleh berharap sesuatu, tapi tetap bahagia meski yang datang bukan seperti yang diinginkan. Itulah keindahan tawakal: hidup tanpa kehilangan makna meski kehilangan kendali.

Penutup: Menemukan Ketenangan di Balik Kepasrahan

Tawakal bukan sekadar teori spiritual. Ia adalah cara hidup yang membuat hati kuat di tengah ketidakpastian. Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam Risālatul Mu‘āwanah mengajarkan bahwa tawakal bukan bentuk kelemahan, melainkan puncak dari kekuatan iman.

Ketika seseorang benar-benar bertawakal, dunia mungkin berguncang, tapi hatinya tetap tenang. Karena baginya, yang memegang kendali bukan ia sendiri, melainkan Allah yang Maha Mengatur segalanya. Maka, saat rencana gagal dan arah hidup terasa kabur, ingatlah:

“Tenang bukan karena mudah, tapi karena yakin.”
Karena yakin itu — adalah tawakal.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement