SURAU.CO-Mahar sebagai janji seumur hidup hadir bukan hanya sebagai hadiah dalam akad, tetapi sebagai pernyataan tanggung jawab dan cinta tulus. Seorang laki-laki memberikan mahar sebagai janji seumur hidup untuk menunjukkan kesiapannya menjaga, mencintai, dan menghormati wanita yang dipilihnya. Islam menempatkan mahar sebagai simbol penghormatan, bukan harga diri seorang perempuan. Karena itu, mahar membawa nilai spiritual dan moral yang tidak bisa dibatasi oleh angka.
Banyak orang masih menjadikan mahar sebagai tolok ukur gengsi. Mereka menilai semakin mahal mahar, semakin tinggi kehormatan keluarga. Padahal, Rasulullah SAW mencontohkan hal berbeda. Beliau menikahkan Fatimah dengan mahar berupa baju besi. Keteladanan itu membuktikan bahwa yang penting bukan nominalnya, tetapi niat dan ketulusan dalam memberi.
seorang sahabat yang memilih hafalan surah Al-Mulk sebagai mahar. Ia bercerita, setiap mereka membaca surah itu bersama, ia merasa seperti mengulang janji di hari akad. Mahar itu tidak habis dipakai, tetapi terus hidup menjadi doa dan pengingat. Pengalaman tersebut menunjukkan bahwa mahar bisa menjadi pengikat spiritual, bukan sekadar simbol materi.
Namun, standar sosial sering membuat mahar terasa berat. Banyak calon pengantin menunda pernikahan karena takut tidak bisa memenuhi permintaan yang tinggi. Padahal, Islam tidak pernah menyulitkan. Mahar boleh sederhana, asalkan lahir dari kerelaan dan diterima dengan keikhlasan. Yang Allah nilai adalah hati, bukan kemewahan.
Makna Mahar sebagai Janji Seumur Hidup
Suami memberikan mahar sebagai bukti kesanggupan memikul tanggung jawab. Ketika ijab kabul terucap, ia meneguhkan janji untuk memelihara, menafkahi, dan memuliakan pasangannya. Mahar menjadi awal dari komitmen yang harus ia jaga, bukan hanya pada hari akad, tetapi sepanjang hidup.
Mahar juga mengajarkan bahwa cinta harus hadir dalam tindakan nyata. Bukan sekadar kata atau rasa, tetapi bukti yang bisa disentuh dan dikenang. Islam menuntun setiap laki-laki untuk menunjukkan keseriusan melalui mahar, lalu menjaga makna itu dalam kehidupan rumah tangga.
Khalifah Umar bin Khattab pernah mengingatkan masyarakat agar tidak meninggikan mahar secara berlebihan. Ia menegur mereka yang menjadikan mahar sebagai alat pamer. Pesan itu tetap relevan. Kita hidup di zaman ketika pesta pernikahan dan mahar sering diperlombakan, padahal keberkahan justru lahir dari kesederhanaan dan keikhlasan.
Saya pernah menghadiri pernikahan di pesantren. Mahar yang diberikan hanya berupa kitab tafsir dan mukena. Suasananya sederhana, tetapi penuh ketenangan. Pengantin pria berkata, “Saya ingin pernikahan ini berdiri di atas ilmu dan ibadah.” Kata itu menegaskan bahwa mahar tidak harus mewah untuk menjadi bermakna.
Dari Tradisi menuju Spiritualitas Mahar
Kita perlu memahami kembali bahwa mahar bukan hanya tradisi, tetapi ibadah. Dunia modern sering melupakan nilai spiritual di baliknya. Padahal, mahar menghubungkan cinta manusia dengan cinta kepada Allah. Ia mengajarkan bahwa pernikahan tidak hanya menyatukan dua hati, tetapi juga membuka jalan menuju ridha-Nya.
Ketika seseorang memberi mahar dengan niat ibadah, ia memperoleh pahala. Pertanyaannya berubah dari “berapa nilainya?” menjadi “apa maknanya?”. Mahar sederhana yang lahir dari hati jauh lebih abadi daripada hadiah mahal tanpa ruh spiritual.
Mahar juga mencerminkan arah rumah tangga. Jika seorang suami menyerahkannya dengan tanggung jawab dan cinta, maka ia akan menjalani pernikahan dengan nilai yang sama. Sebaliknya, jika mahar hanya formalitas, ia mudah terlupakan. Karena itu, setiap pasangan perlu memahami esensi mahar sebelum akad berlangsung.
Pada akhirnya, mahar berdiri sebagai janji yang terikat antara manusia dan Allah. Ia bukan akhir dari masa lajang, melainkan awal dari amanah yang besar. Cinta sejati tidak lahir dari harta, tetapi dari keberanian menjaga janji seumur hidup. (Hendri Hasyim)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
