Khazanah
Beranda » Berita » Ketelitian Ibn Ḥajar dalam Menyaring Informasi Perawi: Antara Ringkas dan Akurat

Ketelitian Ibn Ḥajar dalam Menyaring Informasi Perawi: Antara Ringkas dan Akurat

ilustrasi ulama menulis kitab klasik di ruang sunyi, simbol ketelitian dan kejujuran ilmiah.
Seorang alim menulis dengan pena bulu di atas kitab klasik, cahaya lembut menerpa wajahnya — menggambarkan ketelitian Ibn Ḥajar dalam ilmu.

Surau.co. Ketika membicarakan ketelitian Ibn Ḥajar dalam menyaring informasi para perawi, kita sebenarnya sedang menyingkap rahasia di balik salah satu karya paling berpengaruh dalam sejarah ilmu hadis: Taqrīb al-Tahdhīb.
Di era modern, kita terbiasa hidup di tengah arus informasi yang serba cepat dan sering kali dangkal. Namun, berabad-abad sebelum dunia digital lahir, Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī — ulama besar abad ke-9 Hijriah — sudah menunjukkan bahwa ringkas tidak harus dangkal dan akurat tidak harus bertele-tele.

Ringkas, tapi Tidak Sederhana

Kitab Taqrīb al-Tahdhīb menjadi contoh luar biasa dari keseimbangan antara kedalaman dan efisiensi ilmiah. Ibn Ḥajar berhasil menyaring ribuan biografi perawi dari karya sebelumnya — Tahdhīb al-Tahdhīb dan Tahdhīb al-Kamāl — menjadi satu karya yang padat namun tetap teliti.
Ia menulis dengan gaya yang hampir matematis. Setiap entri singkat mengandung bobot penilaian tentang reputasi, kejujuran, dan kekuatan hafalan seorang perawi. Dengan demikian, seni kritik hadis di tangan Ibn Ḥajar berubah menjadi disiplin ilmu yang sistematis dan bermartabat.

Dalam kehidupan modern, kita pun sering dihadapkan pada dilema serupa: bagaimana menyampaikan pesan dengan singkat tanpa kehilangan makna? Ibn Ḥajar menghadapi tantangan itu dalam skala yang jauh lebih besar — ribuan nama, ratusan sumber, dan tanggung jawab ilmiah yang berat.

Dalam mukadimahnya, ia menulis:

«فَجَمَعْتُ فِيهَا أَصَحَّ مَا قِيلَ فِيهِمْ بِإِلْخَاصٍ»
“Aku kumpulkan di dalamnya apa yang paling sahih yang dikatakan tentang mereka secara ringkas.”

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Kata bil ikhtiṣār (secara ringkas) tidak menandakan sikap serampangan. Justru di sanalah letak kejeniusannya. Ia tidak menulis panjang demi menunjukkan keluasan ilmu, melainkan memilih inti kebenaran dari berbagai pendapat ulama sebelumnya. Setiap kalimatnya adalah hasil penelitian panjang yang dilakukan dengan ketekunan luar biasa.

Selain itu, prinsip tersebut sejalan dengan pesan Al-Qur’an:

﴿وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ﴾
“Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya.”
(QS. al-Isrā’ [17]: 36)

Ayat ini menegaskan pentingnya berbicara berdasarkan ilmu. Oleh karena itu, Ibn Ḥajar menulis Taqrīb dengan penuh kehati-hatian — sedikit kata, tapi sarat makna.

Metode Kritik: Antara Objektivitas dan Empati

Salah satu keunggulan Taqrīb al-Tahdhīb terletak pada kemampuannya menjaga keseimbangan antara objektivitas ilmiah dan empati terhadap manusia yang dinilai. Ibn Ḥajar tidak hanya menulis “terpercaya” atau “lemah,” tetapi juga menghadirkan gradasi penilaian melalui istilah seperti maqbūl (dapat diterima) dan ṣadūq (jujur, tapi kurang kuat hafalannya).

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

Sebagai contoh, beliau menulis:

«حَفْصُ بْنُ عُمَرَ، مَقْبُولٌ»
“Hafs ibn ʿUmar, dapat diterima.”

Kata maqbūl bukan bentuk kompromi, melainkan hasil ijtihad yang matang. Dalam pengantar kitabnya, ia menjelaskan:

«وَإِنَّ لِلْمُقْبُولِ مَرْتَبَةً لَمْ تُعْلَمْ قَبْلِي»
“Sesungguhnya bagi al-maqbūl ada tingkatan yang belum diketahui sebelumku.”

Dengan demikian, Ibn Ḥajar memperkenalkan kategori baru dalam kritik hadis yang lebih bernuansa. Ia mengakui adanya wilayah tengah antara benar dan salah, kuat dan lemah. Di sinilah letak keadilannya: menilai tanpa menghukum, mengkritik tanpa mencaci.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Di sisi lain, pendekatan semacam ini sangat relevan dengan zaman kita yang kerap terjebak dalam polarisasi. Ibn Ḥajar mengingatkan bahwa kebenaran tidak selalu hitam-putih. Dalam banyak hal, keadilan ilmiah justru lahir dari kemampuan memahami sisi abu-abu kehidupan.

Kekuatan Detail di Balik Keringkasan

Ketelitian Ibn Ḥajar tampak jelas pada pemilihan istilahnya. Dua kata yang tampak mirip — thiqah dan ṣadūq — ternyata memiliki nuansa berbeda.
Misalnya, ia menulis:

«مُحَمَّدُ بْنُ سِيرِينَ، الْبَصْرِيُّ، ثِقَةٌ حَافِظٌ»
“Muhammad ibn Sīrīn, al-Baṣrī, terpercaya dan hafizh.”

Istilah thiqah menunjukkan keandalan moral dan keilmuan, sedangkan ḥāfiẓ menegaskan kekuatan hafalan luar biasa. Sementara itu, dalam entri lain:

«إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ، الْكُوفِيُّ، صَدُوقٌ»
“Ismāʿīl ibn Abī Khālid, al-Kūfī, jujur.”

Kata ṣadūq menggambarkan kejujuran, namun tidak selalu diiringi daya hafal setajam seorang ḥāfiẓ. Perbedaan kecil ini menunjukkan keahlian Ibn Ḥajar dalam memilih diksi yang presisi.
Dengan demikian, ia bukan hanya seorang ahli hadis, melainkan juga seorang penulis yang menguasai precision writing— menulis singkat tanpa kehilangan kedalaman.

Fenomena Modern: Ketelitian yang Kian Langka

Kini, di tengah derasnya arus digital, kecepatan sering mengalahkan ketelitian. Kita membaca berita singkat, menonton potongan video, atau menilai seseorang hanya dari cuplikan. Akibatnya, konteks hilang, dan makna tercerabut. Dalam situasi seperti ini, prinsip Ibn Ḥajar menjadi oase bagi nalar yang lelah.

Ia mengajarkan bahwa cepat boleh, tetapi harus disertai ketepatan; ringkas boleh, tetapi wajib didukung riset.
Fenomena “buru-buru” bahkan melanda dunia akademik modern — di mana banyak orang lebih mengejar jumlah publikasi daripada kualitas riset. Padahal, Ibn Ḥajar menghabiskan puluhan tahun menyusun Taqrīb, menyaring lautan informasi menjadi butiran kebenaran yang jernih.

Rasulullah ﷺ bersabda:

«إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ»
“Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila melakukan pekerjaan, ia menyempurnakannya.”
(HR. al-Bayhaqī)

Hadis ini seolah menggambarkan kepribadian Ibn Ḥajar — tekun, hati-hati, dan tidak tergesa-gesa.

Refleksi: Ketelitian sebagai Ibadah Ilmu

Melalui Taqrīb al-Tahdhīb, Ibn Ḥajar tidak hanya menulis biografi para perawi, tetapi juga menulis sejarah integritas ilmiah. Bagi beliau, ketelitian bukan sekadar metode penelitian, melainkan bentuk ibadah. Ia menjaga amanah ilmu sebagaimana seorang mujahid menjaga perbatasan umat.

Oleh karena itu, semangat Ibn Ḥajar sangat relevan di era modern. Meneliti, menulis, dan menilai dengan jujur bukan hanya tanggung jawab akademik, tetapi juga amal ibadah.
Dalam konteks spiritual, sikap ini mengingatkan bahwa keringkasan yang akurat lahir dari hati yang jernih dan pikiran yang tajam.

Pada akhirnya, di tengah dunia yang bising dan tergesa, Ibn Ḥajar mengajak kita untuk kembali menulis dan berbicara dengan tanggung jawab — singkat, namun bermakna; sederhana, namun mendalam.

* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement